Kisah Sukses Sudhamek [1] Tangan Ajaib Juragan Kacang

Sampai suatu hari seorang dokter ahli dari sebuah rumahsakit ternama di Singapura memvonisnya: hidup Sudhamek tidak akan lama lagi!

Sabtu, 20 Juli 2019 | 06:30 WIB
0
930
Kisah Sukses Sudhamek [1] Tangan Ajaib Juragan Kacang
Sudhamek Agung Waspodo Soenjoto (Foto: Detik.com)

Di tangan Sudhamek Agung Waspodo Soenjoto, sebuah perusahaan kecil, PT Tudung Putra Jaya, yang memproduksi kacang asin (Kacang Garuda) di Pati, Jawa Tengah, disulap menjadi sebuah perusahaan makanan dan minuman besar, Garudafood Group. Tahun 2006 total angka penjualan group bisnis ini mencapai Rp2,7 triliun. Kini Sudhamek sudah melebarkan jaring bisnisnya ke beberapa negara Asia. 

Sudhamek adalah tipe pengusaha sekaligus pemikir. Jika ia berbicara, mungkin orang akan bingung, apakah orang bertubuh tinggi atletis dan agak botak ini seorang pengusaha atau professor dari perguruan tinggi?

Beberapa saat kemudian Sudhamek mematikan ponselnya, Siemens S-35 yang bentuknya mirip separuh telur. Saat itu (tahun 2007), hand set jenis itu sudah ketinggalan zaman. Apalagi yang memakainya adalah seorang Boss sebuah group bisnis terkemuka. Tapi itulah Sudhamek, bersahaja dan menghormati siapapun orang di hadapannya.

“Sudahlah, mau nulis apa lagi tentang saya? Semuanya sudah ada di internet. Saya kuliah, terus kerja sebagai professional, berhenti kerja (karena sakit), terus bangun perusahaan keluarga, semuanya sudah ada …,” kata Sudhamek.

Memang benar, di internet banyak sekali tulisan tentang Juragan Kacang ini. Sampai akhirnya, kami meminta Sudhamek menceritakan lebih detail tentang 'perjalanan sakitnya', yang membuatnya berhenti bekerja sebagai professional.

“Buat apa? Masak media bisnis menulis tentang orang sakit?” kejarnya.

Tapi karena kami memintanya dengan 'memaksa', akhirnya dia bersedia, dan mulai bercerita.

Penyakit Misterius

Suatu sore di tahun 1978, ketika masih kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah, Sudhamek bersama pacarnya, Lanny Rosiana (kini istrinya) punya ‘ritual’ yang romantis, pergi ke sebuah bukit kecil tidak jauh dari kampus UKSW Salatiga, namanya Bukit Cinta. Mereka duduk di atas bebatuan sambil memandangi pemukiman masyarakat sekitar Salatiga yang sebagian besar kondisinya mengenaskan.

Saat itu Sudhamek dengan spontan bergumam, “Saya ingin berbuat sesuatu yang bisa membantu memperbaiki kehidupan banyak orang.”  Kata-kata itu begitu terngiang-ngiang di telinga Lanny Rosiana. Terlebih lagi kata-kata itu terucap ketika mereka dimabuk asmara.

Setelah lulus kuliah, bekerja sebagai professional. Karena memiliki kompetensi dan integritas tinggi, banyak perusahaan besar tertarik menarik Sudhamek, hingga ia berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain.

Perusahaan pertama tempat ia bekerja adalah PT Gudang Garam. Delapan tahun ia menjadi professional di pabrik rokok kretek terbesar di Indonesia itu. Kemudian dia pindah ke salah satu anak perusahaan Gudang Garam, PT Trias Sentosa. Posisi terakhir di perusahaan ini Sudhamek menjabat President Direktur.

Lalu pindah lagi ke kelompok usaha Djuhar Group milik Djuhar Soetanto, mitra taipan Liem Sioe Liong, dengan posisi Direktur Eksekutif selama empat tahun. Dengan perjalanan karier seperti itu, sebagai seorang professional Sudhamek sangat layak dikatakan sukses di usia yang relatif masih muda.

Namun, ketika bintang kariernya sedang bersinar terang, di awal tahun 1990, Sudhamek merasakan sesuatu yang tidak beres pada beberapa bagian kedua tangannya. Pada waktu yang sama, tahun 1991 keluarga Sudhamek memintanya  untuk mengembangkan industri kacang asin yang sudah dijalankan sejak lama oleh orangtuanya. Namun permintaan keluarganya itu belum bisa dipenuhi, karena ia masih terlalu sibuk.

Tahun 1992, sesuatu yang dia rasakan ‘ada yang tidak beres’ pada tangannya sejak dua tahun lalu, mulai mengganggu dan tidak bisa diabaikan lagi. Iapun  ke dokter. Setelah melalui berbagai pemeriksaan, termasuk test laboratorium, diketahui, beberapa bagian kulit pada tangannya mengalami penebalan, dan beberapa persendiannya menjadi kaku. Dokter mengatakan, penyakit yang diderita Sudhamek termasuk penyakit misterius. Hasil diagnosis itu mengagetkan, juga sangat memukul Sudhamek.

Ditemani istrinya, mulailah Sudhamek berobat dari satu dokter ke dokter lain. Berobat ke dokter yang dilakukan Sudhamek bukan hanya di Semarang dan Jakarta, bahkan sampai ke luar negeri. Berbagai methoda pengobatan juga sudah dicoba.

Sampai suatu hari seorang dokter ahli dari sebuah rumahsakit ternama di Singapura memvonisnya: hidup Sudhamek tidak akan lama lagi!

Mungkin tidak akan lebih dari dua tahun lagi. Vonis dokter di Singapura itu berdasar pada asumsi penyebaran penyakit penebalan kulit dan kekakuan persedian yang dideritanya, berlangsung sangat cepat. Jika penyakit itu sudah menjalar ke organ-organ tubuh yang vital seperti jantung dan paru-paru, maka bisa mengakibatkan kematian.

Jelas, vonis dari dokter Singapura itu secara psikologis merupakan pukulan telak. Paling tidak penyakit itu akan mematikan kariernya sebagai seorang profesional yang hampir mencapai puncak. Tinggal dua pilihan, menyerah begitu saja, atau terus berusaha untuk sembuh. Dan Sudhamek memilih yang kedua, bahkan dia berpikir vonis dokter Singapura itu salah. Ia terus berobat.

(Bersambung)

***