"Bumi Manusia" Panggung untuk Nyai Ontosoroh

Ine Febrianti sebagai Nyai Ontosoroh bermain sangat cemerlang, sehingga cerita Bumi Manusia menjadi miliknya secara utuh.

Sabtu, 24 Agustus 2019 | 07:06 WIB
0
848
"Bumi Manusia" Panggung untuk Nyai Ontosoroh
Ine Febriyanti (Foto: Tribunnewswiki.com)

Meramu cerita Fiksi sejarah menjadi sebuah tontonan yang menarik itu tidaklah mudah, terlebih lagi sebuah tontonan dengan durasi yang cukup panjang, tanpa ada rasa bosan mengikuti alur cerita yang dibangun.

Kolaborasi Hanung Bramantyo sang sutradara Bumi Manusia dengan Salman Aristo, si penulis skenario sangat sukses. Alur cerita yang dibangun sangat mengalir, sehingga tontonan yang berdurasi tiga jam lebih tidak membosankan.

Pemilihan casting pemain pun cukup pas, Inne Febrianti sebagai Nyai Ontosoroh, bermain sangat gemilang. Sepanjang secuen dan scene mengalir, Nyai Ontosoroh sangat mencuri perhatian, sehingga film ini lebih terasa seperti cerita tentang 'Buminya' Nyai Ontosoroh.

Semua unsur produksi yang terlibat didalamnya bekerja dengan maksimal, sehingga susah mencari celanya meskipun ada. Secara pengadeganan, Hanung berhasil membangun kualitas peran para pemain, dramatisasi cerita pun tervisualisasi dengan maksimal.

Baca Juga: Minke "Monyet" dalam "Bumi Manusia"

Bumi Manusia adalah karya Masterpiece Pramoedya Ananta Toer, bagian dari Tetralogi Novel Sastra yang ditulisnya selama masa penahanan di Pulau Buru. Bagaimana Pram meramu sebuah Fiksi dengan latar sejarah, sangat terasa kekuatannya dalam film Bumi Manusia.

Pemilihan Iqbal Ramadhan sebagai 'Minke,' yang merupakan Leading Star, sepertinya adalah bagian dari marketing untuk menyasar kaum millennial, tapi sayangnya, sebagian besar Millennial kita bukanlah penikmat karya sastra, jadi agak meleset dari target.

Secara casting memang agak kurang pas Iqbal memerankan Minke, Handsome sih oke, wajahnya pribumi banget, sehingga ketika dipadankan antara Minke sama Anneliese, yang diperankan oleh Mawar Eva de Jongh, sangatlah serasi.

Film Bumi Manusia ini sangat kental dengan ketokohan Nyai Ontosoroh, Minke dan Anneliese hanya jadi pemanis dari film ini. Perlawanan Nyai Ontosoroh yang hanya seorang Gundik dari Herman Mallema, seorang pengusaha kaya.

Perlawanan terhadap perlakuan diskriminasi kolonial terhadap kaum pribumi, perlawanan seorang gundik terhadap orang yang 'Mengawininya' tanpa menikahi, yang membuatnya kehilangan haknya diakhir cerita, baik terhadap harta warisan orang yang mengawininya, juga terhadap hak asuh anak yang dilahirkannya.

Nyai Ontosoroh yang awalnya cukup bahagia, mulai terganggu dengan kehadiran anak Herman Mallema dari isteri sahnya yang tinggal di Belanda, yang diakhir cerita merampas semua harta Nyai peninggalan Herman secara hukum.

Minke dan Nyai Ontosoroh kalah secara hukum menghadapi pengadilan Eropa. Dramatisasi masuknya unsur politik Identitas agama pun diselipkan Hanung di film ini, dan suasananya sangat lekat dengan suasana kekinian.

Tokoh lain yang cukup mencuri perhatian adalah Ibunya Minke yang diperankan oleh Ayu Laksmi dan ayah Minke, yang diperankan oleh Doni Samara, meski tidak banyak scene yang dijatahkan, namun cukup memberikan nilai peran yang cukup kuat.

Robert Mallema kakak Anneliese, anak laki-laki Nyai Ontosoroh dan Herman Mallema, yang diperankan oleh Giorgino Abraham, cukup berhasil memancing emosi penonton dengan peran antagonisnya.

Baca Juga: Nasib "Bumi Manusia" di Tangan Sutradara "Ayat-ayat Cinta"

Hanung Bramantyo untuk kali ini perlu diapresiasi, begitu juga Alan Sebastian sebagai art director yang menjaga semua unsur artistik sangat maksimal, penataan busananya bagus, penataan riasnya juga demikian, begitu juga penataan set dan property-nya. 

Ine Febrianti sebagai Nyai Ontosoroh bermain sangat cemerlang, sehingga cerita Bumi Manusia menjadi miliknya secara utuh.

Catatan dari penulis terhadap penataan artistik, hanya pada pewarnaan set yang kurang soft, sehingga sangat terasa kalau set yang dipakai adalah set yang sengaja dibangun untuk kebutuhan shooting.

Padahal kalau saja pewarnaan set lebih mendekati pewarnaan bangunan jaman kolonial, yang didominasi Warna kuning gading dan putih, akan terasa lebih natural. Secara finishing sentuhan akhir setnya terkesan sangat terburu-buru, sehingga kurang kurang polesan.

***

Aji Najiullah Thaib, Penata artistik film, TV Commercial dan sinetron. Alumni Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ).