FPI tak perlu dibubarkan. Ganti nama dan aktivitasnya jadi Front Respon Bencana yang bertugas khusus dalam aksi-aksi tanggap darurat ketika bencana alam melanda.
Rakyat Indonesia lagi-lagi terbelah. Sebenarnya ini kelanjutan pembelahan oleh pilpres. Medan polemiknya saja yang baru, antara golongan yang mendukung pembubaran FPI atau menolak perpanjangan izin organisasi ini dengan golongan masyarakat yang menginginkan FPI tetap ada.
Serupa hasil pilpres, mayoritas rakyat Indonesia (56 persen) yang memilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam pilpres 2019 tampaknya juga adalah golongan yang menginginkan FPI dibubarkan. Sebaliknya, minoritas rakyat (44 persen, konstituen yang mencoblos Prabowo-Sandiaga) adalah juga yang menginginkan FPI tetap ada.
Ketika artikel ini ditulis (10/5, pukul 12:36 WIB) petisi "Stop Ijin FPI" yang dibuat akun Ira Bisyir di change.org telah ditandatangani 300.299 pemilik akun. Sebaliknya penandatangan petisi “Dukung FPI terus eksis” sudah berjumah 108.218 akun.
Membaca kolom komentar pada petisi, tampak ada 4 alasan mengapa mayoritas rakyat menginginkan FPI bubar. Keempat alasan itu adalah (1) FPI kelompok radikal; (2) FPI mendukung khilafah; (2) FPI mempromosikan kebencian SARA; (3) FPI organisasi tukang buat onar.
Di sisi minoritas, golongan yang menginginkan FPI tetap ada berpijak pada dua alasan, yaitu FPI sering terlibat dalam respon bencana alam dan FPI menertibkan praktik maksiat.
Saya kurang setuju dua poin pertama (FPI kelompok radikal dan FPI pendukung khilafah) alasan golongan masyarakat yang menuntut FPI bubar.
FPI bukanlah kelompok radikal.
Jika mengacu pada kamus, radikal berarti “1. secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): … 2. amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3. maju dalam berpikir atau bertindak.”
Pada masa kemerdekaan dahulu, tokoh dan organisasi pergerakan yang menuntut Indonesia merdeka sesegera mungkin disebut kelompok radikal. Sebaliknya kelompok yang sudah puas dengan status Indonesia memiliki pemerintahan sendiri di bawah kerajaan Belanda (seperti negara commonwealth) atau yang bersedia menunggu tanpa batas waktu hingga kemerdekaan diberikan sukarela oleh penjajah adalah kaum moderat.
FPI sangat tak memenuhi pendefinisian di atas. Tak ada perubahan mendasar yang FPI perjuangkan. FPI juga jauh dari layak disebut maju dalam berpikir atau bertindak.
FPI lebih tepat disebut paramiliter atau kelompok milisi, sesuai sejarah sepak terjang mereka menjadi PAM Swakarsa binaan Kivlan Zen dan sejumlah jenderal orba untuk melawan mahasiswa dan rakyat di ujung masa perjuangan reformasi dahulu.
Jauh dari berpikir dan bertindak maju, FPI kerap mempropagandakan narasi konservatif.
Meski berpikir konservatif, FPI tidak bisa dipandang sebagai pendukung kelompok ideologis HTI. Studi Ismail Hasani, dkk ("Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan") memang mengungkap kesepakatan antara Rizieq Shihab dengan mantan pentolan HTI Gatot Saptono alias Al Khathath dan sejumlah dedengkot pendukung khilafah lain untuk memperjuangkan formalisasi syariah di Indonesia.
Meski begitu, belum tentu cita-cita Rizieq Shihab serupa dengan HTI dalam soal gagasan negara khilafah. Plus mayoritas anggota FPI tampaknya hanya latah menyebut-nyebut khilafah tanpa tahu sungguh-sungguh maknanya.
Mayoritas anggota FPI lebih tampak sabagai orang-orang yang bisa dimobilisasi demi kepentingan elit politik manapun yang didukung para pentolannya.Tidak heran jika banyak yang menuding mereka sekadar gerombolan dalam bisnis mobilisasi massa orang-orang seperti Kivlan Zen.
Baca Juga: Yusril Tantang Rizieq Shihab Ubah FPI Jadi Parpol, Itupun Kalau Mampu
Untuk alasan ketiga dan keempat (FPI tukang buat onar dan mempromosikan kebencian SARA) tak ada yang bisa membantahnya. Demikianlah memang citra FPI. Tak perlu kita membahas lagi deretan panjang bukti-bukti keonaran dan ujaran-ujaran kebencian SARA yang berkaitan dengan FPI.
Pertanyaannya, manakah sisi timbangan yang lebih berat? FPI sebagai organisasi pembuat onar dan promotor kebencian SARA atau FPI sebagai penolong korban bencana dan pemberantas maksiat? Jika FPI lebih banyak keburukannya, apakah pembubaran adalah satu-satunya jalan?
Bagaimana jika saya tawarkan titik temu pro-kontra pembubaran FPI ini? Bagaimana jika FPI tak perlu dibubarkan. Ganti saja nama dan aktivitas organisasinya menjadi Front Respon Bencana yang bertugas khusus dalam aksi-aksi tanggap darurat ketika bencana alam melanda.
Kalau setuju dengan opsi ini, kelompok pro dan kontra pembubaran FPI bisa sama-sama menuntut pemerintah agar FPI menjadi semacam relawan cadangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Setiap kali diterjunkan ke daerah bencana, relawan cadangan ini mendapat uang saku dua atau tiga kali lebih besar jumlahnya dari uang transpor mereka saat terlibat aksi-aksi unjukrasa.
Bagaimana?
***
Sumber:
Ismail Hasani, et.all. (Desember, 2011) Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan. Jakarta: Publikasi SETARA Institute
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews