Kisah Sukses Sudhamek [2] Gara-gara Cuma Kacang, Ditolak Stasiun Televisi untuk Beriklan

Sudhamek pernah ditolak oleh satu stasiun televisi untuk menjadi sponsor utama sebuah event besar dengan alasan, produknya ‘hanya kacang’.

Minggu, 21 Juli 2019 | 09:23 WIB
0
640
Kisah Sukses Sudhamek [2] Gara-gara Cuma Kacang, Ditolak Stasiun Televisi untuk Beriklan
Sai Baba (Foto: Sai Australia)

Ketika ada temannya yang menginformasikan bahwa di Beijing, China, ada seorang shin tse yang begitu ahli dan terkenal dalam pengobatan dengan metoda tusuk jarum. Sudhamek pun mendatanginya. Namun perjalanan berobat ke Beijing itu pun tidak membuahkan hasil.

Sampai suatu hari dia mendapat kabar bahwa di India ada seseorang yang sangat ternama, Sathya Sai Baba. Banyak orang yang menderita berbagai penyakit, termasuk penyakit misterius, sembuh setelah mendapat terapi darinya.

Dia bukan seorang tabib, tapi lebih tepat disebut seorang humanis, penyair, filsuf atau guru spiritual. Sai Baba sendiri tidak jelas agamanya apa. Baginya, semua agama adalah baik. Di  India bagian selatan, Sai Baba yang berambut kribo ini dianggap sebagai orang suci.

Berangkatlah Sudhamek dan istrinya ke India, menemui Sai Baba. Dalam beberapa kali pertemuan Sudhamek hanya diajak berbincang-bincang. Belakangan diketaui, perbincangan yang hingga beberapa kali itu dimaksudkan untuk meningkatkan semangat hidup Sudhamek yang secara medis telah divonis mati.

Baru kemudian, dia diberi ramu-ramuan tradisional sebagai obat. Proses itu berlangsung hingga beberapa bulan. Hasilnya, kondisi kesehatan Sudhamek mulai membaik, sampai akhirnya pulih. Ia pun memeriksakan diri ke dokter, dan hasilnya secara medis pun dinyatakan sembuh.

Dari sekian kali pertemuan yang sangat intensif, hubungan antara Sudhamek dengan Sai Baba bukan lagi antara seorang pasien dan ‘terapis’, tapi jauh lebih dekat. Sudhamek menganggap Sai Baba sebagai guru kehidupannya.

Saat itu, status Sudhamek masih sebagai direktur di Djuhar Group. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya dia memutuskan untuk berhenti bekerja. Itulah akhir perjalanan Sudhamek sebagai seorang professional.

“Saya memutuskan berhenti sebagai professional dan mengembangkan industri kacang milik keluarga. Jadi, saya menjadi pengusaha itu sebenarnya by default,” kata Sudhamek.

Menjadi Pengusaha

Maka mulailah Sudhamek  membenahi perusahan keluarganya, PT Tudung Putra Jaya. Bagian yang pertama kali disentuhnya adalah sektor distribusi. Menurut dia, bagi sebuah perusahaan yang menghasilkan produk riil, urat nadinya terletak pada distribusi, baik distribusi bahan baku, maupun distribusi produk. Kalau di salah satu rantai distribusi ada yang macet, maka orang-orang yang bekerja di kantor itu menjadi tidak ada gunanya.

“Mau gimana, barangnya macet? Kan yang lain-lain itu bekerja untuk kelancaran distribusi. Jadi yang namanya distribusi itu harus dibangun sistemnya yang kuat dan rapi,” kata dia menjelaskan.

Setelah rantai distribusi dibenahi dengan baik, barulah pada tahun 1994 pria kelahiran Rembang Jawa Tengah 20 Maret 1956 ini benar-benar all out mengembangkan industri kacang asin tersebut. Langkah strategis berikutnya yang dilakukan Sudhamek adalah membangun brand. Diubahlah nama PT Tudung Putra Jaya menjadi PT ‘Garudafood’ yang produknya Kacang Garuda.

Saat itu Sudhamek melihat industri kacang masih production oriented, belum market add. Tapi dia mengasumsikan produk kacang ke dalam kategori snack yang sudah masuk kategori market in.

“Saya melihat, konsumen kacang sama dengan konsumen snack. Tidak sesederhana seperti yang dipahami oleh para produsen kacang pada umumnya. Bagi saya ini sebuah peluang untuk tumbuh besar, kalau Kacang Garuda dikelola dengan pendekatan marketing yang lebih baik,” kata dia seperti memberi kuliah.

“Ini Kacangku…”

Setelah sektor distribusi rampung dibenahi dan brand  Garudafood sudah terbangun, Sudhamek mulai menganggarkan dana untuk beriklan. Bagi pengusaha kacang asin pada umumnya langkah ini adalah langkah aneh yang tidak biasa. Biaya yang dianggarkan Sudhamek untuk promosi ini sebesar Rp450 juta. Saat itu, angka tersebut cukup membuat saudara-saudaranya yang terlibat di perusahaan, terkaget-kaget.

“Waktu itu angka segitu sangat besar, dan unfortunately hasilnya jeblok. Setelah dievaluasi, kami salah membuat iklan yang tepat. Tapi saya terus mencoba dan mencoba lagi sampai akhirnya muncul slogan “Ini Kacangku” di tahun 1995,” cerita Sudhamek.

Slogan Garudafood itu sukses diterima masyarakat karena spectrum konotasinya sengaja dibuat ‘agak nakal’. Maka tak pelak lagi, slogan itu mampu mendongkrak angka penjualan secara signifikan.

Jika kacang dijual tanpa merk, menurut Sudhamek, kacang hanyalah satu komoditas. Satu produsen memproduksi dan menjual kacang asin, dan produsen lain melakukan hal sama, konsumen hanya membeli kacang. Artinya, brand perlu dibangun, karena salah satu aspek dari kualitas adalah quality of image, dibandingkan dengan uang yang dikeluarkan konsumen.

Saat itu, Garudafood melenggang sendirian di pasar, tanpa kompetitor. Sudhamek mengaku, semua corporate action yang dilakukan Garudafood tidak melalui riset pasar, tapi hanya dari analisis yang ada di benaknya, plus dari pengalaman sebagai profesional. “Jadi, saya mulai dengan keyakinan saja.”

Kompetitor Garudafood, baru mulai membangun brand tahun 1997, tapi tidak dengan marketing strategic approach, dan belum terintegrasi. Sudhamek mengklaim, keunggulan Garudafood dibandingkan kompetitornya adalah mengkonsolidasikan agen-agen distribusi ke dalam satu perusahaan yaitu PT Sinar Niaga Sejahtera.

Multiplier effect dari Garudafood, selain ke hilir yaitu para distributor dan retailer, juga  ke sektor hulu. Para petani dan fabricant kacang asin yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur mendapatkan semacam pembeli tetap (stand by buyer) yang fair.

Tahun 2007, market value produk snack kacang di Indonesia sekitar Rp1,5 triliun. Garudafood Group dengan sembilan anak perusahaannya menguasai 65% pangsa pasar snack berbasis kacang. Sedangkan kompetitornya yang juga berbasis di Kabupaten Pati, Dua Kelinci  menguasai 30%, dan sisanya 5% merk lain. Sedangkan porsi ekspor untuk produk snack berbahan baku kacang hanya sekitar 10% dari total produksi.

Pakar marketing, Kafi Kurnia mengatakan, yang menjamin sebuah perusahaan bisa sukses di pasar, ada tiga hal: produk yang kompetitif, jaringan distribusi yang memadai, dan outlet yang menarik. Ketiga komponen tersebut harus dikelola secara rata dan seimbang. Menurut Kafi, Garudafood memiliki ketiga syarat itu, serta mampu mengelolannya dengan baik. Kunci keberhasilan Sudhamek, menurut Kafi, adalah ketekunan dan konsistensi dalam menjalankan kaidah-kaidah pemasaran secara benar.

“Banyak pengusaha memandang kacang asin atau snack kacang itu adalah produk yang sepele. Tapi Sudhamek melihat peluang pasar sangat besar di situ dan tidak ada pemain yang signifikan, itu dia ambil. Dia juga begitu tekun dan konsisten menekuni core business-nya hingga menjadi besar seperti sekarang,” kata Kafi.  

Kafi bercerita, Sudhamek pernah ditolak oleh satu stasiun televisi untuk menjadi sponsor utama sebuah event besar dengan alasan, produknya ‘hanya kacang’. Tapi kini Sudhamek membuktikan, Garudafood sebagai salah satu perusahaan makanan-minuman paling terkemuka di Indonesia.

 (Berssambung)

***

Tulisan sebelumnya: Kisah Sukses Sudhamek [1] Tangan Ajaib Juragan Kacang