30 tahun Wafatnya Pahlawan Nasional Lafran Pane, Simbol Kesederhanaan

Setelah 30 tahun wafatnya, HMI tetap berdiri dengan kader-kader yang tidak lagi hanya di Yogyakarta, dan STI saja. Sudah melampau tembok STI dan bahkan menjangkau Merauke.

Senin, 25 Januari 2021 | 20:32 WIB
0
281
30 tahun Wafatnya Pahlawan Nasional Lafran Pane, Simbol Kesederhanaan
Lafran Pane (Foto: tribunnews.com)

Tanggal 25 Januari, tiga dasawarsa yang lalu. Lafran Pane wafat di Yogyakarta. Kota yang ditinggalinya sejak pemidahan ibukota ke Yogyakarta dengan alasan keamanan.

Bekerja di IKIP Yogyakarta, dan wafat di kota yang sama. Hanya memiliki sepeda onthel. Ketika menduduki jabatan Dewan Pertimbangan Agung, fasilitas yang dimintanya hanya tidak lebih dari sambungan telepon.

Fasilitas lainnya, mobil dinas dan dukungan bagi pejabat, tidak pernah dimintanya. Bahkan untuk sekadar menempatkan televisi full warna, anak-anaknya perlu berdalih bahwa televisi hitam putih itu rusak. Sehingga harus diganti.

A Fuadi (2019) menggambarkan sosoknya dalam buku “Merdeka Sejak Hati”. Dimana kobaran merdeka menjadi dambaan yang mengantarkannya dalam masa-masa revolusi merupakan panggilan nurani yang bersemayam sejak kelahiranya.

Pindah dari Sumatera, kemudian meneruskan pendidikan sampai ke Yogyakarta. Mengantarkannya menjadi dosen. Namun tak berharta sama sekali. Rupanya, harta justru bukan menjadi tujuan hidupnya. Tetapi selalu dalam tekadnya menjadikan Islam sebagai sebuah kebanggaan dalam praktik, bukan sekadar identitas.

Barang paling berharganya, hanyalah sepeda onthel. Begitu pula soal jabatan, tidak pernah menjadi obsesinya sama sekali. Selalu saja ditolaknya dengan pandangan bahwa sebagai dosen, itulah posisi terbaik baginya.

Tidak sampai Sembilan bulan setelah pembentukan HMI, 5 Februari 1947, di tanggal 27 Agustus, Lafran menyerahkan ketua umum kepada Muhammad Syafaat Mintaredja (mahasiswa Fakultas Hukum BPT Gajah Mada).

Kepemimpinan di HMI membuat tradisi yang berbeda sama sekali dengan kondisi di zaman itu. Dimana kepemimpinan organisasi hanya diserahkan kepada priyayi, bangsawan, kiyai, pejabat tinggi, atau individu dengan atribut keturunan.

Sementara di HMI, siapapun boleh memimpin. Dengan syarat minimal saja, anggota HMI. Prinsip egaliter dan juga penerimaan pada siapapun menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa saat itu.

Keinginan Lafran bahwa HMI tidak hanya memberikan ruang bagi mahasiswa STI (sekarang UII) untuk beraktivitas tetapi juga di luar tembok STI.

Dengan memberikan jabatan kepada Mintaredja, untuk menghilangkan stigma bahwa HMI hanya untuk mahasiswa STI. Demi pengembangan dan perkembangan HMI, tidak menduduki jabatan tertinggipun Lafran rela melakukannya.

Termasuk dalam beberapa kesempatan, bersedia untuk menjadi bawahan sekalipun itu bagi anggota HMI yang baru bergabung. Ini dapat dimaknai bahwa bukan soal posisi tetapi pada peran yang dapat dilakukan.

Terlihat juga pada 19 Desember 1948 ketika perang terjadi, pengurus HMI terpencar. Ada yang harus berada di medan perang. Namun, posisinya sebagai Penulis II, bersama dengan Dahlan Ranuwiharja, organisasi tetap dapat wujud dan memberikan peran-peran bagi mendukung kelangsungan republik.

Begitupun 1951, semasa PB HMI diputuskan berpindah ke Jakarta. Tetap saja, urusan jabatan tidak menjadi penghalang.

Pesan Lafran kepada putranya, Iqbal Pane “jabatan itu bukan untuk diperebutkan, tetapi diberikan kepada yang mampu.”

Bahkan Ketika ditolak masuk ke gedung lokasi pelaksanaan Kongres HMI pada tahun 1971 di Gedung Wanita Jogjakarta hanya karena tidak membawa undangan, Lafran segera berlalu dan hanya berkomentar soal itu dengan kalimat “…semakin banyak yang tidak kenal aku, artinya semakin besar organisasi kita…”

Lafran tetap saja melekat di seluruh perjalanan HMI. Walau allahuyarham tidak mau diberikan apapun hadiah. Ketika diberikan sesuatu, maka akan dikembalikan kepada pemberinya.

November 2017, pemerintah mengapresiasinya dengan gelar Pahlawan Nasional. Sebagai pengakuan atas perannya dalam revolusi dan juga perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia.

HMI yang didirikannya menjadi bagian dari elemen bangsa yang turut dalam memperjuangkan kemerdekaan. Begitu pula melampaui zaman setelehanya. Tahun ini, sudah mendekati tahun ke-74.

Baca Juga: Senjakala HMI, Masihkah Ada Harapan untuk Indonesia?

Kini, setelah 30 tahun wafatnya, HMI tetap berdiri dengan kader-kader yang tidak lagi hanya di Yogyakarta, dan STI saja. Sudah melampau tembok-tembok STI dan bahkan menjangkau sisi paling timur Indonesia, Merauke.

Juga, sisi paling barat Indonesia, Aceh. Di dua lokasi itu, juga berkembang cabang HMI yang disokong oleh komisariat-komisariat. Tersebar di perguruan tinggi sampai ke pelosok sepanjang ada perguruan tinggi.

Jerih payah allahuyarham Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya disaksikan dosen Husein Yahya, pengampu mata kuliah Tafsir, bukanlah kesia-siaan. Justru menjadi sumbangsih bagi keberadaan Indonesia hingga kini. [alfatihah untuk allhuyarham].

***