Mencintai KPK dengan Cara yang Beda

Beberapa aktivis yang konon netral seringkali teriak, Jokowi dah kaya malaikat, kecolek dikit, pendukungnya ngamuk. Sekarang, sebagian mereka yang kontra revisi justru seperti itu.

Minggu, 13 Oktober 2019 | 10:53 WIB
0
437
Mencintai KPK dengan Cara yang Beda
Massa menolak RUU KPK (Foto: Detik.com)

Januari 2015, waktu itu Presiden Jokowi hendak mengumumkan calon Kapolri baru. Ramai sudah tersebut nama Budi Gunawan (BG) sebagai kandidat kuat. Benar saja, tak lama Presiden mengumumkan BG sebagai calon tunggal Kapolri. Proses selanjutnya adalah persetujuan DPR. Namun tiba-tiba petir menyambar. Berapa hari kemudian, KPK muncul dan mengumumkan BG sebagai tersangka (TSK) rekening gendut.

Sontak semua heboh. Publik ramai mendukung KPK dan menyeru presiden agar mencabut pencalonan BG. Hal yg belakangan dilakukan oleh Jokowi. Di antara pro dan kontra, saya bertanya dalam hati,

Kok baru sekarang diumumin? Kenapa diumumin TSK waktu namanya udah disebut? Kenapa ga diumumin sebelumnya kalo niatnya murni nyegah?

Ah, pikiran itu saya buang jauh-jauh. Waktu itu, siapa sih yang "berani" nyenggol KPK? Cap pro koruptor pasti bakal gratis didapat kalau ada yang berani bersuara begitu. Diem aja deh...

Dengan segala kontroversi, BG akhirnya memenangkan pra peradilan. Ia bebas. KPK "kalah". Kasusnya berhenti? Entah. Semua tau KPK diharamkan stop kasus. Tapi semua jiga tau, sampai sekarang, kasus 4 tahun yang lalu itu belum ada lagi updatenya. Mbuh...

Pikiran itu segera hilang. Tak lama muncul isu revisi UU KPK. Semua spontan menolak. Paling tidak mayoritas. Saya pun termasuk. Ga bener ini. Pasti mau lemahin KPK. Tolak!!!

Hal yang baru belakangan saya sadari, bahkan tokoh sekelas Prof Romli Atmasasmita dan (alm) Adnan Buyung Nasution, bahkan Buya Syafii Maarif, menyerukan sejak 2015 bahwa perlu dibentuk Badan Pengawas KPK. Artinya otomatis wajib melalui revisi UU KPK. Tapi siapa yang peduli?

Pantaskah kita ragukan integritas mereka? Berani kita labeli mereka pro koruptor? Anti KPK? Pendukung korupsi? Mungkin, inilah yang disebut sebagai orang yg tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.

Pernah baca drafnya? Saya waktu itu bahkan belum tahu apa isinya. Tapi konyolnya, saya ikut bersuara menolak. Sebuah kesalahan.

Hal yang tidak ingin saya ulangi di tahun ini. Saya harus tahu dulu apa isinya. Saya harus pahami sendiri apa yang diubah. Saya mau baca sendiri, bukan cuma dengar atau baca ulasan media. Saya harus tahu apa yang saya mau omongin.

Ternyata, sesuai dugaan. Memang banyak usaha "memotong" wewenang KPK. Tapi, ternyata ada poin yang jauh lebih substansial dan penting yang patut diperjuangkan. Yaitu soal adanya Dewan Pengawas dan prosedur penyadapan yang transparan. Memang, ada pertaruhan. Bisa jadi ada pasal yang tidak menguntungkan lolos. Karena isi kepala para perunding bisa beda dengan logika publik. Termasuk saya.

But hey, it's worth trying. Kenapa?

Paling tidak dari jawaban presiden, sebagian kekuatiran itu telah terhapus. Karena mudhorotnya lebih besar jika 2 poin krusial seperti Dewan Pengawas dan prosedur penyadapan ini sampai lewat. Tanpa ini, KPK bisa makin melenceng keluar dari relnya dan terpuruk lebih dalam. Tentu kita tidak ingin melihat KPK mengurus kasus "receh" suap 100, 200 juta. Pun jg kita tidak ingin melihat lagi dugaan KPK ikut berpolitik praktis.

Cara mereka menunjuk BG sebagai TSK setelah Presiden mengumumkan BG sebagai cakapolri sangat politis. Karena bisa mengsesankan bahwa lembaga eksekutif "ngasal" milih. Kenyataannya, pra peradilan membebaskan BG.

Atau misalnya melakukan OTT jelang Pemilu terhadap petinggi partai tertentu. Ini langkah yang berbahaya karena jelas bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis.

Sebagai pembanding. Kepolisian sudah punya kebijakan "menangguhkan", bukan membatalkan, perkara yg menyangkut calon yang terlibat dalam kontes Pemilu. Semata-mata untuk menjaga prinsip netralitas dan keadilan atas azas praduga tak bersalah. Sayangnya, KPK malah abai terhadap hal ini.

KPK tidak memiliki lembaga pengawas. Ini masalah terbesarnya. Dengan segudang kuasa yang dimiliki, dukungan dan image di masyarakat yang sangat baik, hampir bisa dipastikan bahwa tiap tindakan mereka pasti didukung publik. Tapi kalau salah, siapa yang bisa dan berani menjewer? Tidak ada.

Tapi kok diem-diem, dadakan, kenapa ga minta saran publik?

Baca Juga: RUU KPK, Jebakan Batman buat Jokowi

Sebetulnya semua prosedur hitam putih dijalankan. Mungkin kita atau media yang tak sadar. Ada 1 contoh dokumen di bawah soal Rapat Dengat Pendapat RUU ini. 2016 silam, Prof. Romli sebagai penggagas UU KPK adalah salah satu yang dimintai pendapat dan masukan.

Beberapa aktivis dan golongan yang konon netral seringkali teriak, Jokowi dah kaya malaikat, kecolek dikit, pendukungnya ngamuk. Sekarang, entah sadar atau tidak, sebagian mereka yang kontra revisi justru seperti itu. Cuma beda subjek.

Lo senggol KPK, gw kepret!
Pendukung korupsi lo!
Woi, bayaran antek koruptor ye?!

Loh kok jadi mirip sama pendukung fanatik para capres? Kemana prinsip "open minded" yang selama ini kalian bangga-banggakan?

Tidak. Kali ini saya tidak mau melakukan kesalahan seperti dulu. Kali ini, saya sudah baca, saya sudah cermati, saya sudah bandingkan, saya sudah telaah lebih jauh. Sudahkah kalian juga lakukan itu? Atau kalian justru sedang mengulangi kesalahan saya dulu?

Biarkan kali ini saya ikut menjewer telingamu, bukan lagi memberimu coklat atau gula-gula.

Izinkan kali ini saya mencintaimu dengan cara yang berbeda, wahai KPK - Katryn, Prisca, Karlina...

***