Monolitik Advetorial dan Perusahaan Pers

Terminologi soal iklan yang nararatif, informatif, argumentatif, ekploratif dan persuasif itu tidak melulu soal advetorial saja, bisa jadi bentuk iklan yang lain sesuai dengan tujuan dan kebutuhan user-nya.

Kamis, 29 Juli 2021 | 21:34 WIB
0
290
Monolitik Advetorial dan Perusahaan Pers
Monolitik Advetorial dan Perusahaan Pers

Seorang wartawan sekaligus pemilik media online mendatangi bagian humas salah satu pemerintah Kabupaten di Kalimantan.  Ia hendak menagih pembayaran advetorial pemerintah daerah (pemda) yang diterbitkan    di media online yang dimiliknya.

Ternyata, Kepala Bagian  Humas yang baru menjabat dua bulan itu  menolak  membayarnya, Ia berdalih  tagihan media online  tersebut bukanlah media yang berbadan hukum/  perusahaan pers, seperti yang di atur dalam Undang Undang Pers. 

Padahal,  pembayaran  advetorial media online yang dikelola perusahaan non pers lumrah dilakukan pejabat humas  sebelumnya dan di beberapa pemda lainnya. Sepanjang ada kontrak atau media order, ada badan usaha atau  badan hukum, advetorial itu boleh dibayarkan.

Memang belakangan  ini,  beberapa pemda mulai   selektif menjalin  kerjasama penerbitan advetorial   di sejumlah media. Hanya media yang berbadan hukum pers dan terverifikasi oleh Dewan Pers yang dibolehkan mendapat kontrak advetorial.

Tidak ada yang salah dengan kebijakan itu. Tidak pula  penting, apakah itu atas rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau atas permintaan asosiasi perusahaan pers  sendiri.

Yang salah dan mungkin juga penting adalah merubah pemahaman dan praktik  kita soal advetorial itu. Persepsi usang kita selama ini, seolah iklan dalam bentuk berita dan cerita itu hanya monolitik advetorial saja. Hanya boleh disiarkan oleh perusahaan pers saja. Pemesannya identik hanya pemerintah dan BUMN/BUMD saja.

Sampai-sampai dalam sebuah tulisan seorang wartawan lokal, menyebut advetorial  itu sebagai  bentuk apresiasi pemerintah kepada perusahaan  pers saja. Sebuah pernyataan  sangat naif, dangkal dan arogan.

Padahal, advetorial itu tak lebih  hanya sebuah  iklan.  Ia produk bisnis media massa,  sama dengan space iklan lainnya yang dijual  perusahaan pers  untuk membiayai operasional perusahaan.

Ingat, fokusnya bukanlah produksi dan aktivitas siaran  beritanya, tapi pada produk dan siaran iklan tersebut.

Memang, advetorial sering  diasosiasikan sebagai produk iklan  media massa . Kata advetorial dianggap  istilah yang tepat untuk iklan yang bertujuan  membangun  citra suatu organisasi  termasuk menjaga citra media pers itu sendiri.

Di satu sisi,  ia menjadi  rekayasa  realitas jurnalistik bagi pemerintah dan korporat, disisi lain ia dikesankan tetap melindungi  independensi media pers yang memuat ikan tersebut.  Oleh mereka, advetorial sering tidak diakui sebagai produk jurnalistik.

Perpaduan  kata " advertising dan editorial" menjadi advetorial  terasa  kuat untuk menopengkan kepentingan kapitalis media bahkan penguasa dalam  sebuah perusahaan pers. Produk  iklan yang berbayar  seolah-olah menjadi  produk  berita yang sarat dengan  realitas. Makanya, jangan heran jika melihat halaman koran perusahaan pers  di daerah-daerah, hampir semua   halamannya dikontrak oleh pemda setempat sebagai  iklan advetorial, meski di halaman advetorial itu  tidak  disebut  atau dilabeli sebagai  advetorial.

Masyarakat pun tak  bisa lagi membedakan  yang  mana iklan dan yang mana berita. Yang mana realitas publik dan yang mana realitas bisnis media.

Media pers ibarat sebuah  etalase iklan dan katalog  kepentingan pemilik modal dan penguasa. Praktik ini dianggap lumrah,  mungkin sebagai apresiasi pemerintah daerah kepada perusahaan pers, atau " ketergantungan" perusahan pers kepada pemerintah.

