Meski Lord Didi sudah pergi, lagu-lagu campur sarinya bisa menjadi tetap asyik dinyanyikan dan dijogeti serta menjadi monumen abadi bagi seorang Lord Didi.
Saat sedang menemani Kepala BPIP rekaman "Dialog Indonesia Bicara" di TVRI pagi ini, sebuah pesan masuk ke WA saya mengabarkan bahwa penyanyi campur sari kondang yang dikenal dengan julukan "Godfather of the Brokenheart" Didi Kempotberpulang dalam usia 53 tahun pada 5 Mei 2020 pukul 07.25 di Rumah Sakit Kasih Ibu Solo.
Kepergian penyanyi yang baru saja menyelenggarakan konser penggalangan dana untuk Covid-19 di Kompas TV tanggal 11 April 2020 tersebut tentu saja mengagetkan publik, termasuk saya yang menyukai lagu-lagu patah hatinya. Tidak ada kabar berita sebelumnya bahwa almarhum sakit dan dirawat di rumah sakit.
Begitu mengetahui kepergiannya, yang saya ingat pertama kali adalah saat-saat persiapan Konser Kebangsaan Ikon Prestasi Pancasila 2019 yang diselenggarakan oleh BPIP dan TVRI di Tjolomadu, Karangasem tanggal 19 Agustus 2019. Kedua, saat menyaksikan penampilannya di Pekan Kebudayaan Nasional 2019. Ketiga, saya teringat akan rencana membuat konser amal keliling di pabrik-pabrik di kawasan Jabodetabek untuk menghibur para pekerja.
Yang pertama terkait Konser Kebangsaan di Tjolomadu, 19 Agustus 2019. Berawal dari keinginan untuk menampilkan Almarhum, saya kemudian meminta mitra saya di TVRI untuk mengontak manajemen Didi Kempot dan menanyakan kesediaannya untuk tampil.
Setelah beberapa waktu seorang staf TVRI kemudian menghubungi saya.
"Wah sepertinya kita enggak bisa tampilkan Didi Kempot, bayarannya mahal di luar budget. Maklum lagi naik daun," begitu komentar staf TVRI yang ditugasi menghubungi Didi Kempot untuk acara konser.
"Memangnya dia minta dibayar berapa," tanya saya
"Dia minta dibayar segini (sambil menyebutkan sejumlah angka tertentu), sementara budget kami maksimal sebesar segini (sambil lagi-lagi menyebutkan angkanya), masih jauh dari yang diminta," ujar staf tersebut dengan suara kecewa.
"Ehmm begitu ya ... ya udah saya akan coba hubungi Didi Kempot lewat teman dekatnya," ujar saya mencoba mencari solusi
Setelah kontak dengan teman dekatnya, Didi Kempot setuju untuk tampil di acara konser dengan bayaran sesuai besaran budget yang disiapkan TVRI.
Baca Juga: Sketsa Harian [60] Kesamaan Didi Kempot dan Mbah Surip
"Mas Didi gak keberatan kok dibayar segitu. Dia sebenarnya enggak terlalu hitungan-hitungan soal bayaran, apalagi yang punya hajat kan kantor sampeyan. Apalagi, kebetulan juga konser diselenggarakan di kota tempat tinggalnya," ujar teman saya tersebut
Akhirnya konser pun berlangsung dengan kehadiran Didi Kempot. Bukan hanya tampil pada saat konser, tetapi juga hadir saat gladi resik sehari sebelumnya. Selesai gladi resik, ia langsung meluncur ke Semarang untuk tampil di ibukota Semarang tersebut.
Saat konser di bekas pabrik gula Tjolomadu, Didi Kempot tampil prima di hadapan para penonton yang terdiri dari petinggi BPIP, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Bupati Surakarta dan Karanganyar dan tamu undangan lainnya serta disiarkan langsung oleh TVRI ke seluruh Indonesia.
Didi Kempot benar-benar jadi bintang utama dalam konser malam itu. Tamu-tamu undangan yang hadir terlihat gembira, terkadang ikut menyanyi bersama saat tembang Sewu Ketho dan Banyu Langit dibawakan. Sementara warga setempat yang mengetahui adanya konser dan tidak bisa masuk gedung, menyaksikan dengan suka cita dari layar televisi.
Fenomena kemeriahan dan sambutan terhadap Didi Kempot kembali saya rasakan ketika hadir dalam pertunjukannya di Pekan Kebudayaan Nasional 10 Oktober 2019 di Panggung Siger, Parkir Selatan, Istora Selatan.
Ini untuk kedua kalinya saya menyaksikan penampilan Didi Kempot di panggung. Ribuan penonton, kebanyakan anak muda memenuhi arena parkir selatan Istora Senayan sejak setelah magrib menunggu kemunculan Lord Didi, begitulah sebutan lain untuk Didi Kempot dari para penggemarnya. Begitu Lord Didi hadir di atas panggung, penonton yang sebagian besar anak muda milenial langsung histeris menyambut sang idola.
Sama persis saat tampil di Tjolomadu, para penonton terlihat begitu antusias melihat penampilan Didi Kempot di atas panggung. Hampir sepanjang waktu terlihat para penonton ikut bernyanyi gemnbira, meski lagu-lagu yang dibawakan Didi Kempot semuanya bernuansa patah hati.
Ingatan ketiga, sebenarnya tidak dalam bentuk kontak langsung dengan Almarhum melainkan dengan salah satu digital marketer yang berencana mengadakan konser keliling Didi Kempot di pabrik-pabrik di sekitar Jabodetabek guna menghibur para pekerja. Pertemuan saya dengan digital marketer tersebut berlangsung sekitar Februari 2020, sebelum Covid-19 mewabah di Indonesia.
Digital marketer tersebut meminta tanggapan kami mengenai rencana konser keliling di pabrik-pabrik yang idenya konon berasal dari Lord Didi sendiri. Menurut si Digital Marketer tersebut, Didi Kempot ingin menghibur para pekerja lewat konser gratis. Didi Kempot tidak meminta bayaran untuk konsernya, namun agar konsernya tidak sekedar hiburan semata, maka ada ide agar BPIP juga turut serta dalam konser keliling untuk menyampaikan pesan-pesan mengenai nilai-nilai Pancasila.
Saya menyambut baik rencana tersebut, walau agak sedikit ragu bagaimana bisa Didi Kempot menggratiskan bayarannya. Namun keraguan saya sirna usai Konser Amal dari rumah di Kompas TV yang menghasilkan donasi sebesar 7,6 Milyar dalam 3 jam.
Pemimpin redaksi Kompas TV Rosiana Silalahi yang juga menjadi host konser amal tersebut mengaku bahwa saat pertama diajak menggelar konser amal tersebut, Didi Kempot sama sekali tidak bertanya apa yang akan dia peroleh.
"Sama sekali tidak ada pikiran mas Didi Kempot dapat apa, enggak ada biaya apapun untuk pribadi. Seorang Didi Kempot dia hanya menyumbang," kata Rosi dengan suara tergetar.
Berkiprah sejak 1989 dan dikenal para penggemar musik campursari di Jawa Tengah, yang umumnya orang dewasa, nama Didit Kempot kembali mencuat di tengah kegalauan di antara anak muda milenial pada 2019. Selain sebutan Lord, anak-anak muda milenial penggemarnya juga menjulukinya sebagai the Godfather of Broken Heart, karena lagu-lagunya yang bernuansa patah hati.
Penggunaan julukan "Godfather" sendiri mengingatkan kita akan sebuah film tahun 1972 berjudul the Godfather yang dibintangi Marlon Brandon. Film ini bercerita tentang organisasi rahasia di Sisilia dan Amerika Serikat pada abad pertengahan yang kerap disebut sebagai mafia. Organisasi memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan illegal, pengorganisasian kejahatan berupa kesepakatan dan transaksi secara ilegal, abritase perselisihan antar kriminal, dan penegakan hukum sendiri (main hakim).
