Cita Rasa Jawa dan Tionghoa dalam Santapan Kue Bakpia

Sayangnya nama sentra bakpia di Glagahsari tak setenar Pathuk. Meski begitu, cita rasa bakpia Glagahsari enak dan mampu bersaing.

Senin, 2 Desember 2019 | 17:47 WIB
0
785
Cita Rasa Jawa dan Tionghoa dalam Santapan Kue Bakpia
Cita Rasa Jawa dan Tionghoa dalam Santapan Kue Bakpia

Sejak lama bakpia sudah dikenal sebagai kudapan khas Yogyakarta. Tak sedikit yang menjadikannya buah tangan untuk kerabat dan keluarga di rumah.

Tentunya karena cita rasa bakpia yang gurih dan manis saat disantap. Ditambah varian rasanya yang beragam, membuat siapapun tergoda untuk mencicipinya.

Mulai dari rasa kacang hijau, cokelat, keju, kumbu alias kacang merah, nanas. Bahkan saat ini, ada pula pedagang yang menawarkan bakpia bercita rasa kekinian seperti cappucino dan teh hijau atau matcha.

Selain soal rasa, kisah dibalik pembuatan bakpia juga terbilang manis. Pasalnya kudapan ini merupakan buah akulturasi antara Jawa dan Tiongkok.

Hal itu diperkuat dengan hasil penelitian mahasiswi Universitas Gajah Mada (UGM), Amelia Puspita Sari. Dalam penelitiannya yang berjudul 'Bakpia Sebagai Bentuk Akulturasi Budaya Indonesia dan Tiongkok di Bidang Kuliner (Studi Kasus Bakpia 29)', diterangkan bahwa bakpia terbentuk dari pengaruh akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa.

Berdasar hasil penelitian Pusat Kajian Makanan Tradisional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Dr Murdijati Gardjito, turut diterangkan bahwa bakpia menjadi hasil benturan budaya yang tidak berbahaya. Malah hasilnya nikmat dan enak.

Bakpia berasal dari kata Tou Luk Pia yang merupakan dialek Hokkian. Artinya adalah kue atau roti empuk berisi daging.

Penganan yang juga disebut pia atau kue pia ini, masuk ke Yogyakarta pada 1940-an. Bakpia dibawa oleh pendatang Tiongkok, Kwik Sun Kwok.

Kemudian Kwik menyewa sebidang tanah milik warga lokal bernama Niti Gurnito di Kampung Suryowijayan, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta. Awalnya, ia membuat bakpia dibuat dengan isian berupa daging plus minyak babi.

Sayangnya kurang diminati, lantas ia memodifikasi bakpia dengan isian kacang hijau. Bakpia dipanggang secara tradisional, yakni dengan arang.

Arang tadi dibeli Kwik dari temannya, Liem Bok Sing yang juga pendatang asal Tiongkok. Kian lama, bakpianya digemari banyak orang.

Sejalan dengan itu, Kwik yang semula menyewa tanah Niti pun, akhirnya pindah ke sebelah barat Kampung Suryowijayan. Disitu usaha bakpia dilanjutkan sampai ia menutup usia di tahun 1960-an dan diteruskan oleh sang menantu, Jumikem.

Selepas Kwik meninggal, rupanya Niti juga membuat bakpia. Diduga, ia mendapat resep lantaran Kwik pernah menyewa tanah.

Kendati demikian, bakpia Niti berbeda dari buatan Kwik. Ukurannya lebih kecil, sedangkan bakpia Kwik berkulit tebal dan isiannya kecil.

Konsumen bakpia Niti pun kebanyakan warga lokal. Sementara bakpia Kwik lebih banyak diminati warga Tionghoa, memang karena di era tersebut seperti ada sekat dalam kelompok pembelinya.

Bicara soal bakpia, erat kaitannya dengan Kampung Pathuk Yogyakarta. Sebab dari kawasan itu jua-lah bisnis bakpia bisa melenggang hingga sekarang.

Di era yang sama, Liem Bok Sing, penyuplai arang ternyata juga mencoba menjajakan bakpia. Resep bakpia yang dipakai pun asli kreasinya sendiri.

Bakpia Liem berkulit lebih tipis, ujung datar, serta sedikit gosong di sisi tengahnya. Lambat laun namun pasti, ia pun sukses membuat bisnis bakpia yang diberi nama Bakpia Pathuk 75 berkembang pesat.

Kemajuan bisnis amat terasa di era 1980-an. Salah satu alasannya karena
Yogyakarta kian populer sebagai tujuan wisata di Indonesia sehingga bakpia rutin dijadikan oleh-oleh.

Permintaan meningkat tentu karyawan yang dibutuhkan semakin banyak. Tapi dari semua karyawannya, ada saja yang usil dan berhasil mencuri resepnya.

Lantas resep itu dibagikan kepada warga Kampung Pathuk untuk dipelajari dan dijual. Sampai-sampai membuat kawasan Pathuk dikenal sebagai sentra bakpia hingga sekarang.

Disamping Bakpia Pathuk 75, dari area tadi lahir pula bakpia lain seperti, Bakpia Pathuk 25 dan Bakpia Pathuk 55. Semua label nama bakpianya diimbuhi angka pada bagian belakang.

Lucunya, angka itu merupakan nomor rumah tiap pembuat bakpia. Alasannya karena zaman dulu, belum dikenal istilah merek dagang, jadi dipakailah nomor itu untuk label nama.

Selain Pathuk, sentra bakpia di Yogyakarta juga terletak di Jalan Glagahsari. Jalan tersebut membentang dari utara hingga selatan dan menghubungkan Jalan Kusumanegara serta terminal lama Umbulharjo.

Sayangnya nama sentra bakpia di Glagahsari tak setenar Pathuk. Meski begitu, cita rasa bakpia Glagahsari enak dan mampu bersaing.

Oleh: Sony Kusumo

***