Cerita Luhut di Kedai Kopi

Maka itu, politik tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan keseharian setiap orang siapa pun mereka, suka atau tidak suka.

Sabtu, 23 Juli 2022 | 07:01 WIB
0
127
Cerita Luhut di Kedai Kopi
Kedai kopi dan bakeri di Batam (Foto: dok. pribadi)

Pagi itu, saya ngopi di “Morning Bakery”, Batam, atas saran Luhut, teman lama yang tinggal di kota itu. Orang lebih biasa menyebutnya kedai kopi. Karena kedai kopi, maka kopi dengan segala macam variannya, menjadi menu minuman utamanya.

Kata sejarah, istilah kafe, kedai kopi  berasal dari Turki. Kedai kopi pertama kali didirikan di Istanbul–yang sebelumnya bernama Constantinopel, ibu kota Kekaisaran Romawi Timur–pada tahun 1475. Kiva Han nama kedai kopi pertama itu. Kata kafe berasal dari  bahasa Turki yakni kahve, yang berarti kopi.

Dari Istanbul menyebar ke seluruh dunia. Kedai kopi, coffeehouse pertama di Eropa didirikan pada tahun 1600-an di Venesia, Italia; lalu di Oxford, Inggris (1650)  oleh seorang pengusaha Yahudi, Jacob Evelyn yang disebutnya warung “Malaikat.”

Oxford dipilih, karena sebagai kota universitas di kota itu banyak calon penyair, penulis, dan cendikiawan, yang kemudian menjadikan kafe sebagai tempat untuk ngobrol, berdebat, berdiskusi, dan menulis. Dari Oxford menular ke London, 1652 (cafereality.co.uk). Di kedai-kedai kopi lah banyak hal diobrolkan, didiskusikan, bahkan direncanakan.

Bersama Dubes Indonesia untuk Vatikan, Agus Sriyono dan istri, di kafe tertua di Roma, yang didirikan tahun 1760,  Antico Caffe Greco di Via dei Condotti.

Sejarah menceritakan, sejak zaman Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) hingga Revolusi Amerika (1765-1783) dan Perancis (1789-1799) kedai kopi menjadi tempat munculnya ide-ide baru, gagasan-gagasan baru, yang akhirnya memicu pecahnya revolusi.

Dari Kekaisaran Ottoman hingga Revolusi Amerika dan Perancis, serta Arab Spring, kedai kopi  menawarkan tempat bagi orang-orang yang sadar, yang waras untuk mendiskusikan gelombang pemikiran baru.

Akibatnya, Murad oğlu Ahmed atau Murad IV (1612-1640) penguasa Kekaisaran Ottoman (1623-1640), misalnya, menghukum mati para peminum kopi. Sebab, kakak dan paman Murad IV dibunuh oleh tentara dari unit infanteri yang sering nongkrong dan ngopi di kedai kopi.

Raja Inggris, Charles II  mengirim mata-mata untuk menyusup ke kedai kopi London.  Sebab,  ia melihat kedai kopi sebagai sumber  penyebaran palsu berita palsu, hoaks yang membahayakan kekuasaannya. Selama Masa Fajar Budi, François-Marie Arouet atau  Voltaire (1694-1778), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), dan Isaac Newton (1643-1727) kerap ngobrol dan berdiskusi di kedai kopi.

Sejarah juga bercerita kafe-kafe di Paris melindungi kaum revolusioner yang merencanakan penyerbuan penjara Bastille. Di kedai kopilah para penulis dan filsuf kondang seperti Simone de Beauvoir (1908-1986) dan Jean-Paul Sartre (1905-1980) merencanakan buku-buku terbaru mereka.

**

Ya tentu, yang diobrolkan dan didiskusikan di kedai kopi di Batam,  tidak sehebat seperti yang di Paris atau London, dulu. Tapi, apa pun obrolan di kedai kopi itu memberikan gambaran tentang kesadaran politik rakyat, yang jauh dari pusat kekuasaan.

