Mahathir yang pimpin oposisi karena Anwar berada dalam penjara. Namun jika Mahathir berkuasa, Mahathir akan mengeluarkan Anwar dari penjara, dan menjadikan Anwar penguasa berikutnya.
“Tapi satu gunung hanya untuk satu raja.
Satu gunung hanya untuk satu singa.
Jika ada dua singa,
salah satu harus mati.”
Tanggal 11 Mei 2018 itu momen politik yang bersejarah bagi Malaysia. Dan hari yang unik bagi dunia.
Di hari ini, Mahathir Mohamad dilantik menjadi Perdana Menteri Malaysia. Resmi sudah, Mahathir tercatat sebagai pemimpin paling tua di dunia yang pernah memenangkan pemilu.
Saat itu, usia Mahathir berusia 93 tahun. Bahkan tak pernah terjadi dalam sejarah, seorang pemimpin dalam usia sesenja itu bertarung dalam pemilu. Dan menang pula.
Yang membuat peristiwa ini lebih istimewa karena ada kisah lain di baliknya. Untuk pertama kali Barisan Nasional tumbang di Malaysia. Selama 60 tahun Barisan Nasional selalu menang.
Terjadi untuk pertama kali dalam sejarah Malaysia “Turn Over” kekekuasaan. Dominasi satu partai dipatahkan dan kekuasaan beralih kepada partai lain.
Dan itu terjadi karena hubungan unik dua singa. Istilah dua singa ini diambil dari buku puisi esai Datuk Jasni Malani yang baru terbit.
Jasni Matlani mengekspresikan dalam puisi esainya.
Adalah Mahathir yang memasukkan Anwar Ibrahim ke penjara. Mahathir pula yng mengeluarkan Anwar dari penjara.
Mahathir memasukkan Anwar ke penjara karena mengganggu kekuasannya. Kini Anwar dikeluarkan oleh Mahathir dari penjara karena Anwar membantu Mahathir berkuasa kembali.
Dua singa ini bekerja sama untuk berkuasa. Tapi seberapa lama mereka bisa bekerja sama?
Satu gunung hanya untuk satu singa.
Kita tahu ujung dari kisah ini. Kedua singa itu, Mahathir dan Anwar Ibrahim bertikai kembali.
Dan satu gunung ini, Negara Malaysia, akhirnya beralih ke singa yang lain: Muhyiddin Yassin.
Singa Mahathir merasa dikhianati oleh Muhyiddin Yassin. Sebagaimana Singa Anwar Ibrahim merasa dikhianati oleh Singa Mahathir.
Inilah “politcs as usual.”
-000-
Membaca buku puisi esai Jasni Matlani, saya teringat kisah di tahun 2016. Ini lima tahun lalu.
Saya tampilkan kembali tulisan saya soal ini. (1)
Febuari 2016, saya diundang ke Malaysia untuk bertemu dengan Menteri Besar (sejenis Gubernur) Selangor: Mohamed Azmin Ali. Pesannya sederhana. Bagaimana caranya mengalahkan Barisan Nasional yang sudah bercokol di Malaysia, tak pernah terkalahkan.
“Kami sudah mempertimbangkan banyak konsultan politik, termasuk dari Amerika Serikat. Tapi kami merasa konsultan politik dari Indonesia lebih mengerti budaya Malaysia. Apalagi, ujar mereka, kami membaca berita pak Denny JA sukses ikut memenangkan 3 kali pemilu presiden di Indonesia. Sungguh kami ingin mendapatkan pencerahan.”
Di ruangan itu, saya berdiskusi dengan Mohamed Azmin. Saya ditemani Adjie Farabie dan Ade Mulyana dari LSI. Azmin ditemani oleh team ahlinya.
Azmen mengkisahkan problem yang ia alami. Ia dianggap bintang oposisi. Ia masih muda, cerdas, tampan, dan kini menjadi pemimpin tertinggi di wilayah besar Malaysia: Selangor.
Tapi posisinya sedang sulit. Ia diajak masuk kedalam pemerintahan oleh Mahathir Mohamad. Mahathir sendiri yang meminta Azmin bekerja dengan Anwar Ibrahim.
“Dua tokoh itu: Mahathir dan Anwar adalah guru saya.” Sungguh itu hal paling sulit dalam hidup saya ketika dua guru itu bersiteru. Anwar bahkan dipenjarakan oleh Mahathir.
Saya harus memilih. Saya memilih bergabung dengan Anwar Ibrahim. Saya masuk ke dalam partai yang didirikan Anwar Ibrahim: PKR (Partai Keadilan Rakyat).
Tapi datang soal kedua. Saya berhadapan dengan istri dan putri Anwar Ibrahim sendiri jika saya terlalu maju memimpin partai, apalagi jika menjadi pimpinan partai nomor satu.
Kini Mahathir aktif kembali di dunia politik. Bagaimana pak Denny melihat ini semua? Apa yang terbaik saya lakukan?
Pertemuan berlangsung sekitar 2 jam.
Pesan saya waktu itu ada tiga. Pertama, demi tumbuhnya demokrasi, Malaysia harus pernah mengalami pergantian kekuasaan.
