Cak Imin [2] Diktum "Saya Agamis, Saya Nasionalis" Itu

'Saya Nasionalis' adalah kesadaran individual yang didorong untuk melahirkan kesadaran kolektif sehingga ia mampu merawat perahu NKRI dari kebocoran.

Senin, 8 Juli 2019 | 21:47 WIB
0
768
Cak Imin [2] Diktum "Saya Agamis, Saya Nasionalis" Itu
Cak Imin (Foto: Twitter.com)

Ada hal yang menarik kala H. A. Muhaimin Iskandar (Cak Imin) beserta pengurus DPP PKB yang lain mengenakaan kemeja putih bertuliskan: Agamis Nasionalis, Nasionalis Agamis pada bagian dadanya dalam acara Haul ke-9 Gus Dur yang diselenggarakan DPP PKB akhir tahun 2018 lalu di Balai Sarbini Jakarta.

Tak heran bila saat itu Cak Imin menjadi trendsetter (pusat perhatian) bagi hadirin dilokasi acara, termasuk penulis. Selain dipenuhi kreatifitas, tulisan dalam kemeja putih itu tentu membawa pesan moral tersendiri terkait fenomena kekinian yang dialami bangsa ini.

Sebelum dibubuhkan pada kemeja itu, kalimat Agamis Nasionalis, Nasionalis Agamis telah lebih dulu dikenalkan ke publik saat saat Cak Imin sampaikan sambutan pada acara Deklarasi Super Jokowi di Semarang Jawa Tengah tanggal 28 September 2018 yang kemudian dijadikan tagline baru PKB.

 Di samping syarat makna, tagline ini boleh jadi menggambarkan bahwa pergulatan diantara keduanya acapkali tidak bisa dihindarkan. Padahal, dalam konteks idealitas orang agamis sudah barang tentu memiliki nasionalisme yang tinggi, pun begitu sebaliknya orang yang nasionalismenya tinggi hampir dipastikan ia agamis.

Baca Juga: Cak Imin Menggertak Jokowi, Prabowo, Sekaligus Poros Ketiga

Penulis kira, Cak Imin sedang mengingatkan kepada kita bahwa relasi negara dan agama seringkali oleng keseimbangannya karena ia tidak kuat menahan hantaman hegemoni lain. Dalam perspektif ini, Cak Imin sedang meneruskan perjuangan Gus Dur dalam menguatkan sinergi antara Nasionalisme dan Spiritualitas (Negara dan agama).

Sekedar contoh, suatu saat penulis pernah diserang habis-habisan bahkan disesatkan oleh sesama teman di Facebook (FB) hanya gara-gara postingan penulis yang dianggap tidak mendukung terhadap upaya "jihad" 212 yang berjilid-jilid hingga akhir tahun 2018 lalu.

Contoh lainnya, setiap kali penulis memposting link berita terkait Banser menjaga gereja pada perayaan Natal di WhatsApp Group warga komplek tempat penulis tinggal di Tanah Baru Beji Kota Depok. Tanpa tendeng aling-aling, penulis pun dianggap kafir karena menyebarkan berita yang berpihak kepada non-muslim.

Pengalaman penulis tadi menjadi tauqid atau penguat bahwa ada upaya sistematis dari pihak tertentu yang membuat kata nasionalis tidak disandingkan dengan agamis. Seorang nasionalis seolah-olah tidak agamis, dan sebaliknya seorang agamis tidak nasionalis.

Walhasil, soal wawasan kebangsaan ternyata masih menjadi masalah utama yang memerlukan sentuhan pemecahan bagi Islam, sebagai agama mayoritas bangsa kita. Tak jarang pergumulan itu melahirkan situasi hitam-putih yang sangat tajam.

Konsep negara-bangsa yang telah ditancapkan dalam-dalam oleh para founding father kita demi utuhnya NKRI yang memayungi segala perbedaan akhir-akhir ini hendak dicabut oleh hegemoni bernama "ideologi makar" berbaju agama. Ngeri bukan!

Saya Agamis

Secara harfiah, kata agamis diidentikkan dengan seseorang yang taat menjalankan perintah agama dibarengi dengan derajat keimanan yang tinggi. Tak heran bila ia seringkali diikuti oleh simbol-simbol yang melekat pada dirinya.

Secara substansial, agama dibutuhkan seseorang sebagai upaya meraih kedamaian dalam hidup. Bahkan dalam Islam sendiri, kedamaian itu tidak hanya dibutuhkan didunia saja, lebih dari itu hingga di akhirat nanti.

Nilai agama, tanpa terkecuali harus senantiasa masuk dalam setiap langkah kehidupan, baik dalam konteks bermasyarakat maupun berbangsa. Wajar bila kemudian terjadi pergumulan pemahaman orang beragama dan tidak beragama terhadap negara.

Dalam konteks etimologi, tidak sedikit referensi yang mengungkap definisi tentang agama dari berbagai perspektif. Penulis kira, cukuplah bahwa sejarah agama-agama di dunia ini menjadi saksi bahwa persolan ke-Tuhanan  sudah melampaui masa tuanya.

Kalimat 'Saya Agamis' penulis rasa menjadi alat refleksi sekaligus pemantik atas ke-Islam-an kita dalam kehidupan sehari-hari. Dimana Islam sebagai sebuah agama memiliki prinsip ideal bahwa siapa saja pemeluknya disyariatkan menjadi orang baik dan penuh kasih sayang, baik terhadap sesama manusia mupun alam sekitarnya.

Dalam aspek spiritualitas, agama sejatinya menghadirkan Tuhan pada segenap kesadaran manusia. Karenanya, ia menjadi faktor pendorong seseorang berlaku soleh atau paling tidak berikhtiar untuk berlaku soleh.

