N dalam KK

Nepotisme sebenarnya tidak akan merusak tatanan. Pun di ranah publik. Asal: demokrasi, hukum, merit system dan keterbukaan informasi dijamin --sampai ke tingkat pelaksanaannya.

Minggu, 29 Desember 2019 | 10:11 WIB
0
451
N dalam KK
Ilustrasi Nepotisme (Foto: nusantaranews.co)

Ini soal KKN.

Ini soal nepotisme.

Saya jadi ingin tahu: bagaimana ceritanya kok N di situ disejajarkan dengan K dan K.

Sejak kapan? Dan bagaimana asbabunnuzul-nya?

Padahal N itu bukan (K) kriminal. Bukan pelanggaran hukum. N itu jelas: bukan kejahatan.

Singkatnya N di situ bukan Korupsi dan bukan pula Kolusi.

Tapi gara-gara penyebutannya selalu disejajarkan dengan dua K di depannya, kesannya N sama dengan K dan K.

Semua pasti sepakat korupsi dan kolusi adalah kejahatan. Itu perbuatan kriminal. Itu melanggar hukum.

Tapi pasal hukum yang mana yang mengatakan nepotisme itu kejahatan?

Hukum positif kita tidak memasukkan nopotisme sebagai pelanggaran hukum. Tidak satu pun pasal yang mengatakan nepotisme itu kejahatan.

Rasanya istilah KKN itu mulai marak di tahun 1999. Di saat rakyat bergerak. Mereka tidak mau lagi Orde Baru. Yang mereka anggap otoriter.

Orde Baru mereka nilai penuh dengan korupsi. Yang sumber korupsi itu adalah kolusi. Dan diperkaya oleh nepotisme.

Waktu itu juga populer istilah koncoisme. Artinya hanya teman-teman Pak Harto yang dapat bisnis. Juga yang dapat kekebalan hukum.

Sepuluh tahun pertama di kekuasaannya nama Pak Harto harum. Tidak ada nepotisme. Atau sedikit sekali. Atau tidak ada yang tahu. Pun tidak boleh ada yang tahu.

Sepuluh tahun kedua, anak-anak mulai besar. Paman-pamannya juga mulai bisa bisnis. Mulailah terjadi kolusi. Dan nepotisme.

Dan sepuluh tahun ketiga: kita semua tahu --merajalela. Rakyat sebenarnya hanya marah di dalam hati. Sampai akhirnya terjadi krisis moneter. Rupiah hancur.

Terjadilah reformasi. Presiden Soeharto dijatuhkan. Segala yang berbau Orde Baru dienyahkan.

Soeharto adalah simbol KKN. Tuduhan pada beliau adalah melakukan tiga-tiganya.

Maka kata nepotisme menjadi sama negatifnya dengan korupsi dan kolusi.

Orang terbius oleh istilah tiga huruf itu.

Bahkan istilah itu terbawa ke perusahaan swasta. Publik menjadi tidak bisa membedakan mana ranah publik (instansi pemerintah, BUMN/BUMD, perusahaan publik) dengan ranah swasta.

Nepotisme di perusahaan swasta juga disalah-salahkan.

Padahal, sebenarnya, posisi N tidak sama dengan K dan K. Pun di ranah publik. Apalagi di ranah swasta murni.

Tapi apakah berarti N itu baik?

Sama sekali tidak baik. Apalagi di ranah publik.

Hanya perlu diingat: N tidak melanggar hukum. Sampai suatu saat kelak hukum positif kita memasukkan N ke dalamnya.

Atau jangan-jangan sudah --hanya saya kurang mengikuti perkembangan.

Di mana tidak baiknya N?

Tentu tidak sama.

Untuk ranah publik: merusak tatanan.

Untuk ranah swasta: mengganggu disiplin manajemen.

Sebaliknya, nepotisme sebenarnya tidak akan merusak tatanan. Pun di ranah publik. Asal: demokrasi, hukum, merit system dan keterbukaan informasi dijamin --sampai ke tingkat pelaksanaannya.

Itulah sebabnya di negara maju nepotisme dianggap biasa.

Apalagi di swasta: nepotisme tidak boleh dipersoalkan. Itu suka-suka pemilik perusahaan.

Bagaimana kalau akibat nepotisme itu perusahaannya bangkrut?

Suka-suka pemilik perusahaannya. Yang umumnya tidak mau bangkrut. Yang umumnya mau maju.

N telah salah tempat.

Selama 20 tahun terakhir. Demokrasi yang belum matang yang membuat kita membenci N berlebihan.

Dahlan Iskan

***