Barisan Nasional harus pernah dikalahkan, dan partai lain harus pernah pula merasakan kekuasaan. Tak ada demoktasi yang matang sebelum ia pernah mengalami pergantian kekuasaan.
Bahkan dalam satu teori demokrasi, ada variabel “Turn Over of Power.” Itu test bagi demokrasi sebuah negara. Ia harus pernah mengalami kekuasaan yang berpindah sehingga semua kelembagaan menjadi fleksibel dan tetap stabil walau partai berbeda yang berkuasa.
Kedua, tak ada yang mustahil dalam politik. Apapun dapat terjadi dalam politik sejauh masih sesuai dengan hukum besi politik. Karena pemilu yang harus menjadi medium pergantian kekuasaan, dan rakyat banyak yang menentukan, rakyat sejak sekarang harus dikondisikan merasa perlu adanya pergantian kekuasaan.
Opini harus terus diciptakan. Harus ada kelemahan Barisan Nasional yang kasat mata atau dibuat kasat mata. Kelemahan itu harus terus disebar hingga rakyat berkata: Aha! Barisan Nasional harus dikalahkan. Kita harus bersatu mengalahkannya.
Ketiga, Barisan Nasional itu raksasa dalam politik Malaysia. Raksasa hanya bisa dikalahkan oleh Raksasa yang lebih kuat. Oposisi harus bersatu. Cari semua cara agar Mahathir dan Anwar bersatu kembali.
Cari titik tengah. Hanya keyakinan agama yang tak dapat dikompromikan. Tapi tujuan politik selalu bisa dicari formula sehingga kepentingan Mahathir dan Anwar terakomodasi.
Apa daya di kalangan oposisi, hanya mereka berdua yang paling kuat: Mahathir dan Anwar. Mereka harus dicarikan formula agar bersedia kerja sama.
Apa mungkin? Tanya Mohamed Azmen. “Saya dekat dengan keduanya. Tapi perseteruan pribadi Mahathir dan Anwar sudah begitu dalam, hingga merasuk kepada pengikutnya masing masing. Semua merasa yang satu menghianati yang lain.”
Kembali saya jawab. Itu resepnya. Bagus jika pak Azmen sendiri yang merekatkan mereka kembali. Jika pak Azmen merasa kurang mampu, cari yang mampu.
Tapi jangan lupa, ujar saya, pak Azmen harus ikut dalam kepemimpinan mereka, Mahathir-Anwar.
Jangan kita melawannya. Mengapa? Jika kita belum kuat melawannya, kita sebaiknya bergabung, mencari kepentingan bersama.
Apa yang saya sarankan tentu juga menjadi gagasan banyak orang lain.
Keajaibanpun terjadi.
Dua musuh besar bersatu kembali untuk tujuan yang lebih besar. Anwar dari dalam penjara bersepakat dengan Mahathir dalam formula yang cantik.
Mahathir yang pimpin oposisi karena Anwar berada dalam penjara. Namun jika Mahathir berkuasa, Mahathir akan mengeluarkan Anwar dari penjara, dan menjadikan Anwar penguasa berikutnya.
Inilah negosiasi tingkat tinggi dalam politik. Tak ada musuh atau teman yang abadi. Kepentingan yang lebih besar itu yang abadi.
Untuk menyatukan oposisi, Malaysia memanggil kembali politisi yang sudah berusia 92 tahun. Ia pun disatukan kembali dengan musuh besar yang ia penjarakan ketika ia berkuasa.
Jadilah Mahathir terpilih sebagai perdana mentri paling tua, atau bahkan pemimpin politik paling tua, dalam sejarah.
Banyak hal tak terduga dalam politik bisa terjadi. Karena itu jangan ragu untuk bermimpi sejauh masih sesuai dengan hukum besi politik.
-000-
Itu yang saya tulis di bulan Mei 2018. Kini tiga tahun setelah tulisan itu terbit. Malaysia sudah berbeda.
Azmin Ali yang mengundang saya sempat menjadi menteri ketika Mahathir kembali berkuasa di tahun 2018.
Tapi Azmin Ali, bintang politik baru, justru terkena skandal. Sama dengan Anwar Ibrahim, ia dijatuhkan oleh rekaman video homoseksual.
Mahathir tak lagi menjadi perdana menteri. Anwar Ibrahim kembali gagal menjadi perdana menteri.
Banyak hal tak terduga di Malaysia. Banyak hal tak terduga di politik.
Jasni Matlani, Presiden Komunitas Puisi Asean, merekam kisah perseteruan dan kerjasama, pertemanan dan perselihan dua singa itu: Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim.
Tak hanya soal dua singa. Buku puisi esai Jasni Matlani juga disertai enam puisi esai lainnya.
Bravo Datuk!
Membaca buku puisi esai Datuk Matlani, memori soal Malysia datang kembali. Berseliweran di kepala.
Juli 2021
(Review Buku Puisi Esai Jasni Matlani: Dua Singa Perkasa di Atas Sebuah Gunung, 2021)
Denny JA
***
CATATAN
(1) Kisah Mahathir Mohammad dan Anwar Ibrahim, dan saya yang diundang oleh Azmin Ali sebelum dua singa ini bekerjasama pernah saya tulis.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews