Berani masuk ke kolam, maka Prabowo harus berani ganti baju Soekarno yang selama ini jadi lambang perlawanan di pilpres lalu ganti batik hijau menghadap Megawati.
Kenapa saya sebut Prabowo-Mega bukan Prabowo-Jokowi? Karena Jokowi memang hanya sebatas petugas partai.
Semua deal keputusan memilih kabinet ke depan ada ditangan Bu Mega dan orang orangnya Bu Mega.
Mega Gak akan melibatkan Jokowi. Masih ingat pemilihan Cawapres Ma'ruf Amin dulu? Itu keputusan Mega, Jokowi sendiri lebih memilih Mahfud MD.
Dalam konteks power sharing, Golkar akan menjadi batu sandungan Prabowo-Mega. Karena Golkar adalah pemilik saham terbesar nomor 2 dalam tubuh Koalisi 01 setelah PDIP.
Golkar kabarnya keberatan Gerindra masuk kabinet, tapi sekali lagi, Golkar adalah partai dewasa dan sudah matang, sudah terbiasa deal-dealan,tidak kaku sama sekali.
Gerindra kabarnya bukan hanya mengincar kursi kabinet, tapi juga meminta kursi ketua MPR RI ke Megawati. Sekali lagi bahwa koalisi Prabowo-Mega hanya soal waktu, paling lama September sudah akan clear.
Soal kursi ketua MPR, Gerindra ditentang keras oleh PKB, dan soal minta jatah banyak kursi menteri, Gerindra dilawan Nasdem, PPP dkk. Apalagi saat ini hubungan Nasdem dengan Megawati sedang panas dingin.
Dalam dinamika power sharing ini, Golkar tetap akan menjadi penentu soal mempengaruhi keputusan megawati, hitungan saya, Gerindra paling banyak nanti hanya akan mendapatkan 4 kursi menteri.
Baca Juga: Membaca Arah Pertemuan Megawati dengan Prabowo
Diajaknya Prabowo ke Koalisi 01 lebih ke pertimbangan kebutuhan Koalisi 01, terutama kepentingan Megawati yang selama ini terkungkung oleh banyak jenderal di sekitar Jokowi. Moeldoko, Wiranto, Luhut, Hendrpriyono dll.
Masuknya Prabowo dijadikan alat peredam konflik internal antara mereka, Prabowo di sini dimanfaatkan untuk kepentingan pengamaman politik Megawati cs dari kerasnya rivalitas di dalam 01 yang diisi banyak jenderal di atas.
Sekali lagi, dimanfaatkannya Prabowo untuk kepentingan mereka, konflik antara Mega-Luhut cs, konflik Prabowo-Wiranto cs, konflik Surya Paloh-Mega cs. Itu semua tidak ada kepentingan buat rakyat yang selama ini digembar gemborkan Prabowo, tapi karena Prabowo sudah setuju masuk dalam pusaran itu, resiko menggadaikan idealisme adalah resiko biasa dalam politik.
Semua konflik elit di atas soal power sharing kursi gak ada kaitan sama sekali dengan nasib rakyat, ini hanya soal "art of the deal" antar mereka, yang Prabowo sendiri secara gak langsung sudah setuju "fight" untuk kepentingan Gerindra.
Ingat, Prabowo sebelum pilpres bisa saja ngaku demi rakyat, tapi jangan lupa, Prabowo pasca pilpres adalah milik Gerindra, apa kata Gerindra dia akan lakukan. Bukan apa kata pendukungnya. Itu naif.
Secara hitungan kekuatan, Gerindra saat ini hanya takut sama Golkar. Golkar adalah partai matang dan teruji dalam manuver, Golkar senior Prabowo, Golkar pemilik kursi banyak di Senayan di dalam kubu 01. Gerindra wajib sopan sama Golkar kalau gak mau ditendang keluar koalisi.
Saat ini deal power sharing-nya belum tuntas karena Gerindra masih menunggu lampu hijau dari Golkar-PDIP, kira kira nanti september jatah apa yang akan dikasih ke Gerindra. Nasib Gerindra saat ini ada ditangan Golkar-PDIP.
Berani masuk ke kolam, maka Prabowo harus berani ganti baju Soekarno yang selama ini jadi lambang perlawanan di pilpres lalu ganti batik hijau menghadap Megawati pekan lalu, dia harus berani fokus nasib partainya, abaikan suara oposisi, abaikan hasil pilpres yang curang, berani bermanuver di dalam agar dapat jatah banyak.Dia dituntut berani memperjuangkan aspirasi kader elit Gerindra dst. Dituntut "bayar keringat" elit Gerindra yang dompetnya sudah tipis selama perjuangan pilpres kemarin, dst. Itulah kira kira nasib Prabowo saat ini sebagai ketua dewan pembina Partai Gerindra.
Karena Prabowo pasca pilpres bukan lagi capres, dia juga bukan lagi pemimpin Koalisi Adil Makmur, dan bukan juga ketua dewan pembina emak emak.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews