Catatan Biasa Orang Biasa [13] Mencuri Naskah, Gagal Manggung

Bagi saya sendiri, akan menjadi pementasan ketiga kalinya. Sebab pada dua tahun sebelumnya selalu naik panggung.

Senin, 19 Oktober 2020 | 17:18 WIB
0
219
Catatan Biasa Orang Biasa [13] Mencuri Naskah, Gagal Manggung
Ilustrasi mencuri dokumen (Foto: Kompas.com)

Menjadi siswa SMP adalah memasuki dunia yang baru, lingkungan baru dan teman-teman yang baru. Selain aktif di Pramuka –sempat menjadi pratama- dan OSIS, saya punya komunitas lain yang orang-orangnya sebagian besar aktivis di dua unit kegiatan siswa tersebut. Kami sering berkumpul setiap malam Minggu di sekolah.

Biasanya kami tidur di masjid sekolah, yang ukurannya kecil hanya cukup untuk salat berjamaah sekitar 15 orang. Berbagai kegiatan dilakukan pada malam Minggu itu, ngobrol ngaler-ngidul, mengerjakan tugas, lalu masak nasi liwet dengan lauk seadanya. Terkadang juga ngabring untuk makan di kaki lima seperti warung Mang Oni di kawasan Cihideung atau warung nasi “Dua Taks” di Citapen.

Kami yang sering berkumpul antara lain saya, Yayan Barlian Bahrum -yang menjabat ketua OSIS, Budi Suhastian Budhi Planner , Mohammad Johan lqbal, Ahmad Tizani, Herdis Suharman, Tedy Wardiana, Deni Hendana, Endang Suherlan, Rudi Suradi, Deni Suardini, Gun Gun Priasetia, Asep Trimulya dan Tatang Jumarna. Kalau malas pulang, tidur lagi malam Seninnya di tempat itu dan besoknya langsung masuk sekolah.

Ketika duduk di kelas 3, menjelang acara perpisahan dan kenaikan kelas, kami mendaftarkan diri untuk ikut dalam pergelaran kesenian. Materinya pementasan teater. Padahal kami sendiri belum paham teater dan tidak ada unit kegiatan itu di sekolah. Terus terang, saat itu WS Rendra berpengaruh terhadap kegiatan berkesenian kami.

Bingung juga, harus ke mana mencari naskah untuk pementasan. Kebetulan kakak saya, Kang Entis S Sind sering main ke sebuah kelompok teater yang bermarkas di Jl. Pangaduankuda (Pabrik Es). Suatu kali saya ikut mengantarnya ke tempat itu. Iseng-iseng saya buka-buka tumpukan buku yang ada di ruangan tersebut.

Mata saya tertuju pada sebuah naskah –lupa lagi judulnya- karya Rahman Sabur. Saya ambil saja segera. Untuk itu saya minta maaf, karena telah dengan sengaja mencurinya.

Naskah itu saya baca. Agak pusing juga mencermati isinya. Dalam keterbatasan pemahaman soal teater, teman-teman tidak mempersoalkannya. Dalam “ketidakpahaman kolektif” itulah kami berlatih. Tanpa pembimbing, tanpa sutradara. Durasi pementasan diperpendek banyak adegan yang dipangkas.

Meski begitu, ada benang merah yang bisa ditarik dari naskah tersebut. Isinya bercerita tentang sebuah masyarakat yang tengah membangun wilayahnya. Di tengah warga terdapat seorang pempimpin bernama “Sang Adipati”. Juga sekelompok masyarakat lainnya dengan tingkah dan kepentingan berbeda-beda. Ada perebutan pengaruh dan upaya penindasan terhadap lawan yang berbeda pandangan.

Tak Lolos Seleksi

Sebelum tampil pada acara perpisahan, setiap grup yang akan mengisi kegiatan itu diminta untuk tampil pada tahap seleksi yang dilangsungkan di aula sekolah. Beberapa orang guru menjadi juri. Kami pun naik panggung dengan percaya diri. Berakting, kadang teriak-teriak, kadang lirih, atau juga bercanda. Capek juga main teater itu.

Setelah semua kelompok menunjukkan kebolehan, seorang guru membacakan keputusan tim penilai. Ternyata kelompok kami tidak lolos seleksi. Jantung kami berdegup keras dan tentu saja kecewa. Padahal latihan sudah maksimal. Bahkan seringkali dilakukan di antara gemuruhnya suara Gunung Galunggung yang berkali-kali meletus dahsyat.

Karena penasaran, lalu mencari tahu alasan sesungguhnya sehingga kelompok kami tidak lolos seleksi. Akhirnya ketemu juga. Konon beberapa juri tidak berkenan karena banyak sindiran di dalamnya. Juga ada ilustrasi musik film boneka “Si Unyil”, pada adegan munculnya Adipati yang meninjau kegiatan warga.

Musik seperti itu, katanya, cenderung melecehkan. Padahal acara perpisahan nanti akan dihadiri para undangan pejabat penting. Pertunjukan teater itu dikhawatirkan akan disalahpahami. Terlebih lagi acara perpisahan akan diselenggarakan di luar sekolah, di gedung bioskop Nusantara Jln. Gunung Sabeulah.

Meskipun alasan juri terasa lucu dan mengada-ada, namun kami tidak bisa berbuat banyak. Sudahlah, itu memang sudah keputusan yang mutlak. Padahal kami akan sangat menerima, andai dikatakan penampilan kami memang buruk dan belum pantas naik panggung. Ya namannya juga aktor teater amatiran.

Tapi kami cukup terhibur, karena seorang teman segeng lolos untuk mengisi acara kesenian itu. Dia adalah Deni Suardini (kini menjadi Inspektur Jenderal Kementerian Agama RI). Selain pintar secara akademis, Deni memang piawai menari Jaipongan. Pada acara-acara di sekolah dan di luar sekolah, Deni seringkali tampil memukau.

Semula, pementasan teater itu akan menjadi pementasan perpisahan bagi kami yang akan meninggalkan SMPN 2 dan masuk ke jenjang SMA. Bagi saya sendiri, akan menjadi pementasan ketiga kalinya. Sebab pada dua tahun sebelumnya selalu naik panggung.

Bersama Sufyan Hariri (Yuyup), Ruhiyat dan Wisnu, saya pernah ikut berpratisipasi dengan tema komedi. Meniru-niru penampilan pelawak Jojon (Grup Jayakarta) yang sedang ngetop. Maka saya pun sempat dipanggil dengan nama Jojon.

Pada kali kedua, saya tampil bersama Asep Jatnika A Jatnika S Jatnika (vokalis), Soni Sabar, Awan Restiawan, Ganjar, Rikrik Rismayadi dan Edi dalam kelompok musik Kedipan Sinar Gasolin (KSG).

Penggarapannya cukup serius karena dilatih Kang Iwan Hanjuang, seorang penggiat seni yang cukup terkenal di Tasikmalaya. Vokalisnya Asep Jatnika. Salah satu lagu yang kami bawakan adalah “Sekedar Bertanya” yang pernah dipopulerkan Dina Mariana. Saya sendiri, ya kebagian menabuh gendang.

***

Tulisan sebelumnya: Catatan Biasa Orang Biasa [12] Ibu Ira dan Pramoedya