Di hari pertama pengadilan itulah Sahar mendengarkan tuduhan jaksa: dianggap melanggar UU larangan menonton bola bagi wanita.
Kini jadi kenyataan: wanita Iran benar-benar boleh nonton sepak bola. Hadir langsung di stadion.
Itu terjadi Selasa minggu lalu. Saat tim nasional Iran menjadi tuan rumah. Melawan tim yang sangat lemah Kamboja. Dalam babak penyisihan Piala Dunia 2022. Yang finalnya akan dilangsungkan --untuk pertama kali-- di musim dingin di Qatar.
Serunya bukan main. Mereka berjingkrak. Juga mengibar-kibarkan bendera nasional. Berteriak dan bersorak.
Sudah 40 tahun wanita di Iran dilarang nonton sepak bola. Sejak terjadi revolusi Islam Iran tahun 1979. Sejak Iran menjadi negara Islam. Menggantikan kekuasaan diktator Shah Reza Pahlevi.
Sepak bola agak dikhususkan di Iran. Para wanita di sana sebenarnya boleh nonton voli atau tenis. Atau olahraga apa pun. Asal bukan sepak bola.
Masyarakat Iran agak sentitif dengan barang bundar yang disepak-sepak.
Itu bisa mengingatkan mereka akan sejarah paling pahit yang menimpa panutan mereka: Imam Hussein. Adik kandung Imam Hassan. Hassan dan Hussein adalah cucu Nabi Muhammad. Hassan dan Hussein adalah anak Ali --menantu Nabi.
Nabi begitu sayang pada Hussein --cucunya itu. Sampai-sampai pernah Nabi bersalat sambil menggendong Hussein.
Malaikat juga pernah menunda sebentar untuk 'menemui' Nabi. Hanya untuk menunggu agar Nabi selesai dulu bermain dengan Hussein.
Begitu banyak orang Islam memberi nama anak mereka Hussein atau Hassan --bahkan yang bukan Syiah sekalipun.
Sampailah Hussein dewasa. Bapaknya dibunuh lawan politik. Kakaknya juga terbunuh.
Tapi yang paling mengharukan adalah terbunuhnya Hussein sendiri.
Waktu itu Hussein dikucilkan lawan politik yang lagi berkuasa di Mekkah dan Madinah.
Tapi pengikut Hussein sangat besar. Di akar rumput.
Hussein dianggap membahayakan kedudukan pemimpin Islam saat itu. Keturunan Ali, harus dipunahkan.
Hussein masih punya harapan untuk menjadi pemimpin. Tapi tidak di Makkah. Tidak di Madinah.
Melainkan di Iraq.
Memang banyak sekali pengikut Hussein di Iraq dan Iran --yang waktu itu masih menjadi satu negara.
Hussein pun menerima selembar surat. Isinya: pindahlah ke Iraq. "Kami di sini sangat merindukan Hussein," begitu kira-kira bunyi surat itu.
Hussein menyanggupi. Ia pun meninggalkan Makkah. Dalam satu kafilah onta. Jalan darat. Berminggu-minggu. Melewati padang pasir antara Makkah-Iraq.
Ibunda Hussein, putri Nabi, ikut dalam rombongan itu.
Dalam perjalanan itulah Hussein terus diintai pasukan penguasa. Diikuti dari jauh. Untuk dibunuh.
Hussein selalu selamat. Setiap terjadi usaha pembunuhan selalu bisa dihindari. Meski harus sampai lari terbirit. Sampai ketinggalan sandalnya. Akhirnya Hussein sampai tujuan.
Yakni sebuah wilayah yang tertera dalam surat undangan. Di situ --menurut surat yang ia terima dulu-- Hussein akan disambut meriah. Dan dinobatkan sebagai pemimpin mereka.
Hussein tidak menyangka kalau surat undangan itu jebakan. Di situlah Hussein dibunuh. Kisah pembunuhan ini begitu khianatnya. Begitu dramatiknya.
Kepala Hussein dipenggal. Disepak ke sana. Disepak ke sini. Sebelum akhirnya ditusuk tongkat untuk diacung-acungkan keliling wilayah. Dan akhirnya dibawa ke Damaskus, Suriah, ibu kota negara Islam saat itu.
Semua itu terjadi tanggal 10 Suro. Yang di Iran, Pakistan, Afghanistan diperingati dengan besar-besaran. Dengan cara pawai besar. Sambil memukul-mukul dada. Untuk bisa merasakan penderitaan Hussein saat itu.
Tiap tahun pula jutaan orang berjalan kaki. Sejauh 70 km. Dari Kota Kufah ke padang Karbala --tempat kepala Hussein disepak-sepak itu.
Saya pernah dari Kufah ke Karbala. Tapi naik mobil. Bukan di tanggal 10 Suro.
Sejak itulah pengikut Hussein --ummat Syiah-- sensitif pada barang bundar yang disepak-sepak. Mereka membayangkan itu sebagai kepala Imam Hussein.
Pernah sepak bola diharamkan di Iran. Dianggap tidak Islami. Tapi sebenarnya ya untuk melupakan sejarah nestapa itu.
Belakangan tim sepak bola Iran majunya luar biasa. Masuk final Piala Dunia.
Kegembiraan rakyat Iran juga meluap-luap. Pemerintahnya lantas mengakomodasikan keinginan rakyatnya itu. Agar bisa menjadi tuan rumah babak penyisihan Piala Dunia.
Kebetulan penguasa Iran saat ini sangat moderat. Tidak suka kekerasan.
Rakyat Iran ingin menyaksikan sendiri kehebatan tim nasional mereka. Di kandang mereka sendiri.
Organisasi sepakbola dunia pun setuju. Iran jadi tuan rumah. Tapi ada syaratnya: Iran harus mengizinkan wanita menontonnya.
Jadilah.
Wanita diberi jatah kursi 4.000. Di tribun yang terpisah dari laki-laki. Momentum pertama ya Selasa lalu itu. Saat lawan Kamboja itu.
Ia masih kalah dari stadion Gelora Bung Karno Jakarta. Sampai sekarang yang terbesar di dunia masih tetap stadion Pyongyang --Korea Utara: 120 ribu penonton.
Stadion Azadi sendiri dibangun oleh Shah Reza Pahlevi. Untuk Asian Games tahun 1974.
Nama klub itu: Esteghlal.
Hari itu Esteghlal lagi melawan klub elit dari Abu Dhabi: Al Ain.
Si Blue Girl harus nonton.
Apalagi saat away ke kandang Abu Dhabi, Esteghlal menang 1-2.
Hati Blue Girl sangat kemrungsung. Betapa seru kalau pertandingan itu di kandang sendiri. Dia harus nonton. Bagaimana pun caranyi.
Tapi peraturan di Iran benar-bemar tidak membolehkan wanita nonton sepak bola. Sahar tidak kekurangan akal.
Nekad.
Sahar mengenakan pakaian laki-laki. Menyamar.
Ketika masuk stadion Sahar ketahuan. Penyamarannyi kurang sempurna.
Kabar pun tersiar ke seluruh dunia. Protes bertubi-tubi. Sahar menjadi viral tidak habis-habisnya.
Kalau sekarang wanita Iran boleh menonton bola gadis bonek itulah tumbalnya.
Dahlan Iskan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews