Tuntut Keadilan, tapi Pamer Ketidakadilan, Kok Bisa?

Jangan sampai mereka cuma lincah berbicara tentang keadilan, namun keadilan hanya dipersepsikan semata-mata kewajiban pemerintah terhadap rakyat.

Sabtu, 25 Mei 2019 | 22:27 WIB
0
579
Tuntut Keadilan, tapi Pamer Ketidakadilan, Kok Bisa?
Keadilan tidak bisa dituntut dengan memamerkan ketidakadilan - Foto: Twitter @Usup_usop (Yusuf Mustakkim)

Tanggal 22 Mei lalu, dari Aceh, ibu saya menelepon dengan suara mengisyaratkan kecemasan, tepatnya ketakutan. Ia mendengar rumor bahwa orang-orang akan saling bunuh. Keributan besar akan terjadi di Jakarta gara-gara salah satu calon presiden menolak hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Siapa yang memberitahunya bahwa Jakarta akan mengalami keributan besar? Tak lain adalah kalangan muda yang gemar berbagi video dan pernyataan tokoh-tokoh yang dianggap paling berpengaruh di Jakarta. Mereka menunjukkan video yang bernada ancaman potensi keributan itu, dan seorang ibu yang berusia lanjut dan sakit-sakitan, tentu saja tertekan berat karena anaknya berada di Jakarta, dan ia tahu aktif dalam kegiatan beraroma politik.

Apa yang terbayang di benaknya, jangan-jangan anaknya pun akan menjadi korban dari keributan besar, yang dipropagandakan, akan terjadi di Jakarta. 

Apakah itu berlebihan? Sekilas, mungkin saja begitu. Di sisi lain, kecemasan itu juga masuk akal, mengingat tokoh-tokoh nasional tak sedikit yang terlibat dalam permainan propaganda, bahwa mereka akan habis-habisan untuk menolak hasil Pilpres. Mereka pun sudah sering menyuarakan narasi-narasi beraroma jihad. 

Sementara jihad itu sendiri, belakangan cenderung dikampanyekan sebagai sesuatu yang beraroma darah dan kematian. Belum lagi ada beberapa masyarakat awam yang memamerkan video-video yang berisikan ancaman, seraya memamerkan senjata tajam. 

Bahkan Joko Widodo yang notabene sebagai petahana pun menjadi sasaran ancaman pembunuhan terang-terangan.

Apa yang muncul di benak masyarakat yang jauh dari Jakarta, seperti kasus ibu saya sendiri, adalah kegentingan sedang melanda Jakarta.

Saya pikir, kecemasan hingga ketakutan itu bisa jadi tidak hanya menimpa ibu saya, melainkan juga melanda banyak kaum ibu dan keluarga lainnya. Tentu saja, ini merupakan sesuatu yang sangat disayangkan.

Terlebih lagi berbagai media, terutama televisi yang notabene lebih akrab dengan masyarakat umumnya, sangat rajin memberikan ruang untuk para tokoh melemparkan narasi berhawa panas. Jadilah, hawa itu menebar dan menyebar ke berbagai daerah. Ketakutan pun menyebar ke mana-mana. 

Tentu saja, ini adalah pemandangan yang sangat pantas disesalkan. Pesta demokrasi yang semestinya menjadi kegembiraan, akhirnya jadi terkesan sebagai pemicu ketakutan.

Namun yang lebih disesalkan lagi adalah tokoh-tokoh seperti Amien Rais, misalnya, yang sudah terkenal sebagai "tokoh bangsa" dan pernah dihormati sebagai "guru bangsa" justru terkesan sebagai figur yang paling getol menebar narasi panas tersebut. Dari isu people power yang juga terpicu oleh ucapannya, hingga kedaulatan rakyat.

Tragisnya lagi, kedaulatan rakyat pun diterjemahkan sebagai suara seluruh rakyat, sementara faktanya yang disebut rakyat adalah segelintir masyarakat yang kebetulan berada di kubu mereka. Di sisi lain, jumlah masyarakat tersebut--jika mengacu ke hasil Pilpres--memang jauh di bawah masyarakat atau rakyat yang tidak menginginkan "dagangan" mereka di Pilpres 2019 ini.

Fakta lain yang turut berpengaruh adalah di saat teknologi digital semakin merangsek sampai ke pelosok nusantara, kemampuan dalam literasi terbilang lemah. Kemampuan dalam mencari referensi untuk menguji sebuah kebenaran pun dapat dikatakan sangat lemah. 

Kondisi itu akhirnya membuat masyarakat awam, hanya terpaku pada isu apa yang paling kencang berkembang. Saat melihat suatu isu acap digaungkan di televisi, ditambah berbagai video melalui media sosial, akhirnya mereka meyakini bahwa itulah yang benar. Saat isu yang paling berkembang bahwa Jakarta akan jadi "pusat pertempuran" maka mereka meyakini itulah yang akan terjadi.

Kasihan. Sebab akhirnya ketakutan itu justru mengganggu konsentrasi masyarakat yang semestinya bisa mengisi waktu dengan hal-hal yang lebih positif, semisal lebih fokus dalam mencari nafkah, justru terusik dengan isu-isu tersebut.