Aktivitas  konvensional  dan tidak profesional  tersebut sepantasnya   segera  ditinggalkan, khususnya oleh  pemerintah daerah dan perusahaan pers itu sendiri. Kontrak halaman  di koran dan majalah, atau kontrak kepada media online tanpa mempertimbangkan kinerja media itu,  adalah prilaku   menghambur-hamburkan uang rakyat demi menyenangkan atau menggemukan perut pemilik media di daerah.

Refleksinya sangat sederhana, cukup memahami    keniscayaan   new media atau media baru,  yang dengan cepat mendisrupsi  eksistensi  media konvensional saat ini.

Sebagai buah dari  kemajuan teknologi digital, media baru seperti media online, media sosial dan platform internet lainnya telah merubah budaya   dan praktik-praktik kita dalam memperlakukan informasi. 

Tiap individu kini memiliki akses yang lebih mudah dalam menerima, mengelola, menyimpan, mengambil kembali, mendistribusikan bahkan mendiseminasi informasi kapan pun, di mana pun dan kepada siapapun tanpa melalui mediasi otoritas tertentu.

Aturan-aturan lama tidak lagi relevan menata laksana praktik-praktik digitalisasi kita dalam memproduksi dan mentransaksikan informasi  tersebut.

Kenapa dahulu banyak koorporat memasang iklan di televisi, koran, radio dan majalah? Kini, hadirnya media baru yang lebih menawarkan kecepatan, viralitas, jangkauan audiens yang relatif besar dan kemampuan berinteraksi yang lebih baik, membuat  belanja iklan mereka mulai beralih ke media baru.

Format Iklan video tidak   hanya monopoli televisi saja, ada   platform video on demand,  youtube  dan media sosial lainnya. Iklan teks dan gambar  tidak hanya dimuat di koran dan  majalah, semakin banyak  media online dan media sosial yang   menerbitkannya. Begitu pula iklan radio,   podcast dan radio streaming bisa menjadi pilihan.

Kelebihan media baru, salah satunya menyediakan fitur data analitik yang lengkap untuk mengetahui kinerja iklan  secara real time. Kesempurnaan fitur yang tidak dimiliki oleh media konvensional.

Jangkauan yang lebih luas tidak terbatas sekat-sekat geografis,  memilih target audien yang relevan, biaya lebih realistis dan dapat disesuaikan,  bisa dimonitor 24 jam,   merupakan kelebihan lain yang dimiliki media baru.

Terkait belanja iklan pemda misalnya, tidak perlu lagi menggunakan sistem kontrak halaman.  Yang dibayar adalah kemampuan dan kinerja media dalam mengotimasi advetorial  tersebut. Pemda cukup membayar tingkat keterbacaan atau tingkat interaksi  advetorial yang diterbitkan. Misalnya, dengan model  pay per impression (CMP), pay per click, pay per read, pay per play dan lain sebagainya.

Pemda juga dapat mempertimbangkan menggunakan platform peringkat website, seperti Alexa  RankMoz Pro, Pro Rank Tracker dan lainnya, untuk melihat kinerja media sebelum memutuskan media  mana yang digunakan sebagai mitra penerbit advetorial pemda .

Nantinya,  media yang memuat advetorial tersebut  tidak hanya sekedar menyiarkan saja tapi ada tanggung jawab untuk mengoptimasi iklan advetorial itu agar bisa menjangkau masyarakat secara luas.

Maka itu, aktivitas dan kreatifitas siaran  iklan di media seharusnya tidak  lagi dibatasi oleh bentuk  badan hukum media itu, tapi lebih kepada sejauh mana efektifitas media itu menjangkau audiens yang lebih luas dan membuat interaksi bahkan impresi yang lebih optimal.

Terminologi soal iklan yang nararatif, informatif, argumentatif, ekploratif dan persuasif  itu tidak melulu soal advetorial saja, bisa jadi bentuk iklan yang lain sesuai dengan  tujuan dan kebutuhan user-nya.

Jika perusahaan media non pers atau bagian humas  pemda  tidak ingin terikat dengan definisi advetorial  tersebut, fleksibel aja  untuk menggunakan istilah iklan lainnya.  Misalnya, story ads,  native ads,  news ads,  media ads, atau  apapun namanya.Yang penting tidak ada sekat-sekat antara perusahaan pers dan non pers, dalam menayangkan  iklan tersebut.

Tommy Manggus

***