Aksi untuk Aksi

Ddalam RUU KUHP yang baru, 'kumpul kebo' hanya bisa diproses kalau ada tuntutan dari keluarganya. Dan anak-anak liqo yang mengharamkan pacaran , ternyata pendukung kebebasan.

Kamis, 26 September 2019 | 06:29 WIB
0
443
Aksi untuk Aksi
Salah satu poster yang dibawa pendemo (Foto: Facebook/Eko Kuntadhi)

Saya sebetulnya suka membaca poster-poster demo mahasiswa kali ini. Mereka mengekspresikan dirinya secara otentik. Lucu. Kreatif. Dan keren.

Pasal RUU KUHP yang mereka persoalkan rata-rata, menolak negara intervensi sampai ke ruang privat. Mereka mau pacaran tanpa kuatir dipersekusi hukum. Namanya juga anak muda.

Ini menandakan tuntutan mahasiswa sudah naik kelas. Biasanya mereka memperjuangkan problem kebangsaan, kini mereka keras memperjuangkan kebebasan individu. Kebebasan terhadap kelaminnya sendiri. Negara gak usah mengurus selangkangan warganya.

Isu sejenis itulah yang saya rasa menarik mahasiswa unyu-unyu untuk ikut demonstrasi. Padahal yang mengajak dan mengorganisir keberangkatan adik-adik yang lagi demen sayang-sayangan itu, rata-rata pengurus senat atau BEM. Rahasia umum kalau para aktivis Senat atau BEM adalah anak-anak liqo, asuhan PKS.

Anak-anak liqo selalu kampanye anti pacaran. Di kampus mahasiswa yang suka pacaran dan bebas, sebetulnya gak akan klop sama gerombolan liqo ala PKS ini. Tapi untuk kepentingan massa kali ini, gak apa-apa deh. Menutup mata dengan tuntutan liberal seperti itu.

Saya rasa jika nanti pasal di RUU KUHP soal hukuman bagi yang 'kumpul kebo' dihapuskan --karena pasal itu yang banyak diprotes mahasiswa-- yang paling berjasa menghapuskannya adalah mahasiswa liqo, para pengurus BEM asuhan PKS, dan mungkin anggota Gema Pembebasan HTI. Merekalah yang aktif mengkoordinir kawannya untuk demo kemarin.

Bagaimana bisa anggota pengajian yang mengharamkan pacaran kini tampil membela kebebasan seks? Bisalah. Alasannya cuma satu : Jokowi.

Sebelum demo, beredar kabar pengarahan dan dedengkot NF di gedung KPK. Mahasiswa dikompori. Diajak jadi radikal.

Artinya, bagi anak-anak liqo ini, setuju dengan tuntutan mahasiswa unyu-unyu untuk sementara, gak apa-apa. Yang penting aksi massa terlaksana. Jumlah massa banyak.

Dengan kata lain, aksi gak ada hubungannya dengan tuntutan. Aksi adalah aksi. Gak penting apa isi tuntutannya. Yang penting ada kerumunan orang di jalan.

Itu juga yang menjelaskan, aksi terus berlangsung padahal Presiden sejak 5 hari lalu sudah memutuskan menunda RUU KUHP. Mereka menolak RUU KUHP yang akan menggantikan KUHP buatan Belanda. Jauh sebelum itu, Presiden sudah melangkah dengan menundanya.

Tapi, sekali lagi, aksi ini untuk aksi. Untuk massa yang berhamburan di jalan. Bukan untuk menuntut sesuatu. Toh, apa yang dituntut malah sudah lebih dulu ditangguhkan Presiden.

Aksi untuk aksi adalah semacam pertunjukan untuk menyatakan yang penting melawan pemerintah. Lantas kenapa melawan? Apa alasannya? Gak penting karena alasan apa. Kita lawan saja. Kita sebel saja.

Sebel. Mungkin itu juga jadi kata kuncinya.

Sebuah demo yang dirancang dengan bermodal 'sebel'.

Maka meledaklah demo semalam. Demo meminta penundaan RUU KUHP yang memang sudah ditunda sejak sebelum demo berlangsung.

Itu sama saja ada cewek yang duduk di dalam biskop sama pacarnya. Terus dia marah-marah ke pacarnya itu. "Kamu pembohong. Katanya kamu mau ajak aku nonton!"

Cewek itu marah, hanya untuk marah. Gak terlalu peduli dengan alasannya. Mungkin sedang PMS.

Tinggal cowoknya yang garuk-garuk kepala sendiri.

Tapi begini. Sebuah isu kecil saat ini akan mudah meledakkan massa. Mungkin akan terus rally sampai 20 Oktober. Sampai pelantikan Presiden dan Wakilnya.

Sebab politik itu seni bargaining. Salah satu alat penekannya adalah massa. Baik massa unyu-unyu, massa beringas ataupun kadal gurun. Gak penting.

Di atas massa di jalan, semua kepentingan bisa menunggangi. Kepentingan penyusunan kabinet, pembagian kekuasaan di parlemen, jatah konsensi bisnis, para mafia yang gak mau diganggu, atau yang paling ekstrim pengasong khilafah yang mau meruntuhkan negeri ini. Siapa saja bisa berselancar di atas aksi massa.

Dan para orang tua, kini bingung. Apakah akan mendukung tuntutan anaknya bahwa apapun yang dilakukan terhadap alat kelaminnya, adalah haknya sendiri. Negara gak boleh mengatur. Termasuk orangtuanya gak boleh protes.

Sebab dalam RUU KUHP yang baru, ternyata 'kumpul kebo' hanya bisa diproses kalau ada tuntutan dari keluarganya. Dari orangtuanya.

Dan anak-anak liqo yang mengharamkan pacaran itu, ternyata pendukung kebebasan berkelamin juga, kemarin.

Keren, kan?

"Kalau sapi setuju sama kebo, gak aneh dong, mas?" ujar Abu Kumkum.

Eko Kuntadhi

***