Dalam perkembangannya, istilah "mafia" telah melebar hingga merujuk kepada kelompok besar apapun yang melakukan kejahatan terorganisir (seperti Mafia Rusia, Yakuza di Jepang), dan Triad di China). Sementara secara harfiah, godfather berarti ayah perwalian. Jadi sebenarnya Godfather of the Brokenheart sendiri dapat diartikan sebagai ayah perwalian dari mereka yang patah hati.
Julukan tersebut cocok sekali di tengah kegalauan anak-anak muda yang sedang kasmaran dan kerap patah hati, Anak-anak muda tersebut menggemari lagu-lagu nestapa dan patah hati yang khas Didi. Sedih namun bisa membuat pendengarnya bergoyang alias bergembira dalam kesedihan. Saking gandurungnya, anak-anak muda ini berhimpun dalam perkumpulan Sad Bois, Sad Girls, Sobat Ambyar, dan lain sebagainya.
Kebangkitan kembali seniman tradisional Didi Kempot lewat media sosial tentu saja menjadi suatu fenomena yang menarik karena media sosial Twitter dan YouTube malah justru mendorong kemunculan kearifan lokal. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan pandangan kelompok anti-globalisasi. Buat mereka, hal seperti ini tidak mungkin terjadi karena media sosial dipandang sebagai agen globalisasi yang menghancurkan budaya asli bangsa.
Media sosial dipandang sebagai pintu masuk budaya asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan, sebagai agen Barat yang memusnahkan kebudayaan asli suatu bangsa. Jadi, kalau mau melindungi kebudayaan asli bangsa, jangan mau menerima globalisasi di bidang budaya. Itulah premis yang berlaku bagi kelompok anti-globalisasi.
Dalam pandangan kelompok anti-globaliasi, globalisasi itu berasal dari Barat dan menjadi alat penyebaran semua hal berbau Barat, termasuk budaya. Jadi menerima globalisasi sama saja menyerahkan budaya asli bangsa kepada budaya barat. Globalisasi adalah zero-sum game yang harus dihindari.
Fenomena Lord Didi memperlihatkan bahwa konsep zero sum game tidak berlaku. Lagu-lagu campursari yang digaungkan Lord Didi merupakan bagian budaya masyarakat yang unik dan menonjol. Sama halnya seperti musik gambang kromong yang dibawakan Benyamin Suaeb. Ia menjadi sebuah sub-kultur yang membumi di masyarakat. Ketika pembumian itu terjadi, ia menjadi sebuah identitas budaya yang dibawa oleh setiap anggota masyarakat. Di manapun dan kapanpun. Termasuk di media sosial.
Anak muda milenial mengidentifikasikan pengalaman hidupnya dengan lagu-lagu campursari melalui berbagai postingan soal Didi Kempot di media sosial. Mulai dari ekspresi para Sad Bois, Sad Girls dan Sobat Ambyar ketika menonton Godfather mereka bernyanyi. Hingga berbagai meme plesetan lirik lagunya yang terkenal. Semuanya secara serentak menjadi agen budaya asli bangsa untuk manggung di kancah nasional, bahkan internasional.
Campursari adalah medium pelipur lara, bukan lagi musik kampungan. Melalui campursari para penikmatnya bisa melampiaskan semua nelangsa dalam hati, sambil berjoget menikmati irama musik Jawa. "Dari pada bersedih hati, lebih baik dijogeti," begitu kata anak-anak muda milenial.
Sekarang Lord Didi sudah pergi. Ia seperti sudah menyelesaikan segala tugasnya untuk melakukan kebaikan di dunia, menghibur mereka yang merasa ambyar karena patah hati. Konser Amal 11 April 2020 adalah kebaikan besar yang terakhir dilakukannya, sebelum pada akhirnya tiba waktunya untuk dia kembali pada sang Pencipta.
Namun meski Lord Didi sudah pergi, lagu-lagu campur sarinya bisa menjadi tetap asyik dinyanyikan dan dijogeti serta menjadi monumen abadi bagi seorang Lord Didi.
Bekasi, 5 Mei 2020
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews