74 Tahun HMI, Mengukuhkan Komitmen Keislaman dan Kebangsaan

HMI tetap saja setia pada komitmen. Dinamika organisasi dan juga bagian yang mengiringinya menjadi pelajaran bersama. Ini juga menjadi bagian dalam membesarkan HMI.

Selasa, 2 Februari 2021 | 12:01 WIB
0
360
74 Tahun HMI, Mengukuhkan Komitmen Keislaman dan Kebangsaan
Himpunan Mahasiswa Islam (www.kalaliterasi.com)

Islam dan Indonesia menjadi sisi koin dalam gerak dan langkah Himpunan Mahasiswa Islam. Sejak awal ketika didirikan di ibukota negara, namun bukan Jakarta, semangat inilah yang mendasari sehingga HMI harus didirikan.

Dibentuk di ruang kelas, dalam jadwal mata kuliah tafsir, menyatukan momentum sekaligus pesan bahwa HMI merupakan organisasi kemahasiswaan yang sepenuhnya dilandasi oleh spirit Alquran.

22 tahun setelahnya, kertas kerja Nilai Dasar Perjuangan disahkan dalam Kongres IX di Kota Malang, 1969. Selanjutnya disempurnakan oleh tim yang ditetapkan yaitu Sakib Mahmud, Endang Ashari, dan Cak Nur sebagai penyusun draft awal.

Selanjutnya, Kongres X di Palembang, 1971, mengesahkan NDP sebagai dokumen organisasi HMI.

Dalam pekan ini, jumat terdekat, HMI akan sampai pada Langkah 74 tahun. Dalam usia manusia, sudah senior. Bahkan melampaui angka harapan hidup rata-rata manusia Indonesia.

Sebagai organisasi, ini sejatinya sudah sampai pada usia yang matang. Ditempa oleh zaman, apalagi HMI yang didirikan di masa-masa revolusi. Itulah yang menjelaskan kondisi dimana HMI berdiri bukan di Jakarta tetapi semasa ibukota dipindahkan ke Yogyakarta.

Dalam Dies Natalis pertama, Jendral Besar Soedirman memesankan bahwa HMI bukan hanya Himpunan Masyarakat Islam, tetapi juga bermakna Harapan Masyarakat Indonesia.

Seiring dengan berjalannya waktu, pesan itu mendapatkan tantangan sekaligus cobaan. Dimana ada juga pesan HMI diuji dengan kalimat “Masihkah ada Harapan untuk Indonesia?”.

Sebagai produk historisitas, maka tetap saja HMI memiliki pelbagai dimensi. Termasuk dalam kekhawatiran penyusun NDP yang pada kesempatan setelahnya dikenal sebagai cendekiawan muslim, Nurcholish Madjid.

Cak Nur gelisah dan bahkan sampai pada kalimat untuk membubarkan HMI. Semasa hadir dalam seminar di LIPI, 3 Juni 2002. Bukan tentang kelembagaan HMI, tetapi dimana kegelisahan Cak Nur terkait dengan citra alumni HMI.

Pada saat yang sama, dalam rentang 2002-2005, HMI dalam struktur kelembagaan di pengurus besar mengalami ujian. Dimana dalam dua kepengurusan terjadi kepengurusan ganda. Baik seusai kongres Balikpapan, maupun setelah kongres Pondok Gede.

Bukan lagi hanya HMI Dipo, HMI MPO, tetapi dikenal pula HMI Ragunan. Dimana kepengurusan PB HMI yang merupakan hasil rapat pleno di Ragunan.

Dinamika ini berujung pada kesepakatan ishlah dan diakhiri dengan kongres di Pondok Gede, 23-27 Oktober 2003. Sekaligus menetapkan Hasanuddin dari Cabang Gowa Raya sebagai formateur/ketua umum.

Rupanya, kepengurusan ganda kembali terulang dalam periode ini. Syahmud Ngabalin ditetapkan menjadi Pj Ketua Umum, berdampingan dengan Hasanuddin yang menunjuk Haerullah sebagai sekretaris jendral.

Dinamika ini kemudian berjalan sampai juga pada ujungnya, 30 Mei 2005, menyepakati penyatuan dua kepengurusan tersebut. Sehingga terlaksana Kongres XXV, Makassar 20-25 Februari 2006.

Masa itu, Badan Koordinasi Sulselrabar dipimpin Abd Razak, dan HMI Cabang Makassar dipimpin Abd Karim.

Makassar menjadi tuan rumah ketiga kalinya, setelah sebelumnya menjadi tuan rumah Kongres VI, 1960; dan Kongres XIII 1979.

Gugatan dan kritik internal datang silih berganti. Begitu pula perjalanan organisasi terus mengalami perkembangan. HMI tetap saja menjadi almamater anak-anak bangsa.

Jumat ini (5 Februai 2021), HMI sampai pada pusaran waktu 74 tahun. Komitmen keislaman dan kebangsaan, atau kebangsaan dan keislaman tetap menjadi rel untuk perjuangan organisasi.

Kader HMI menjadi bagian dari perjuangan umat, sekaligus bangsa. Ketika mereka usai ber-HMI, maka tidak menjadi bagian organisasi tertentu.

Baca Juga: Dies Natalis 74 Tahun, Quo Vadis HMI

Sebaliknya, kader HMI akan menjadi kader umat. Tidak terkhusus pada organisasi yang memang HMI tidak dinaungi baik secara kelembagaan maupun emosional pada satu organisasi kemasyarakatan tertentu.

Adapun keberadaan KAHMI merupakan perkumpulan dengan semangat kekeluargaan yang menjadi ikatan emosional semata. Tetapi tak menjadi kewajiban alumni HMI untuk berhimpun di situ.

HMI tetap saja setia pada komitmen. Dinamika organisasi dan juga bagian yang mengiringinya menjadi pelajaran bersama. Ini juga menjadi bagian dalam membesarkan HMI.

Komitmen keislaman dan kebangsaan yang dijadikan sebagai tujuan pendirian HMI, Ketika itu dikukuhkan sebagai semangat keorganisasian, dan juga praktik kader serta alumni HMI, memberikan sumbangsih bagi kelangsungan Indonesia.

***