Apakah Penggulingan Kennedy dan Soekarno Berkaitan dengan Masalah di Papua?

Berkat diplomasi Presiden Soekarno, \Belanda waktu itu yang menjadi sekutu AS di NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) diminta AS agar setuju menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.

Sabtu, 13 Februari 2021 | 10:01 WIB
1
275
Apakah Penggulingan Kennedy dan Soekarno Berkaitan dengan Masalah di Papua?
Presiden Soekarno dan Presiden AS John F Kennedy

Hari ini, Sabtu, 13 Februari 2021, saya mendapat catatan dari kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Papua, bahwa Banyak kader HMI di partai politik besar yang sekarang jadi anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Republik Indonesia (RI), tetapi suaranya nyaris tak terdengar hampir tidak bisa membedakan kader HMI atau bukan,  sama dengan tidak bisa membedakan antara PDIP dan PPP, sulit membedakan antara Golkar dan PKB, PAN, PD... yang membedakan hanya kepentingan jangka pendek...

Saya setuju dengan kritisi ini. Pada dasarnya, tolonglah hai para anggota DPR dari Papua, pikirkanlah tempat lahirmu yang sekarang masih berjuang memakmurkan rakyatnya. Jangan pikirkan kepentingan sesaat, karena bukankah pendiri negara ini ketika memperjuangkan masuk ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak berpikir sesaat, tetapi.berpikir jangka panjang, melintasi satu generasi hingga ke anak cucu?

Tentang Presiden Soekarno ini, saya kembali mengingatkan tentang sejarah nama Papua, yang berasal dari nama Irian Barat oleh Presiden RI pertama, Soekarno. Kemudian pada 1 Maret 1973 sesuai dengan Peraturan Nomor 5 Tahun 1973, nama Irian Barat resmi diganti Presiden Soeharto menjadi  Irian Jaya. Memasuki era reformasi, sebagian masyarakat menuntut penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua.

1 Mei, selama ini hanya dikenal sebagai Hari Buruh Internasional  yang diperingati setiap tahun. Tetapi perlu diingat pula, 1 Mei sejak 1963 adalah hari bersejarah bagi Indonesia tetapi sering  dilupakan.

Pada 1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada Indonesia. Hari bersejarah itu menjadi tanda berakhirnya penjajahan Belanda di Tanah Air.

Meski bangsa Indonesia mengakui bahwa 1 Mei 1963 adalah hari Pembebasan Papua dari kolonial Belanda, tetapi dunia internasional mengakui secara sah bahwa Papua adalah bagian Negara Indonesia. Tepatnya setelah dilakukannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.

Sebagai bagian dari perjanjian New York, Indonesia sebelum akhir 1969 wajib menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat. Pada awal 1969, pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan Pepera.

Penyelenggaraan Pepera dilakukan 3 tahap, sebagai berikut:

– Tahap pertama dimulai 24 Maret 1969. Pada tahap ini dilakukan konsultasi dengan dewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera.

– Tahap kedua, diadakan pemilihan Dewan Musyawarah Pepera yang berakhir Juni 1969.

– Tahap ketiga, dilaksanakan Pepera dari Kabupaten Merauke dan berakhir pada 4 Agustus 1969 di Jayapura.

Baca Juga: Benarkah JF Kennedy Tewas dan Bung Karno Tumbang Gara-gara Ini?

Pelaksanaan Pepera turut disaksikan utusan PBB, utusan Australia, dan utusan Belanda. Ternyata hasil Pepera menunjukkan masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hasil Pepera itu dibawa ke sidang umum PBB. Lalu pada 19 November 1969, Sidang Umum PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera.

Persoalan Papua bukan berhenti pada 1963. Sebab Organisasi Papua Merdeka (OPM), gerakan separatis yang didirikan pada 1965, menentangnya. OPM memang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian Barat lepas dari Pemerintah Indonesia.

Istilah Kompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang sekarang dipergunakan, merupakan istilah yang pas untuk mengatakan bahwa mereka kelompok bersenjata dan berada di wilayah NKRI. Jadi setiap kelompok bersenjata di NKRI harus ditumpas habis. Setelah kemerdekaan, banyak sekali kelompok bersenjata. Seperti Pemerintahan Revolusioner RI di Sumatera Barat, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan gerakan separatis lainnya.

