Susi Pudjiastuti [2] Tsunami Aceh Titik Balik Melesatnya Susi Air

Setelah dua minggu menjalankan misi pertolongan di Aceh, dan siap-siap terbang pulang ke Pangandaran, banyak NGO international yang mau menyewa pesawatnya.

Sabtu, 6 Juli 2019 | 22:22 WIB
0
669
Susi Pudjiastuti [2] Tsunami Aceh Titik Balik Melesatnya Susi Air
Susi dan Susi Air (Foto: Rumahku.com)

Meski bisnis perikanannya berkembang, namun Susi sangat prihatin dengan industri kelautan nasional waktu itu. Kalau bicara perikanan, kata Susi, semua mata dunia tertuju ke Indonesia. Tapi di laut Indonesia tidak ada regulasi, peraturan, siapapun bisa menangkap ikan yang kecil sampai yang besar. Ratusan sampai ribuan kapal asing bebas merampok laut Indonesia kapanpun.

“Selain mencuri ikan, mereka masih dapat bahan bakar (BBM) bersubsidi lagi. Makanya saya tidak setuju dengan subsidi BBM. Anda bayangkan, satu kapal berukuran minimal tiga gross ton mengkonsumsi BBM minimal 5.000 sampai 10.000 liter per hari. Bisa dihitung, berapa besar pemerintah RI mensubsidi para pencuri ikan itu?" Susi geram.

Waktu itu, perhatian pemerintah terhadap industri hasil laut sangat minim. Salah satu buktinya Susi bercerita, pada pameran perikanan dua tahunan di Brussel, Belgia tahun 2003, di boot Malaysia terdapat banner besar, "What you get if you invest in fishery in Malaysia? Pioneer status for new investor, free of anytax for 7 – 12 years, reward of reinvestment, 3% of interest rate".

Selain itu, Menteri Agriculture Malaysia nongkrong di situ dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore.

Sebagai pembanding, Susi menyodorkan daftar biaya yang harus dibayar di muka oleh calon investor di Indonesia. Biaya mendirikan PT, biaya pendaftaran di Departemen Kehakiman, biaya notaris, bayar izin prinsip 0,005% dari nilai investasi (ke Pemda), biaya izin mendirikan bangunan (IMB), PPN 0,045% dari nilai investasi, bea masuk impor mesin kena PPh 22, bunga kredit bank 15%, retribusi hasil laut 14%. “Itu yang resmi. Belum speed up fee!!” kata Susi.

Di tempat yang sama, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia datang dengan 10 pengiringnya, berbincang-bincang 10 menit, terus pergi. Padahal, kalau berbicara tentang industri kelautan Indonesia, nilai industri kelautan Malaysia menjadi bukanlah apa-apa.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Peternakan dan Perikanan, Juan Permato Adoe membenarkan apa yang dikatakan Susi. Menurut dia, pengembangan industri hasil laut Indonesia juga terkendala oleh perbedaan kepentingan tiga institusi, Pemda, Department Kelautan dan Perikanan dan Department Kehutanan.

“Karena itu, sampai sekarang (2008), target ekspor perikanan nasional sebesar 1,2 juta ton per tahun tidak pernah tercapai. Selain itu, datanya tidak pernah akurat,” kata Juan.

Juan menambahkan, Yamdena, Nusa Tenggara Timur yang head to head dengan Darwin, seharusnya mengahasilkan devisa dari perikanan sedikitnya US$150 juta per tahun, karena Darwin bisa menghasilkan US$400 juta per tahun.

Sebagai pembanding di dalam negeri, Pangandaran dengan panjang pantai 20 km hasilnya mencapai Rp150 miliar per tahun. Artinya, pemanfaatan sumber daya kelautan nasional, nyaris belum dilakukan. Kecuali oleh para nelayan asing yang setiap hari merampok di laut Indonesia.

Tsunami Aceh dan Susi Air

Karena letak geographis Pangandaran berada di ujung tenggara Jawa Barat, perlu waktu delapan jam mengangkut hasil laut lewat jalan darat untuk sampai ke Jakarta. Sehingga banyak lobster atau ikan yang mati. Ikan atau lobster yang mati, harganya menjadi sama dengan yang dijual di supermarket. Satu-satunya solusi agar komoditas ikan dan lobster bisa sampai di Jakarta dalam keadaan hidup, ya harus menggunakan moda transportasi udara.

Mulai tahun 2000 Susi mulai melakukan survey untuk pengadaan pesawat. Empat tahun kemudian dia mengajukan proposal kredit untuk pengadaan pesawat ke beberapa bank. Pada umumnya bank-bank menilai peoposal itu sebagai ide gila.

