Jangan Samakan Peristiwa Mei 2019 dengan Peristiwa Mei 1998

Peristiwa kerusuhan yang baru terjadi dini hari ini tak bisa jadi cikal bakal layaknya peristiwa Mei 1998.

Rabu, 22 Mei 2019 | 21:51 WIB
0
467
Jangan Samakan Peristiwa Mei 2019 dengan Peristiwa Mei 1998
Kerusuhan di depan Bawaslu (Foto: Kompas.com)

Dini hari itu, saat mata saya belum mampu terpejam, waktu sahur pun dirasa tak lama lagi. Saya pilih sebuah saluran televisi untuk menemani. Sebuah gambaran yang menegangkan pun muncul dari layar. Terlihat barikade polisi brimob yang sedang maju memukul mundur demonstran yang sedang berusaha merangsek ke arah gedung KPU sambil membakar benda-benda yang ada di sekitarnya.

Saya mengikuti di menit pertengahan dari peristiwa dan belakangan saya baru mengetahui bahwa para pendemo telah lebih dulu menyerang aparat dengan lemparan batu dan bom molotov bertubi-tubi.

Beberapa mereka berlarian ke berbagai arah lain. Ada yang lari dan sembunyi di dalam masjid. Sungguh sebuah aksi brutal dari para pendemo yang sebelumnya mengaku akan melakukan aksi damai di depan Bawaslu.  

Sungguh pikiran tak karuan ketika saya menyadari suami saya sedang mencari rezeki dengan kendaraan onlinenya di sekitar lokasi kerusuhan di Jakarta itu. Terlintas di benak saya juga bagaimana nasib mereka yang beraktifitas pada malam hari seperti satpam, supir mobil dan motor online, pekerja kantor yang pulang dari lembur hingga mereka yang tinggal di sekitar lokasi dan ingi membeli menu untuk sahur.

Beberapa kios di seputaran kaki lima tanah abang juga dibakar oleh massa. Saya pun dalam posisi bersiap jika kerusuhan merembet ke area pertokoan tanah abang. Aksi ini memang cukup membuat jantung warga di Jakarta dan sekitarnya berdegup kencang dan tak henti mencucap asma-Nya.

Dilihat dari kostum para pendemo yang menyerang, mereka sedikit berbeda dengan para pelaku aksi yang sempat berbuka puasa dan shalat berjamaah di depan gedung Bawaslu pada sore hari sebelumnya. Dari wajah juga rata-rata mereka masih belia, tampang umur belasan tahun saja. Apakah mereka adalah perusuh bayaran?

Saat ini penelusuran polisi masih mencari tau soal ini setelah sebuah ambulan berlogo partai disita dengan isi peralatan  dan batu-batu kerikil di dalamnya. Sebuah aksi masa yang terorganisirkah?

Ini adalah masa di mana 21 tahun yang Soeharto yang sudah menjabat sebagai presiden selama 32 tahun itu harus lengser di tangan aksi mahasiswa yang pada tanggal 21 Mei 1998 menduduki gedung DPR-MPR RI. Kini, aksi perusuh yang sedikit serupa dengan aksi mahasiswa di peristiwa kerusuhan Mei 1998 pecah dengan diawali seruan people power oleh, kubu Prabowo-Sandiaga.

Di balik koalisi Prabowo-Sandiaga berdiir mereka yang dulu ada dalam posisi menghadapi aksi mahasiswa. Monopoli dinasti Cendana di beberapa sektor BUMN, nepotisme dalam perangkat instansi negara serta sikap otoriter yang membungkam aspirasi rakyat menjadi dasar dari pergerakan rakyat yang berangsur-angsur membesar.

Kala itu, Amien Rais ada di dalam barisan penginisiasi aksi mahasiswa untuk melengserkan Soeharto. Kini, Amien Rais berada dalam kubu oposisi pemerintah yang menyerukan aksi people power ini.

Titiek Soeharto dalam beberapa ucapannya berdiri membela barisan pendemo ini dan kerap kali menyulut amarah pendukungnya dengan ucapannya. Menurut Titiek, ini adalah pemilu tercurang yang jauh lebih parah dari pemilu di era Soeharto lalu. Apakah Titiek sedang bercanda kali ini? Atau ingatannya terlalu lemah untuk merekam semua perlakuan kroni keluarganya kala itu.

Bahkan, tiga partai yang ada saat itu tak kunjung bisa memekarkan diri menjadi partai kecil dengan banyak aspirasi baru. Pemilu tidak langsung yang dilakukan oleh anggota DPR-MPR terasa bagaikan formalitas. Betapa tidak, Golkar sebagai partai pengusung Soeharto terlalu digdaya dengan mengikat pilihan para aparatur negara hingga elemen pegawai negeri sipil lainnya untuk tetap berada dalam barisan partai beringin ini.