Ketika saya kuliah di Universitas Cenderawasih di Abepura, Jayapura, pada 1975-1980 dan setelah 1979 meraih gelar Sarjana Muda Hukum di Fakultas Hukum, OPM banyak berkeliaran di kampus. Karena saya terlibat di dalam organisasi ekstra Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jayapura, Pangdam Cenderawasih waktu itu, CI Santoso, mantan Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) sering menanggil saya untuk berdiskusi tentang OPM. Jadi saya paham betul tentang sepak terjang OPM di Papua. Khususnya di kampus Universitas Cenderawasih.

OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah bagian Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya. Warna kulit dan spesifik tubuh mereka tidak sama dengan penduduk Indonesia lainnya. Tetapi, itu.bukan argumen yang tepat, karena orang Maluku pun memiliki ciri berbeda.

Fakta sejarah menunjukkan, Papua bersatu ke dalam NKRI sejak 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia. Pihak Belanda menyerahkan wilayah yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya untuk merdeka, yaitu masuk kedalam wilayah Indonesia. Tetapi,  perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.

Benar, bahwa pada 1 Juli 1971, Nicolas Jouwe dan dua komandan OPM lainnya, Setelah Jafeth Raemkorem dan Jacob Hendrik Prai menaikkan bendera Bintang Fajar dan memproklamasikan berdirinya Republik Papua Barat. Namun, pemerintahan ini berumur pendek karena ternyata segera ditumpas militer Indonesia di bawah perintah Presiden Soeharto.

Pada 1982, Dewan Revolusioner OPM didirikan. Tujuannya menggalang dukungan masyarakat internasional untuk mendukung kemerdekaan wilayah tersebut. Mereka mencari dukungan antara lain melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Gerakan Non-Blok (GNB), Forum Pasifik Selatan, dan Association of South East Asia Nation (ASEAN).

Latar belakang pemberontakan biasanya diawali dari ketidakpuasan masyarakat daerah atas kebijakan pemerintah yang dirasa kurang adil. Ketimpangan ekonomi, benar menjadi salah satu faktor. Memang tidak mudah buat Presiden Soekano mengatasi berbagai persoalan di dalam negeri maupun berbagai usaha Belanda untuk kembali menjajah. Presiden Soekarno pun tidak luput dari usaha pembunuhan.

Sebelum proklamasi, terjadi perdebatan tentang wilayah mana saja yang bisa dikategorikan sebagai Indonesia. Sejak saat ini sudah terjadi perbedaan pandangan antara Soekarno, Yamin di satu pihak dengan Hatta di pihak lain. Mengapa demikian?

Ketika saya menghadiri sebuah diskusi bersama seorang peneliti tentang Asia Tenggara, Dr. Stepene Douvert di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ia memberikan sumber peta dari Muhammad Yamin bertahun 1959. Kemudian dapat dilihat di sini peta Indonesia 11 Juli 1945  yang dicita-citakan Soekarno dan Yamin.

Baca Juga: Debat Tajam antara Bung Karno dan John F. Kennedy soal Irian Barat

Keduanya memasukkan Malaysia, Timor-timur, Kalimantan hingga Papua Barat sebagai wilayah RI. Berbeda dengan Mohammad Hatta. Ia tidak memasukan wilayah Malaysia Barat, Kalimantan sebelah utara, Timor-timur dan Papua bagian Barat dalam peta Indonesia.

Jadi sejak Juli 1945, sebelum Indonesia merdeka, perbedaan pandangan antara Soekarno, Yamin dan Hatta sudah terlihat dalam menentukan pulau-pulau mana yang termasuk bagian Indonesia dan mana yang tidak. Tetapi bersyukurlah setelah Proklamasi tidak memunculkan perpecahan mereka dalam bidang politik. Yang terjadi, Soekarno-Hatta menjadi dwi tunggal yang tidak mungkin dipisahkan. Memang harus juga diakui, pada akhirnya dwi tunggal itu terpecah juga dengan pernyataan Wakil Presiden Bung Hatta yang mengundurkan diri.

Di masa pemerintahan Soeharto muncul pertanyaan, yaitu dengan melihat peta impian Indonesia menurut Soekarno dan Yamin yang memasukan Timor Timur menjadi bahagian Indonesia, lalu Soeharto kemudian  memujudkan impian Soekarno dan Yamin itu?

Kembali kepada pembicaraan awal di mana peran Presiden AS John F. Kennedy? Berkat diplomasi Presiden Soekarno, penjajah Belanda waktu itu yang menjadi sekutu AS di NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) diminta AS agar setuju menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.

***