Sketsa Harian [9] Jonru

Jonru 'kan sudah mendapat pelajaran berharga di penjara sebelumnya, masak masih mau dijebloskan untuk yang kedua kalinya.

Selasa, 29 Oktober 2019 | 07:34 WIB
0
658
Sketsa Harian  [9] Jonru
Jonru (Foto: CNN Indonesia)

Beberapa waktu lalu saya baca berita tentang Jonru Ginting. Jangan ngaku penikmat medsos kalo ga kenal nama ini. Saya kasih info gratis nih, ini nama yang melegenda di jagat medsos, kalian tuh ga sekuku-kukunya Jonru, apalagi saya. Ya harus diakuilah, Jonrulah yang sesungguhnya jagoan medsos itu!

Gimana ga disebut jagoan, wong ulama sekaliber Quraish Shihab yang sudah menghasilkan berjilid-jilid tafsir Kitab Suci saja berani ia nistakan sedemikian rupa, menudingnya Syiah atau apalah. Pokoknya ga ada nilai di mata Jonru.

Pun demikian dengan Jokowi. Habis sudah dia diblejetin, mulai ibunya, ideologinya, keturunannya. Hanya Jonru yang berani meminta Jokowi test DNA untuk membuktikan bahwa dia benar anak kandung Ibu Sudjiatmi. Apa itu ga heroik bercampur gila namanya.

Untunglah Jonru ga sebodoh para tukang fitnah papan atas lainnya yang meminta Jokowi test DNA agar bisa mengetahui apakah Jokowi PKI atau bukan. Untuk kecerdasannya yang satu ini, nama harum Jonru tetap terjaga. Ia lepas dari stigma tukang fitnah recehan!

Dari ketenarannya di medsos inilah sempat tercetus ungkapan "maha benar Jonru dengan segala fitnahnya". Benarkah Jonru tukang fitnah? "Bukan, salah besar itu...!" Kalian jangan jadi tukang fitnah baru. Ga percaya, coba deh tanyakan sendiri ke Jonru, pasti itu jawabannya!

Bagaimana Jonru tidak disebut jagoan medsos, jamaah pengikutnya bejibun, sudah hampir dua juta jiwa sebelum akunnya diberangus, padahal Jonru kan orang biasa. Jangan bandingkan dengan orang yang sering dihinanya, Joko Widodo, yang kini sudah punya follower hampir 10 juta. Pak Jokowi 'kan Presiden RI, wajar punya follower banyak. Lha, Jonru?

Asal tahu saja, Jonru adalah pribadi yang sopan. Sangat santun bahkan. Bicaranya pelan seperti orang pacaran, ga meledak-ledak, kecuali saat ia berucap takbir usai vonis hakim dijatuhkan tempo hari. Keras, tapi agak selip. Wajar, sebab berbaur emosi yang tertahan di sana dan meluap saat berucap takbir itu.

Saya pertama kali mengenalnya di tahun 2008 dalam sebuah acara yang dibesut Nokia. Kalau tidak salah perusahaan ponsel asal Finlandia mengeluarkan gawai terbarunya. Ada Budi Putra juga saat itu kalo saya ga salah ingat. Saya baru saja membesut Kompasiana dan Jonru ternyata salah satu penulis Kompasiana juga saat itu. Duh, senengnya!

Jonru telah menebus kesalahannya dengan mendekam beberapa bulan di tahanan. Itu karena ia menantang polisi di ILC. Dan seharusnya itu selesai. Pahit-getirnya kehidupan di penjara seharusnya menjadi pelajaran; jangan mengulang kesalahan yang sama. Keledai milenial saja sudah belajar agar tidak keceblos lubang yang sama dua kali.

Kemudian saya baca berita terkini, Jonru dilaporkan orang ke polisi terkait status atau cuitannya mengenai peristiwa yang dialami Wiranto, penyerangan dan penusukan. Si pelapor menganggap Jonru kering empati sehingga musibah yang menimpa seseorang pun ia jadikan olok-olok.

Memang bukan fitnah (kecuali hakim nanti bisa membuktikannya), tapi bencana yang menimpa seseorang --bahkan itu musuhmu sekalipun-- janganlah dijadikan olok-olok. Tapi harus ditelisik juga, apa ada jerat hukum di KUHP yang bisa menerungku seseorang hanya urusan empati.

Lewat berita itu terbaca, Jonru bilang kapok dan ga mau berkicau politik lagi, tentu ga mau kejeblos penjara untuk yang kedua kalinya. Jonru rupanya sudah belajar pada kearifan keledai milenial tadi.

Saya pribadi mengimbau pada pelapor, sudahlah cabut laporanmu itu. Jonru 'kan sudah mendapat pelajaran berharga di penjara sebelumnya, masak masih mau dijebloskan untuk yang kedua kalinya. Kalau mau ngasih pelajaran agar Jonru dibui lagi, lha dia 'kan udah pinter. Mau diapain lagi!?

Teganya, teganyaaa...

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [8] Aturan Tak Tertulis