Disamping itu, aspek rasionalitas dibutuhkan dalam menjalankan agama sehingga ia dapat mengurai sisi formal dan substansial didalamnya. Sehingga formalitas agama tidak menjebak pada menjauhkan ruh dengan Tuhannya.

Suka tidak suka, di era keterbukaan informasi melalui media sosial hari ini melahirkan corak spiritualitas instan. Agama, pun Islam hanya sekedar dijadikan life style,simbol-simbol agamis tidak berbanding lurus dengan prilakunya sehari-hari ditengah masyarakat.

Wujud peribadatan yang melulu andalkan formalitas sama sekali tidak berkontribusi positif bagi siapapun pemeluknya. Agama sebagai identitas yang cenderung berorientasi kepada materi dan kekuasaan adalah kontributor utama bagi disharmoni kehidupan sosial kita.

Sangat kontras dengan praktek agama yang andalkan spiritualitas, dimana ia berorientasi kepada ruh, cinta kasih, perdamaian, kebajikan, lebih dari itu peniadaan ego. Pelan tapi pasti, ia menjadi aktor utama dalam menjaga harmoni kehidupan sosial kita.

Akhir-akhir ini bangsa kita dengan mayoritas penduduk muslimnya mengalami ujian yang tidak enteng. Dimana agama dijadikan legitimasi demi meraih nafsu kekuasaan bahkan cenderung dipaksakan. Praktek-praktek politik berbaju agama sudah sedemikian terbuka, bahkan sangat berpotensi munculkan konflik antar sesama warga bangsa.

Walhasil, melalui pesan Saya Agamis, Cak Imin menggugah kesadaran kita bahwa prilaku saling menghina, hujat menghujat, adu domba, merasa diri paling benar dan lainnya berdalih agama hanya akan menghambat ikhtiar memperbaiki kehidupan bangsa dalam segala aspek.

Saya Nasionalis 

Benturan antara klaim mereka yang masih tetap setia kepada UUD 1945 dengan mereka yang tetap gigih menginginkan legalisasi ajaran agama hingga saat ini tak berhenti. Gerakan makar berbungkus Khilafah Islamiyah oleh HTI adalah bukti bahwa arusnya tak pernah surut, meski kini telah dibubarkan negara.

Baca Juga: Akrobat Maut Rocky, Amien dan Cak Imin

Bagi penganut Islam formalistik dan simbolik, nasionalisme dianggap sebagai barang haram karena ia sama sekali tidak bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Baginya, menjadi seorang nasionalis sama saja ia bertindak dosa sebagai pengingkar Tuhan.

Sejak timbulnya Nasionalisme di Indonesia yang ditandai dengan kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 yang berefek pada gerakan Budi Utomo pada tahun 1908, hingga kini perdebatan tentang nasionalisme tidak kunjung usai. Padahal, sejatinya nasionalisme itu lahir untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.

Nasionalisme adalah sebuah spirit ingin mengembalikan manusia kepada harkat martabat yang sesungguhnya. Wajar jika ia kemudian cenderung anti penindasan dan hegemoni bangsa lain sehingga kemerdekaan merupakan endingnya.

Dilematis memang, disatu pihak masing-masing personal yang berpakem bahwa formalisasi Islam adalah sebuh keharusan, mereka memiliki dalil sendiri. Dipihak lain penganut nasionalisme juga memiliki dalil sendiri sehingga ia menjadi kayakinan yang dalam.

'Ala kulli hal, kalimat 'Saya Nasionalis' yang digelorakan Cak Imin penulis kira sebagai penggugah kesadaran terhadap nasionalisme kita yang tak henti mengalami ancaman. Pada saat yang sama ia kembali menguatkan kredo hubbul wathon minal iman yang digelorakan Mbah Hasyim Asyari.

Secara de facto, yang membangkitkan nasionalisme pada awal pergerakan di Indonesia adalah Islam yakni melalui pribumi muslimnya. Nasionalisme adalah produk ritus keislaman, produk homogenitas Islam sebagai agama mayoritas.

Fakta sejarahnya, Sarekat Islam, Muhamadiyyah dan NU menjadi pilar utama yang kemudian mengokohkan bangunan nasionalisme di Indonesia. Jadi, bila masih ada warga muslim yang masih anggap tabu nasionalisme, sesungguhna ia belum sampai pada maqom spiritualitas Islamnya.

'Saya Nasionalis' adalah kesadaran individual yang didorong untuk melahirkan kesadaran kolektif sehingga ia mampu merawat perahu NKRI dari kebocoran, ia terhindar dari gulungan arus ombak globalisasi yang tak henti menyeret nilai luhur budaya lokal kita.

'Saya Nasionalis' penulis kira sebagai ejawantah dari nasionalisme  yang dibangun berdasarkan kepentingan yang kongkrit untuk merubah nasib sehingga bangsa ini menjadi kuat dalam segala bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan).

Menjadi nasionalis lebih mulia karena sejatinya ia amalkan spiritualitas agama (Islam)  dibandingkan dengan fanatisme sempit berbungkus agama yang secara picik tidak legowo menerima segala perbedaan dengan pandanganya sendiri. Eklusivitas berlebihan hanya melahirkan kesombongan personal sehingga ia abai terhadap norma-norma yang sudah sepatutnya dirawat dan diwariskan kepada anak cucu kita.

Usep Safeul Kamal, penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

***

Tulisan sebelumnya: Cak Imin [1] Berhasil Naikkan Kursi PKB, Ini Langkah yang Harus Ditempuhnya