Senjakala HMI, Masihkah Ada Harapan untuk Indonesia?

HMI dapat bertahan jika menjadikan porosnya tetap pada dua sisi, umat dan bangsa. Ketika poros itu berganti pada pragmatisme, maka perlahan HMI akan menuju pada jurang ketidakrelevanan.

Sabtu, 23 Januari 2021 | 13:09 WIB
0
870
Senjakala HMI, Masihkah Ada Harapan untuk Indonesia?
Pelaksanaan Munas KAHMI di Medan (www.pepnews.com)

Ketika didirikan, punya semangat untuk memartabatkan umat Islam dan juga mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Lahir dalam situasi revolusi, di ruang kelas STI (kini UII). Didirikan di ibukota negara, tetapi bukan Jakarta. Masa itu, Yogyakarta menjadi ibukota.

Untuk menggambarkan HMI, Martin van Bruinessen (2013) mengemukakan dalam kalimat “…the most important organization of university students.”

Jika didirikan di ruang kelas, maka perhelatan demi perhatalan tidak lagi di kampus-kampus. Bahkan di hotel yang megah. Alumni HMI sudah mampu membiayai acara seremonial yang megah.

Atau juga pemerintah daerah. 2015, Kongres di Pekanbaru menghabiskan dana 3 milyar yang disiapkan Pemerintah Provinsi Riau.

Di masa pademi, bertemu dengan petinggi HMI yang memegang posisi di Pengurus Besar HMI.

Satu pertanyaan “akankah HMI bertahan ketika anak-anak kita duduk di bangku kuliah?”. Anak saya yang tertua duduk di kelas 4 SD.

Pertanyaan itu, tak terjawab langsung. Bolehjadi, anak-anak kita saat itu tidak lagi duduk di bangku kuliah perguruan tinggi dalam negeri.

Mereka menjelajah untuk strata satu, sampai ke luar negara. Bukan lagi di pulau Jawa atau ibukota provinsi Sulawesi Selatan, Makassar.

Dalam satu kesempatan bahkan Cak Nur menyampaikan untuk membubarkan HMI (Media Indonesia, 14 Juni 2002). Supaya tidak menjadi bulan-bulanan dan dilaknat.

Cak Nur juga memandang bahwa Latihan Kader yang dilaksanakan sejak tahun 1960-an, tidak menghasilkan kader yang standar.

“Alumni HMI yang koruptor, juga ada. demikian pula Mr Clean, juga ada”, lanjut Cak Nur.

Sitompul, (2006) menulis buku secara khusus berjudul “44 indikator kemunduran HMI: suatu kritikan dan koreksi untuk kebangkitan kembali HMI.”

Diterbitkan ketika menjelang Kongres HMI di Palembang (2008). Dibedah semasa pelaksanaan kongres. Tidak saja didiskusikan, tetapi dibagi gratis oleh Allahuyarham Agussalim Sitompul. Beliau sendiri yang menyiapkan buku sejak awal kemudian membagikannya untuk dibaca.

Kersten (2018) menuliskan Berebut Wacana. Momentum reformasi, HMI kehilangan spirit pembaruannya. Anak kandung reformasi terlahir KAMMI. Tantagannya, Ketika alumni KAMMI menjadi bagian dari kekuasaan, “apakah tidak sama dengan HMI?”. Itu soal lain, dalam kesempatan yang lain.

Sidratahta (2006) mengemukakan kondisi dimana alumni HMI mengisi struktur kekuasaan. Belum ada penjelasan apakah dengan keberadaan alumni HMI yang tersebar dalam kursi itu juga menjadi upgrading atau downgrading HMI.

Jika disebut dualisme, maka perjuangan HMI diwarnai dengan adanya dualisme organisasi sejak 1986. Kelompok yang tak menerima asas tunggal kemudian dinamakan dengan HMI MPO (Majelis Penyelamat Ogranisasi). Itulah yang menjadi jejak-jejak dinamika organisasi hingga saat ini.

Walaupun berbeda dalam kelembagaan, begitu selesai ber-HMI, alumni-alumni HMI terhimpun di KAHMI. Walau Jusuf Kalla mengemukakan bahwa itu setingkat di atas arisan.

Dualisme juga mulai terjadi dalam tubuh HMI yang bersekretariat di Jl. Diponegoro pasca kongres Balikpapan (2002). Dimana terbentuk kepengurusan dengan Ketua Umum Kholish Malik, dan satu lagi dipimpin Pj. Ketua Umum Muchlis Tapi Tapi.

Dualisme kepemimpinan dengan kabinet masing-masing mewarnai perjalanan dua dekade terakhir HMI. Tidak lagi di tingkatan pengurus besar, bahkan itu sampai di pengurus komisariat.

Betapa menjadikan jargon “persatuan dan kesatuan” di HMI, menjaid barang langka dan teramat susah untuk diwujudkan.

Baca Juga: Janganlah KAHMI Terbelah Dua Supeti HMI pada Masa Lalu!

Perbedaan pandangan dalam soal menggerakkan layar organisasi ke depan, bisajadi berujung pada dualisme. Jika itu dipandang sebagai dinamika atau juga proses keorganisasian, akan memberikan latihan dan pengalaman.

Namun, Ketika itu justru menjadi penghalang untuk mewujudkan idealisme organisasi, maka akan menjadi tindakan yang stagnan. Mencegahnya untuk tidak menjadi poco-poco.

Kalaulah dinamika internal menjadi dominan, maka tenaga yang ada tidak pernah digunakan untuk merespon isu keumatan dan kebangsaan yang menjadi concern HMI selama ini, sebagaimana amanat pendiriannya.

Untuk tetap relevan, sebagaimana pesan Jakarta Post (2016) menyimak “kebrutalan” Kongres HMI di Pekanbaru, maka HMI harus tetap menjadi bagian dari anak kandung umat dan bangsa.

Sehingga misi yang diembannya adalah tidak lagi mempertahankan kemerdekaan, tetapi beranjak bagaimana mengisi kemerdekaan untuk bersanding dengan bangsa-bangsa lain.

Begitu pula, misi keumatan yang justru bertambah, bukannya semakin berkurang. Ditambah lagi dengan tantangan digitalisasi, dan juga kemajuan teknologi yang berkembang bersamaan dengan penolakan terhadap sains.

Mengidentifikasi ini, sebenarnya teramat mudah dimana latihan kader HMI menempatkan materi “Problematika Umat” sebagai bagian utama perkaderan.

HMI akan dapat bertahan, jika menjadikan porosnya tetap pada dua sisi tadi, umat dan bangsa. Namun, ketika poros itu berganti pada pragmatisme, maka perlahan HMI akan menuju pada jurang ketidakrelevanan.

***