Meskipun, kerap kali kita dengar, bahwa kesadaran politik masyarakat masih rendah, masih kurang. Kata orang pintar, itu terjadi, karena memang rata-rata pendidikan masyarakat Indonesia masih kurang makanya perlu pelembagaan partisipasi masyarakat. Mereka tidak bisa dipaksa untuk memiliki kesadaran politik tinggi, untuk melek politik, karena itu.

Sementara itu, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat ini memberikan peluang, menjadi lahan empuk bagi para petualang politik, para pemburu kekuasaan, pada saat pemilu (juga pilkada bahkan juga pilkades), untuk berkiprah. Mereka, misalnya, memanfaatkan kondisi seperti itu   untuk praktik money politic, politik uang, juga politik sektarian, politik identitas untuk memobilisasi massa.

Dengan itu, masyarakat hanya tahu bahwa politik hanya berkaitan dengan kekuasaan. Ini yang membuat mereka “emoh” politik. Padahal  politik itu tidak hanya berarti sebagai kontestasi untuk memerebutkan kekuasaan. Tetapi, politik juga berarti kesepakatan untuk menaati aturan main dalam hidup bersama dengan orang lain.

Jadi di sini, politik lebih diartikan diartikan sebagai kesadaran akan tugas dan kewajiban setiap orang dalam hidup bermasyarakat, hidup bersama. Maka itu, politik tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan keseharian setiap orang siapa pun mereka, suka atau tidak suka.

Itulah sebabnya, sadar atau tidak sadar saban hari orang itu berpolitik. Ketika orang-orang di kedai kopi itu bicara soal soal nama-nama tokoh (juga yang merasa sebagai tokoh) yang disebut-sebut (juga menyebut-nyebut diri sendiri) sebagai pantas dicalonkan (dan mencalonkan diri) sebagai presiden, mereka sudah berpolitik. Begitu pula ketika mereka bicara soal hasil survei dan kemudian membahasnya dalam obrolan itu.

Mereka fasih menyebut siapa yang unggul dalam survei. Seperti cerita Luhut, mereka tidak hanya menyebut Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan sebagai tiga besar dalam survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei.

Tetapi, mereka bisa bicara keunggulan dan kekurangan ketiga-tiganya, bagai seorang analis politik di teve atau YouTube.

Luhut juga bisa memetakan, siapa dan dari kelompok apa yang mendukung Ganjar, Prabowo, atau Anies, dari nguping obrolan mereka. Mereka bisa mengritik dan juga memuji dengan bebas tokoh-tokoh yang mereka obrolkan. Dengan jelas, mereka bisa nyebut, siapa yang ngomong doang, siapa kerja nyata, siapa yang jaim, siapa yang  pencitraan doang siapa yang supel dan ramah. Semua terbuka, karena sekarang zaman terbuka.

**

Nguping obrolan di kedai kopi pagi itu, memberikan gambaran kecil bahwa wacana pemimpin baru tampaknya sudah menelusup ke relung-relung hati rakyat. Gambaran peminpin mendatang yang mereka harapkan–moga-moga juga harapan sebagian besar rakyat Indonesia–juga jelas: seorang pemimpin yang punya integritas, yang sejalan antara apa yang diomongkan dan yang dilakukan.

Integritas adalah komitmen pemimpin terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri dan keluarganya, serta konco-konconya. Misalnya, komit pada kebangsaan, kemanusiaan, persatuan dan kesatuan bangsa, pada nilai-nilai budaya bangsa yang beragam, yang plural, dan sebagainya.

Kata Luhut, sekarang krisis atau kesulitan mencari pemimpin yang punya integritas penuh pada berbagai macam dimensi tadi. Apa benar seperti itu, Luhut? Mendengar pertanyaan itu, Luhut tertawa dan mengatakan, itu menurut kami rakyat kecil…

Giliran saya yang ketawa, mendengar jawaban Luhut…

***