Dulu, media massa tidak bisa bergerak dan bernafas lega seperti saat ini. Semua media yang berani mengkritik atau membuka aib pemerintah bisa terkena sanksi subversif. Aktifis yang menyerukan keadilan dan protes akan kebijakan Soeharto hanya sebagian saja yang wujudnya masih terlihat hingga era reformasi berakhir.

Lantas, pantaskan Titiek mengatakan era ini lebih parah dari era kepemimpinan sang ayah? Bahkan beberapa mediaf cetak di masa itu, baik lokal maupun internasional, memberikan gelar Soeharto sebagai pemimpin terkorup di dunia dari sekian nama pemimpin negara yang terlibat korupsi.

Baca Juga: Kali Ini Prabowo Harus Diperiksa dan Diadili

Kini di era digital 4.0 dimana media online dan media sosial merajai jalur transportasi pesan, generasi milenial menjadi komunikator yang sangat kritis mengomentari banyak hal terutama soal politik.

Sayangnya banyak dari mereka yang belum dewasa di era orde baru, bahkan belum terlahir, yang ikut berkomentar membandingkan era saat ini dengan orde baru hanya dari referensi media online atau cerita mulut ke mulut. Mereka yang berada di barisan pendukung 02 inilah sasaran empuk yang mudah diprovokasi mereka yang menggerakkan people power demi membela barisan ini.

Aksi massa, merangsek ke arah aparat, memancing dengan kekerasan untuk dibalas aparat, jika sudah terkena serangan aparat mereka seolah berusaha melarikan diri, playing victim dan menebar informasi ini ke banyak pihak. Itu hanya prediksi saya betapa mudahnya merusak citra baik aparat demi melegitimasi pemerintah saat ini agar terlihat otoriter seperti di era orde baru.

Ya, persaingan dua kubu ini gambaran jelas persaingan pejuang reformasi dengan pelaku orde baru.

Yang membedakan kroni cendana dulu dan masa kini. Sekarang mereka dalam barisan yang berkoalisi dengan partai-partai Islam yang secara nafas pergerakannya lebih mudah disusupi organisasi radikal terlarang seperti HTI dan Khilafah Islamiyah. Habib Rizieq pemegang komando sebagai pemimpin bayangan yang meskipun mengusung Prabowo tapi setiap titahnya harus dipatuhi koalisi.

Barisan ini mengambil posisi sangat berseberangan dalam banyak hal. Dogma agama dan isu PKI dimainkan pula oleh Amien Rais denga slogan ‘partai Allah’, ‘partai setan’ dan label “polisi seperti PKI.” Makin lengkap kekuatan oposisi yang harus dihadapi petahana saat ini. Dan mereka merdeka berpendapat walaupun menyesatkan. Hoaks di zaman ini bukanlah barang yang langka ditemui.

Kembali lagi pada pertanyaan apakah era Jokowi-JK ini serupa dengan era ordebaru? Mungkin gambaran pemerataan pembangunan hingga ke wilayah Indonesia timur, area perbatasan dan wilayah terpencil lainnya bisa menjawab pertanyaan ini. Betapa selama 32 tahun Soeharto masih banyak desa terpencil yang belum menikmati sarana listrik.

Harga BBM dan bahan baku lainnya di wilayah Indonesia Timur, sebagian Indonesia Barat dan Indonesia Tengah sangat tinggi. Infrastruktur saat itu masih sangat terbatas walau Soeharto diberi gelar ‘bapak pembangunan.’ Dan yang pasti, sedikit saja mengkritik pemimpin di era itu, pelakunya bisa mendekam di penjara atau hilang tanpa bekas. Itu yang saya ketahui.

Baca Juga: Bola Panas Pilpres Menggelinding ke Jalanan

Peristiwa kerusuhan yang baru terjadi dini hari ini tak bisa jadi cikal bakal layaknya peristiwa Mei 1998. Dulu rakyat kompak bergerak demi penguasa yang telah puluhan tahun memonopoli kekayaan negeri. Kali ini, Jokowi justru menerapkan komunikasi yang jauh lebih cair dengan rakyat dengan banyak ruang aspirasi publik yang terbuka.

Beberapa tambang migas dan emas tembaga yang selama ini dikelola pihak asing kembali diambil alih oleh BUMN kita. Di laut kita makin digdaya dengan sanksi tegas kepada setiap negara pelanggar batas eksploitasi laut.

Banyak hal yang harus disyukuri hari ini tertutup walau isu menyesatkan. Jika aksi Mei 1998 adalah menegakkan kedaulatan rakyat, aksi Mei kali ini justru penghinaan terhadap kedaulatan rakyat yang telah memilih pemimpinnya secara langsung. Jangan sampai kita berkabung dengan wafatnya kedaulatan rakyat kita oleh tindakan rakyatnya sendiri yang terprovokasi.

Semoga rekonsiliasi tercapai setelah ini, tak perlu ada reformasi jilid baru dengan masalah yang baru.

***