Kuliner Nusantara di Takengon

Sebagai penikmat kuliner, saya menemukan kegembiraan tersendiri ketika menikmati masakan khas Gayo, dan tetap bisa menyantap masakan khas dari daerah lain di sini.

Rabu, 16 Maret 2022 | 06:19 WIB
0
202
Kuliner Nusantara di Takengon
Makanan khas Aceh Tengah, Takengon (Foto: lancangkuning.com)

Setiap ke Takengon, saya ingin makan kerang. Ada satu lokasi penjual kerang rebus di Takengon, yang setelah makan pertama kali, langsung nyantol teringat di kepala, karena kerangnya besar-besar, dan bumbu sambal nanasnya nendang, enak banget, segar, manis-manis asam dan tingkat kepedasannya pas. Tapi dua kali ke Takengon sebelumnya, kecele gak bisa makan kerang. Bapak penjual kerang seperti raib, entah pindah ke mana.

Namun, tidak kali ini, yeaaaa. Minggu lalu ketika di Takengon, saya iseng bertanya, ke mana ya penjual kerang berbumbu lezat itu? Ternyata bapak itu jualan lagi, cihuiii.

Oh iya, bapak penjual kerang itu hanya buka warungnya di malam hari, dan yang lebih bikin senang, bapak penjual kerang ini pindah gak jauh-jauh dari lokasinya dulu berjualan, dan lokasi jualannya makin strategis, dekat dengan penjual wedang ronde. Weeeh, mantap ini.

Jadi duduklah kami di depan ruko dan santai menikmati kerang di malam yang dingin, namun tubuh jadi hangat karena ditemani minuman wedang ronde.

Apakah dua makanan ini aseli kuliner Takengon? Tentu tidak. Dua bapak penjual wedang dan kerang itu asalnya yang satu dari pulau Jawa dan satunya lagi dari Panteun Labu, wilayah lain di Aceh. Namun mereka sudah belasan tahun menetap di Takengon, dan berjualan.

Takengon memang kota kecil multietnik. Banyak pendatang berjualan macam-macam kuliner khas daerah asalnya dan saya perhatikan, cukup laris. Uniknya, mereka rata-rata berjualan di malam hari dan warung mereka sederhana, tapi cukup ramai pengunjung.

Selain wedang ronde dan kerang, saya juga punya langganan tetap warung pecel lele asal Lamongan. Setidaknya wajib kunjung satu kali makan di warung pecel lele Lamongan ini. Lele, ayam kampung dan bebeknya maknyus. Bisa ngegado dua porsi ayam kampung dan bebek, kalau sudah nongkrong di warung itu. Tapi karena lagi diet bebek, jadilah saya hanya ngegado lele dan ayam kampung, hahahaha...( ini santapan malam terakhir sebelum kembali ke Medan) Kemaruk yaa.

Saya pikir, kuliner kota kecil ini cukup lengkap. Mau bakmie, ada juga warung bakmie yang gak kalah lezat seperti bakmie GM Jakarta di dekat pasar, buka pagi hari sampai sore.

Mau masakan Aceh pesisir Utara seperti sate Matang dan sop yang enak itu juga ada, kalau masakan Padang ya gak usah ditanya lah, pasti ada. Apalagi warung nasi dari Bireuen, kampung halaman saya, ya ada juga, dan gak kalah enak dengan masakan di tempat aselinya.

Takengon ini unik. Memang kota wisata, hanya belum tertata rapi atraksi-atraksi wisata dan budayanya. Belum dikelola dengan baik, potensi wisata alamnya yang indah. Padahal, masakan lokalnya juga enak, kopinya gak usah dibahas lagi, beragam kafe dengan suguhan racikan kopi lokal, bertebaran ke manapun kita pergi.

Tinggal pilih, pagi mau sarapan dan minum kopi di kafe A, malam ganti di kafe B dan masakan multi etniknya juga beragam, contohnya seperti warung kerang, wedang ronde dan pecel lele tadi.

Belum lagi kita bahas potensi atraksi budayanya. Lain kali mungkin saya ada waktu untuk membahas soal ini.

Sebagai penikmat kuliner, saya menemukan kegembiraan tersendiri ketika menikmati masakan khas Gayo, dan tetap bisa menyantap masakan khas dari daerah lain di sini.

***