Maka itu, terlepas adanya perdebatan seputar keputusan pemerintah untuk menutup akses ke beberapa media sosial, dari facebook, instagram, hingga WhatsApp, namun di sisi lain ini juga ada bagusnya.

Dengan kebijakan itu, keran untuk tersebarnya ketakutan ke lebih banyak tempat di berbagai daerah dapat terbatasi. Isu-isu besar yang ditiupkan oleh tokoh-tokoh tertentu yang tak peduli lagi benar atau tidak tindakannya, dapat terlokalisasi. Sedikitnya, langkah ini membantu menyebarnya narasi-narasi panas dapat terbendung.

Memang ada penentangan keras dari berbagai kalangan atas kebijakan yang diambil pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, cq Kementerian Komunikasi dan Informatika. 

Baca Juga: Menkominfo dan Polisi Tidur

Sebut saja Aliansi Jurnalis Independen, menilai keputusan tersebut justru tidak tepat, karena dinilai melanggar hak-hak rakyat. Begitu juga dengan lembaga semisal Safenet, pun menunjukkan penentangan keras atas kebijakan itu. Mereka tak dapat disalahkan, karena mereka juga ingin mengimbangi pengaruh kekuasaan, agar tidak sampai mematikan keran demokrasi dan hak-hak publik. 

Namun di sisi lain, pun dapat dipahami bahwa ancaman beredarnya berbagai narasi panas tadi, dapat lebih terbendung dengan kebijakan tersebut. Walaupun juga benar, dengan kebijakan ini banyak pihak yang juga terugikan, seperti para pedagang online, yang terbiasa memanfaatkan berbagai aplikasi online untuk bisnis mereka, terhambat lantaran kebijakan ini. 

Ringkasnya, semua ini tidak lepas dari kondisi parah yang telah diciptakan oleh beberapa pihak yang lebih mementingkan ambisi politik dibandingkan konsekuensi yang harus diterima oleh publik.

Mereka yang menebar ancaman atau narasi-narasi menakutkan di berbagai media, sama sekali tidak peduli bahwa masyarakat membutuhkan kondisi tenang dan nyaman agar mereka bisa menjalani keseharian mereka seperti normalnya. Ambisi politik membuat mereka tak melihat apa-apa kecuali apa yang mereka inginkan.

Tak pelak, di sinilah kita pantas menegaskan bahwa kita layak merindukan sebuah kondisi di mana mereka yang berpolitik dapat menunjukkan kedewasaannya. 

Artinya, jangan sampai mereka cuma lincah berbicara tentang keadilan, namun keadilan hanya dipersepsikan semata-mata kewajiban pemerintah terhadap rakyat. Sementara, sesama rakyat, yang berada di luar pemerintahan pun saling memamerkan sikap tidak adil.

Lihat saja bagaimana efek kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei ini. Masyarakat biasa yang mencari nafkah di sekitar area aksi yang katanya menuntut keadilan, justru jadi korban ketidakadilan. Warung-warung mereka jadi sasaran aksi penjarahan. Sementara pelaku penjarahan masih saja dipuja-puji dengan narasi berbau agama; bahwa mereka adalah pahlawan, mereka pejuang, dan bahkan mereka sebagai mujahid.

Keadilan memang jadi kewajiban pemerintah. Namun keadilan pun semestinya juga menjadi kewajiban siapa saja. Sebab, mereka yang hari ini memerintah adalah mereka yang juga lahir dari rahim rakyat. Jika saat berstatus sebagai rakyat biasa sudah tidak terbiasa adil kepada sesama rakyat, maka mustahil dapat mengimpikan sebuah pemerintahan yang adil.

Sikap yang memamerkan bahwa satu pihak lebih berhak berbicara daripada pihak lain, dan satu pihak boleh leluasa memfitnah namun pihak lain tidak diperkenankan melawan fitnah,  pun adalah ketidakadilan.

Jadi, jika riuh-riuh yang selama ini terjadi karena alasan ketidakadilan, saya pikir butuh kejujuran lagi untuk melihat ke dalam diri sendiri dan kalangan sendiri; seberapa adilkah kita? Bukan sekadar, seberapa adilkah mereka? Terlebih, sebagai satu bangsa, terlepas adanya kubu-kubuan politik, sebenarnya yang eksis adalah kita. Jika negeri ini baik, maka kebaikan itu jadi milik kita. Jika negara ini hancur, maka itu adalah kehancuran kita.

Maka itu, saat ada tokoh-tokoh dari kalangan manapun terlalu gemar meniup narasi kebencian dan kemarahan yang menjurus pada ajakan untuk menghancurkan, maka melawan mereka adalah sikap kita. Ya, kita yang menginginkan negeri ini lebih dipenuhi hawa kebaikan, karena yang di atas punya komitmen menunjukkan keteladanan, dan yang di bawah pun saling berbagai kebaikan walaupun sekadar pesan-pesan baik. Semoga.

***