Sing Waras Ngalah

Jika terbukti ada kecurangan, maka ada proses hukum yang harus dijalani, bukan otomatis meyakini lawannya yang menang.

Selasa, 7 Mei 2019 | 20:33 WIB
0
870
Sing Waras Ngalah
#HoaxituFitnah

“Sing Waras Ngalah”, kalimat yang sering kita temukan, lewat di status di lini masa sosial media atau bahkan diucapkan kawan-kawan, manakala terucap kekesalan lantaran terprovokasi aktifitas yang tak sejalan dengan pendapat umum.

Rakyat Indonesia baru saja usai melakukan Pemilihan presiden dan pemilihan legeslatif pada tanggal 17 April 2019. Sebagian masyarakat, termasuk saya berharap usai 17 April, suasana akan menjadi adem dan lebih kondusif. Ternyata jauh api dari panggangan tapi asapnya membuat susah melihat kebenaran. Ya, kenyataan sangat berbeda dengan harapan. Usai 17 april, tidak menjadi adem atau kondusif malah, kian memanas.

Baca Juga: Dramaturgi “Deklarasi” Kemenangan Prabowo

Terutama dari kubu 02 yang tidak mau menerima hasil Quick Count/hitung cepat,, dimana hampir semua lembaga riset  penyelengara Quick Count memenangkan Pasangan Capres-Cawapres 01, Joko Widodo-KH. Maruf Amin dengan hasil dikisaran 56%- 44%. Situasi dan kondisi diperparah dengan ulah #02 yang tidak menerima hasil Quick Count. Sebetulnya menolak hasil quick count, ya gak apa-apa.  Penetapan pemenang  ditentukan berdasarkan Real Count  KPU.

Celakanya, Kubu #02 malah mengklaim sudah menang 62 % dan mendeklarasikan kemenangannya. Sempat beredar joke yang sarkastik. Karena walau mengklaim kemenangan mulai dari 55%, kubu #02 berkali-kali mengumumkan kemenangan dengan perolehan angka yang berubah-berubah. Hingga keluar meme, itu deklarasi kemenangan atau ngecharge hp?

Yang mengusik saya, apa yang mendasari Seorang Prabowo percaya, kalau ia sudah menang? Karena menolak hasil Quick Count, tidak apa-apa. Tapi menolak dengan  alasan tidak percaya karena meyakini lembaga riset yang melakukan hitung cepat sebagai pendukung #01, di situ saya kecewa dan mau marah. Karena Quicki Count adalah kegiatan ilmiah, di mana ada metodologi yang menjadi dasar pelaksanaannya. Jika menolak hitung cepat, saya mempertanyakan pendidikan orang-orang disekeliling Prabowo yang bertitel pendidikan tinggi.

Namun situasi terus berubah, Tim Kemenangan Nasional (TKN), menuntut Badan Pemenangan Nasional (BPN) untuk menunjukan bukti kemenangan. Karena Prabowo mendeklarasikan kemenangan berdasarkan perhitungan pihaknya sendiri. Yang waktu dan tempat pelaksanan penghitungan C1 dirahasiakan. Kebalikan dari BPN, TKN membuka seluas-luasanya War Room tempat penghitunga/rekapitulasi  C1.

Siapa saja boleh hadir, melihat, bertanya bahkan belajar menginput data. Dengan keterbukaan baik dari pihak TKN maupun KPU, buat saya menjadi sebuah tanda tanya besar, mengapa BPN dan kubu #02 mengklaim sudah menang? Dasarnya apa? hitungan sendiri?

Lebih lucu lagi di beberapa TPS yang hasilnya #01 menang, para saksi dari kubu #02 tidak mau menandatangani lembar Plano C1. Padahal jelas tertulis tugas dan kewajiban petugas KPPS, salah satunya menandatangani plano C1. Apa alasan tidak mau menandatangani plano C1, apa terindikasi ada kecuranan? kan kalau terindikasi kecurangan, ada prosedur yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti kecurangan tersebut. Ada mekanismenya.

Siapa provokator yang membisiki Prabowo sehingga Prabowo berada dalam delusional dan percaya ia sudah menjadi Presidennya Orang Indonesia? Situasi delusional ini diikuti para pengikutnya di tataran akar rumput yang lalu beramai-ramai memasang baliho, ucapan selamat kepada pasangan #02 sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan lebih aneh lagi baliho tersebut di jaga. Padahal katanya AA Gym.

“Jagalah hati, bukan jaga baliho”. Apalagi sudah masuk bulan suci Ramadhan. Di mana kaum muslim ditantang untuk menggarap ladang amal dan berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya. Eh ini provokator makin berisik. Bahkan sukses membuat Prabowo mengundang media asing untuk menginformasikan adanya kecurangan pada pelaksanaan pemilu 2019 di Indonesia.

Maka makinlah saya tertawa geli, bagaimana mungkin sudah mengklaim dan mendeklarasikan kemenangan tapi meyakini pemilu 2019 di Indonesia ada kecurangan. Jika kubu #02 meyakini  adanya kecurangan otomatis klaim dan deklarasi kemenangan #02 adalah “akal-akalan” konyol yang menunjukan ketidakjelasana arah. Kok politikus pandir amat. Jika terbukti ada kecurangan, maka ada proses hukum yang harus dijalani, bukan otomatis meyakini lawannya yang menang. 

Jika provokator yang terus membisiki kemenangan buat pasangan #02 tertangkap, maka hukumlah seberat-beratnya karena sudah membuat masyarakat menjadi tidak nyaman

Tukang bakso teriaknya bakso….bakso

Tukang roti teriaknya roti…roti

Tukang rujak teriaknya rujak…rujak

Jadi yang teriaknya curang…curang….adalah……?

***