“Seorang pejabat bank mengatakan, 'Susi, kalau proposal ini diterima, bukan kau saja yang dianggap gila, saya pun akan dianggap gila'. Tapi akhirnya, Director of Commercial Banking Bank Mandiri saat itu, Ventje Rahardjo mengerti visi kita,” kata dia.

Setelah melalui berbagai presentasi dan feasibility study, Agustus 2004 kredit bisa cair. Tapi dua pesawat itu baru masuk Indonesia beberapa bulan kemudian, tepatnya November 2004, delapan hari menjelang lebaran. Lalu pesawat itu dioperasikan untuk mengangkut hasil laut ke Jakarta, sekalian melatih beberapa pilot.

Tanggal 26 Desember 2004 pagi terjadi gempa dan tsunami dahsyat di Aceh. Susi hanya bisa melihat kejadian itu di layar televisi. Sahabatnya, Teten Masduki dari ICW, menceritakan bahwa kondisi Aceh seperti 'killing field'. Mendapatkan penjelasan demikian, Susi langsung memutuskan untuk membantu korban tsunami.

Pada 27 Desember dua pesawat yang baru sebulan diterimanya itu, dia mau karyakan selama dua minggu plus menyumbang uang Rp500 juta untuk biaya operasionalnya. Bantuan dua unit pesawat dan uang Rp500 juta sangat besar bagi pengusaha sekelas Susi waktu itu.

Terlebih bantuan itu dia berikan dengan spontan. Tapi, itulah Susi: memiliki sisi kemanusiaan yang sangat sensitif. Tapi niat baik Susi itu tidak begitu saja bisa dijalankan. Ada kendala, dalam kontrak dengan perusahaan asuransi: pesawat itu tidak boleh diterbangkan di Aceh, Ambon, Papua, atau war zone lainnya.

Mengetahui hal itu, Susi langsung minta jaminan asuransi dari pemerintah dan menyampaikannya ke perusahaan asuransi di Australia. Jika dalam misi membantu korban tsunami terjadi sesuatu dengan pesawatnya, pemerintah mau menjamin asuransi pesawat kreditan itu. Namun itu sangat tidak mudah, terlebih saat itu adalah hari libur Natal di berbagai negara, termasuk Australia dan Inggris dimana perusahaan asuransi yang menjamin pesawat-pesawat Susi.

Meskipun pemerintah sudah menjamin, namun pihak asuransi tetap tidak mau menjamin, karena itu di luar kontrak. Tidak berhasil.

Tapi bukan Susi kalau sampai putus asa. Dia coba mengontak kantor pusat perusahaan asuransi di London untuk menjelaskan kondisi di Aceh, dan minta pengecualian. Akhirnya diizinkan.

Tanggal 28 Desember dua pesawat milik Susi itu diterbangkan ke Medan. Salah satunya diterbangkan oleh Christian von Stromback, suami Susi. Tapi kendala belum usai. Otoritas Bandara Polonia Medan tidak mengizinkan dua pesawat itu terbang ke Aceh. Mengetahui hal itu, Susi langsung menelepon Menteri Perhubungan Hatta Rajasa, untuk minta izin terbang ke Aceh. Untungnya diizinkan.

Saat itu Hatta Rajasa menelepon langsung ke tower Air Traffic Control Bandara Polonia Medan. Maka terbanglah dua pesawat itu membawa bantuan ke Meulaboh, daerah yang paling parah dihantam tsunami.

“Kita menjadi pesawat pertama yang landing di Meulaboh membawa bantuan bahan bakar. Dalam pesawat itu ikut crew CNN. Dan tentu saja CNN melaporkan ke seluruh dunia bahwa mereka adalah crew TV pertama yang masuk Meulaboh dengan menumpang pesawat saya,” kata Susi.

Setelah dua minggu menjalankan misi pertolongan di Aceh, dan siap-siap terbang pulang ke Pangandaran, banyak Non Government Organization international yang mau menyewa pesawatnya. Akhirnya di sana pesawat disewa selama lima bulan. Saat itu perusahaan penerbangannya belum punya nama.

“Kita maunya Java Air atau Eagle Air,” kata Susi.

Tapi para aktivis NGO yang mau menyewa pesawat milik Susi di Medan selalu menyebutnya Susi Air.

“Saya bilang tidak ada Susi Air. Nama saya Susi! Rupanya, saat terbang pertama ke Meulaboh dimana crew CNN ikut, mereka menyebutkan dalam beritanya, terbang dengan menggunakan pesawat Susi Air. Makanya bule-bule itu di Polonia selalu mencari Susi Air. Akhirnya saya ngalah, jadilah namanya 'Susi Air'. Dengan misi itu Susi Air bayar zakatnya di depan” cerita Susi. 

***

Tulisan sebelumnya: Kisah Sukses Susi Pudjiastuti [1] “My Name Is Susi, But There Is No Susi Air.”