Sketsa Harian [10] Gerbong Khusus Perempuan

Saya kok melihatnya jadi mubadzir aja, seolah-olah menempatkan perempuan sebagai makhluk lemah dan karenanya perlu dikasih tempat dan fasilitas khusus.

Rabu, 30 Oktober 2019 | 23:49 WIB
0
431
Sketsa Harian [10] Gerbong Khusus Perempuan
Gerbong khusus wanita (Foto: Liputan6.com)

Apa yang paling angker di bagian badan kereta commuter line yang panjang bukan kepalang itu? Gerbong khusus perempuan!

Jangan sewot dulu, ini pendapat saya pribadi. Bisa salah, bisa didebat, tapi itu yang saya rasakan sekelebat. Karena pertimbangan kepraktisan, saya jarang nyetir mobil lagi. Urusan pemindahan badan saya serahkan pada CL, Ojol, Opang, atau GoCar/GrabCar. Saya tinggal duduk melihat yang manis-manis di depan, sampailah badan saya di tujuan.

Kenapa gerbong khusus perempuan sedemikian angker di mata saya padahal sudah dibikin ramah dengan cat merah jambu yang nggemesin? Itu karena cerita orang juga, sampai-sampai ada yang nyebar video peristiwa di dalam gerbong khusus perempuan itu, di mana seorang Ibu misuh-misuh hanya karena ga terima dipanggil "Mbah", "Nek" atau apalah oleh orang yang lebih muda.

Ada juga cerita, wanita hamil tua pun bisa dicuekkin dan ga dikasih tempat duduk hanya karena tempat duduk sudah terisi. Pun ibu-ibu yang bawa anak, jangan harap dikasih tempat duduk. Begitu katanya.

Tapi saya yakin itu cerita cuma isapan jempol belaka, ga benar-benar terjadi. Kalopun ada dan pernah terjadi, itu cuma kebetulan kali dan pelakunya pastilah oknum. Beda dengan gerbong umum (laki-perempuan nyampur), di sini toleransinya sangat tinggi. Yakin? Iyalah, wong saya liat dan ngalamin sendiri.

Saya jadi mikir, buat apa sih gerbong khusus perempuan atau wanita ada dan diada-adain? Ow, boleh jadi berangkat dari pengalaman, peristiwa pelecehan seksual yang sering terjadi saat penumpang empet-empetan, dempetan laki-perempuan tanpa jarak.

Kalo alasannya seperti ini, memang baik sih. Laki yang jarang membelai dan dibelai memanfaatkan kehangatan sebagai kenikmatan. Lalu ada yang bereaksi di tubuh mereka. Perempuan jadi ga enak ati... Ups, sensor!

Cuma sayangnya, meski sudah ada gerbong khusus, biasanya ditempatkan paling depan dan paling belakang, toh tetap saja penumpang perempuan menyesaki gerbong umum. Mereka ga takut dilecehkan apa, ya? Tapi emang toleransi penduduk gerbong khusus itu terbilang tinggi, belom ada kasus penumpang perempuan diusir dari gerbong umum, disuruh pindah ke gerbong khusus.

Sebaliknya, banyak kisah penumpang lelaki di-bully habis-habisan hanya karena dia salah masuk gerbong khusus perempuan. Padahal, bisa jadi dia pria kampung seperti saya yang ga tau peraturan orang-orang kota di kereta.

Saya kok melihatnya jadi mubadzir aja, seolah-olah menempatkan perempuan sebagai makhluk lemah dan karenanya perlu dikasih tempat dan fasilitas khusus. Terlebih dalam perjalanannya, malah tercipta semacam hierarkis dan strata sosial mengerikan, 'homo homini lupus', siapa yang kuat (ngotot dan mbacot) dialah rajanya, eehh... ratunya ding. Terus apa manfaatnya kalo gitu?

Ya ga tau, masak minta gerbong khusus perempuan diberangus kalo ga ada mafaatnya sama sekali. Kadang saya kepengen pura-pura salah masuk aja biar tau gimana rasanya kena bully rame-rame satu gerbong. Kali aja di sana terselip mantan terindah yang belain, lalu ada yang nge-shoot pake ponsel dan videonya viral di medsos. Nah, kan jadi epic toh, dramatis kayak sinetron turki.

Dari jauh terdengar suara Ariel Peterpan nyanyiin lagu "khayalan tingkat tinggi" yang pernah ngehit di masa lalu. Saya pun berucap lirih, "Astaghfirullah al adziem".

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [9] Jonru