Dies Natalis 74 Tahun, Quo Vadis HMI

HMI, kader, dan juga alumninya, terlahirkan dengan semangat yang bertumpu pada umat dan bangsa. Setelah fase sebagai kader, maka sepenuhnya menjadi kader umat dan bangsa.

Jumat, 29 Januari 2021 | 12:05 WIB
0
265
Dies Natalis 74 Tahun, Quo Vadis HMI
Himpunan Mahasiswa Islam, HMI (www.jurnalfaktual.id)

"HMI akan dapat bertahan, jika menjadikan relnya tetap pada dua sisi, umat dan bangsa. Namun, ketika rel itu berganti pada pragmatisme dan kekuasaan, maka perlahan HMI akan menuju pada jurang ketidakrelevanan." (Wekke, 2021)

Ini cerita sebelum pandemi mendera. Berkunjung ke pengasuh Pesantren Matahari, Mangempang, Maros, Sulawesi Selatan, Prof. Dr. Qasim Mathar.

Salah satu aktivitas beliau ketika mahasiswa, bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Obrolan hari itu, salah satu kalimat yang terus terngiang “jarum cita HMI harus mengarah ke insan akademik.” Setiap kader, sangat paham soal ini. Bahkan menjadi hapalan wajib. Namun, kepahaman berbeda ranahnya pada psikomotorik.

Termaktub, tujuan HMI “"Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT" (Pasal 4 Anggaran Dasar HMI).

Sebab ini adalah, doktrin utama dan pertama HMI pada keilmuan, tradisi akademik, intelektual. Semuanya bertumpu pada identitas mahasiswa.

Tradisi yang mengakar ini, menghujam dalam dinamika perjalanan HMI (Hamsah, 2018; Labib, 2015; Afkari & Wekke, 2018).

Sebagai dimensi lain dari mahasiswa adalah kepedulian terhadap lingkungan. Sehingga seorang mahasiswa tidak bisa abai terhadap lingkungannya.

Namun, tidak memungkinkan untuk dibalik. Kepedulian yang pertama, selanjutnya urusan kuliah menjadi urutan selanjutnya.

Belum lagi, ada amanah dan tanggungjawab yang diemban dari orang tua masing-masing untuk menyelesaikan perkuliahan sampai ke jenjang sarjana.

Sisi-sisi inilah yang senantiasa perlu dijaga oleh seorang mahasiswa sehingga dapat mengemban tanggungjawab sosial di masyarakat.

Cendekia dan sekaligus peduli. Keduanya tidak bisa dipisahkan, tetapi track utama pada proses di bangku kuliah.

Godaan kekuasaan kadang mendera. Jika membaca apa yang dituliskan Prof. Harry Azhar Azis (Tanjungpinang Pos, 2021) terkait dengan PB HMI tandingan, maka bolehjadi ini diprakrasai sekelompok alumni.

Keberadaan alumni HMI justru menjadi boomerang bagi keberadaan organisasi. Tidak saja HMI, tetapi bahkan sampai KAHMI dalam satu kurun waktu di masa lalu, juga pernah mengalami kondisi dualisme.

Perhelatan Rapat Anggota Komisariat (RAK) lebih mengemuka pada pencalonan ketua umum. Sebelum pembukaan RAK bahkan sudah dibuka pendaftaran calon, pemaparan visi-misi, kampanye di media sosial, dan pengerahan massa untuk menghadiri RAK.

Jika ini dilangsungkan, maka perlu jawaban atas pertanyaan ini “apa pasal sehingga proses seleksi ketua umum diutamakan? Berbanding dengan penjelasan tema RAK, juga road to RAK dengan diskusi, bedah buku, panel, seminar, peluncuran buku, dll”.

Gugatan untuk mengembalikan tradisi HMI juga turut disuarakan (Hidayat, 2005). Ada kegelisahan internal, betapa politik praktis mengemuka berbanding tradisi intelektual yang sudah melekat sebelumnya.

Dalam Bahasa Prof. Oman Fathurahman (2015) dinyatakan dengan perlunya “reaktualisasi tradisi intelektual Islam Indonesia”. Aktualisasi budaya akademik perlu mendapatkan adaptasi dengan perkembangan blog, media sosial, dan perangkat digital lainnya.

Warna kekuasaan terjumpai seiring dengan wujudnya alumni HMI yang mengisi pos-pos kekuasaan. Sehingga dalam pengisian kursi kekuasaan, diperlukan mobilisasi massa. Maka, kader HMI aktiflah yang turut memberikan kontribusi suara, sekaligus dalam kasus tertentu menjadi tim sukses.

Purnomo (2017) ketika menyelesaikan menyelesaikan disertasi di University of New South Wales, Australia, mengemukakan temuan bahwa alumni HMI merupakan contoh kesuksesan, sekaligus sebagai contoh kegagalan politik substansial.

Dimana HMI tidak menjadi sebuah partai, namun dikenal dengan sebutan HMI Connection. Disebut sebagai bagian dalam penggulingan Gus Dur.

Baca Juga: Senjakala HMI, Masihkah Ada Harapan untuk Indonesia?

Cerita itu belum terverifikasi, namun menjadi percakapan di media sosial. Apapun itu, dimensi HMI beragam dalam spektrum yang lima. Bukan hanya dalam politik, sebagai salah satu lahan pengabdian dan juga metode mewujudkan insan cita.

HMI, kader, dan juga alumninya, terlahirkan dengan semangat yang bertumpu pada umat dan bangsa. Setelah fase sebagai kader, maka sepenuhnya menjadi kader umat dan bangsa.

Kerja-kerja keumatan dan kebangsaan yang akan menjadi orientasi sekaligus sebagai wawasan. Pada dua itu jika tetap kukuh, HMI akan menjadi salah satu pilar keindonesiaan tercinta.

***