Menunggu Prabowo Seberani Sandiaga

Tentu saja pilihan Sandiaga untuk bersikap waras ini ada harganya. Ia akan diajuhi sekutu-sekutunya, bahkan bisa jadi dimusuhi.

Minggu, 5 Mei 2019 | 11:27 WIB
0
834
Menunggu Prabowo Seberani Sandiaga
Sandiaga Uno [foto: IDN Times/Irfan Fathurohman]

Keberanian sangat dibutuhkan untuk menyatakan tidak terhadap pendapat orang-orang dekat kita. Keberanian dibutuhkan untuk menjadi waras ketika orang-orang yang telah banyak berjasa kepada kita sedang kehilangan kewarasan dan mengajak kita turut serta.

Untuk soal yang satu ini, Prabowo Subianto patut berguru kepada Sandiaga. Pernah berpangkat Letnan Jenderal dan bertempur melawan rakyat (pemberontak kalau dilihat dari sudut pandang rejim) di Timor Leste, Aceh, dan para aktivis rupanya tidak otomatis membuat Prabowo lebih berani dibandingkan Sandiaga.

Kita tahu,  pascapencoblosan kubu Prabowo-Sandiaga gencar mengkampanyekan klaim kemenangannya. Pernyataan-pernyataan mendiskreditkan lembaga-lembaga survei ramai dilontarkan karena hasil hitung cepat berbasis metodologi ilmiah lembaga-lembaga itu berkebalikan 180 derajat dengan klaim kubu Prabowo-Sandiaga.

Klaim kubu Prabowo-Sandiaga sendiri tanpa basis data sama sekali. Cerita mereka soal perhitungan riil internal hingga kini tidak pernah terbukti adanya. Yang ditunjukkan malah logika asal-asalan Arief Poyuono.

Ketika hasil hitung cepat Komisi Pemilihan Umum dalam situng mulai ditayangkan, tidak berbeda jauh dengan kesimpulan quick count lembaga survei, kubu Prabowo-Sandiaga kembali ke skenario lama: mempropagandakan pilpres dicurangi untuk merugikan kubunya.

Dengan licik kubu ini mengeksploitasi human error entri data di situng. Hanya kasus-kasus yang merugikan Prabowo-Sandiaga yang diangkat. Sementara kasus-kasus yang menguntungkan Prabowo-Sandiaga dan merugikan Jokowi-Ma’ruf yang sangat banyak jumlahnya tidak mereka singgung.

Soal salah entri situng dan tuduhan kecurangan KPU, baca rangkaian artikel: "Provokasi Para Politisi yang Mendadak Bipolar;" "Narasi Kecurangan Pilpres dan Penyesatan Logika Kekuasaan;" "Siapa yang Curang? Di TPS Ini Suara Sah 141, Prabowo 784."

Sandiaga rupanya kurang sreg dengan dua skenario propaganda ini. Ketika Prabowo mendeklarasikan klaim kemenangannya, Sandiaga memilih tidak tunjuk muka. Rumor beredar. Ada yang bilang Sandiaga dibentak, ada pula yang katakan ia sampai ditampar Prabowo atas sikapnya itu. Kubu BPN membantahnya dengan cerita tentang Sandiaga sakit.

Baca Juga: Detik-detik Terakhir Prabowo

Mungkin karena dampak ketidakhadiran Sandiaga sangat merugikan upaya membangun narasi klaim kemenangan, BPN berusaha keras menghadirkan Sandiaga dalam deklarasi klaim kemenangan yang ketiga. Sayang, ekspresi wajah dan gestur Sandiaga justru meyakinkan orang-orang yang mepercayai rumor di atas.

Tentang sikap Sandiaga terhadap deklarasi klaim kemenangan, baca: "Mungkin Ini Saatnya Kirimi Sandiaga Bunga Tanda Simpati"

Ketika kubu Prabowo-Sandiaga mengganti fokus propaganda, dari klaim kemenangan—yang sudah tidak mempan lagi—kembali ke propaganda mendiskreditkan KPU disertai upaya memobilisasi massa,  Sandiaga lagi-lagi menunjukkan ketidaksetujuannya.

Dua contoh kecil misalnya penolakan Sandiaga Uno menghadiri acara kampanye Said Iqbal yang memanfaatkan momentum hari buruh dan acara GNPF bertajuk Ijtima Ulama Ketiga.

Said Iqbal memobilisasi buruh-buruhnya untuk memperingati hari buruh internasional di Tennis Indoor Senayan, Gelora Bung Karno. Di sana kepada para buruh dipertontonkan slide-slide tangkap layar salah entri situng yang dipropagandakan sebagai kecurangan. Lucunya lagi, kasus salah entri yang ditayangkan hanya yang merugikan kubu Prabowo. 

Sandiaga mencoba waras dengan menolak hadir di sana. Diberitakan Kompas (29/04), Sandiaga katakan, “"Teman-teman serikat pekerja atau buruh menginginkan lapangan kerja yang lebih terbuka dan alangkah baiknya kalau proses tersebut murni dari pekerja tidak terbelah karena tentunya agenda politik yang ada sekarang."

Pernyataan Sandiaga ini bertumbukkan dengan sikap Prabowo yang dengan senang hati menghadiri acara tersebut dan menjadikan peringatan Satu Mei buruh kelompok Said Iqbal sebagai panggung politik.

Begitu pula ketika kelompok GNPF MUI pimpinan sejumlah pentolan FPI menggelar acara yang mereka sebut Itjima ketiga. Sandiaga juga menolak hadir.

Bahkan ketika ditanya pendapatnya tentang hasil rekomendasi forum itu, yang menuntut pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin didiskualifikasi, Sandiaga katakan, “"Saya enggak punya kompetensi untuk ini. Lebih baik diarahkan ke ahli-ahli hukum."

Pernyataan itu jelas menunjukkan posisi Sandiaga. Adalah ahli hukum yang layak mengomentari itu. Artinya protes terhadap dugaan kecurangan pilpres harus diserahkan ke koridor hukum, ke ruang penyelesaian sengketa yang mekanismenya diatur undang-undang, bukan dengan propaganda penyesatan dan adu tekanan massa.

Tentu saja pilihan Sandiaga untuk bersikap waras ini ada harganya. Ia akan diajuhi sekutu-sekutunya, bahkan bisa jadi dimusuhi. Tetapi saya kira setimpal pula ganjaran bagi pengorbanan itu. Dengan berani bersikap waras, Sandiaga menyumbang pada upaya menjaga keutuhan negeri ini.

Kira-kira kapan Prabowo Subianto akan seberani Sandiaga Uno?

***


Sumber:

  1. Kompas.com (29/04/2019) "Sandiaga Pastikan Tak Hadiri Peringatan Hari Buruh 1 Mei”
  2. Tempo.co (02/05/2019) “Sandiaga Soal Rekomendasi Ijtima Ulama III: Tanya ke Ahli Hukum”