Melihat kondisi itu, transisi Indonesia menuju demokrasi yang diharapkan, tampaknya akan berlangsung lebih lama lagi.
Dalam proses transisi demokrasi, seharusnya terjadi penguatan dan konsolidasi kekuatan civil society (masyarakat madani/beradab). Namun yang terjadi justru menghasilkan disorientasi para pelaku civil society.
Tokoh-tokoh civil society kini banyak terlibat dalam posisi-posisi puncak negara. Baik pada lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sehingga mereka menjadi bagian integral negara.
Ironisnya, banyak yang mengalami disorientasi dengan melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan nilai-nilai civil society. Nilai-nilai yang dulu pernah mereka perjuangkan. Misalnya, pernah menjadi korban HAM, namun kini diam bahkan bersorak ketika ada dugaan pelanggaran HAM di depan mata.
Fragmentasi dan konflik politik di antara mantan pemimpin dan tokoh civil society ini hanya semakin memperburuk pertumbuhan demokrasi.
Sedangkan di pihak lain, berbagai individu, kelompok, dan organisasi civil society yang sangat instrumental bagi aktualisasi civil society, juga mengalami disorientasi.
Sebagian mereka tetap berusaha menjadi bagian dari civil society yang genuine dan otentik. Berperan sebagai “mitra kritis” negara (critical partners of the state).
Namun, mereka sudah terlalu lemah untuk bisa memainkan peran secara efektif. Dikooptasi oleh kekuasaan agar posisinya lemah.
Sebagian unsur civil society lainnya, justru terekrut – baik langsung maupun tidak – ke dalam negara. Mereka bukan hanya terkooptasi, tapi lebih jauh lagi, menjadi perpanjangan tangan politik kekuasaan.
Melihat kondisi itu, transisi Indonesia menuju demokrasi yang diharapkan, tampaknya akan berlangsung lebih lama lagi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews