"Agama Tertentu" dan Mentalitas Cicak

Menjadi ksatria dan bertanggung jawab jelas merupakan tantangan yang sulit, namun bukan berarti ia mustahil untuk dilakukan.

Senin, 29 Maret 2021 | 20:57 WIB
0
858
"Agama Tertentu" dan Mentalitas Cicak
Presiden Joko Widodo (InstaGram/@Jokowi)

Seorang teman berkelakar dalam pesan pribadi di WhatsApp ketika aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar kemarin ditanggapi pemerintah secara resmi melalui pidato Presiden Joko Widodo dan selanjutnya oleh Majelis Ulama Indonesia. "Ternyata," kata teman saya, "Indonesia sejatinya mengakui 7 agama. Enam agama diakui dalam keadaan damai, tetapi dalam keadaan darurat ada tambahan agama 'Tertentu'."

Kelakar tersebut jelas menyindir komentar dan sikap pemerintah setiap kali aksi terorisme terjadi. "Para pelaku aksi teror harap jangan dikaitkan dengan agama Tertentu," bunyi pakem wajib yang pasti didengar setiap kali pemerintah mewartakan kutukan resmi terhadap aksi terorisme.

Dengan demikian, setiap kali aksi teror terjadi, pemerintah siap sedia menjadi juru bicara agama "Tertentu" dalam melemparkan tanggung jawab. Pokoknya, jangan kaitkan agama "Tertentu" ketika ada aksi teror terjadi. 

Sindiran kemudian berkembang dan semakin renyah. Seorang teman lain mengirimkan gambar rekayasa dari siaran berita televisi bahwa "pelaku aksi teror dipastikan ateis". Belakangan, karena pemuka dan pengikut agama "Tertentu" sudah beramai-ramai mencerca, maka keadaan pun diasumsikan sudah tenang kembali. 

Karena itu, sejatinya kita tidak perlu kesulitan membaca alur kejadian terorisme di Indonesia: teror terjadi; masuk berita dan menjadi headline; pemerintah menyatakan kutukan dan mengimbau agar agama "Tertentu" jangan dibawa-bawa; penganut dan pemuka agama "Tertentu" beramai-ramai mencerca dan mengutuk pelaku aksi teror yang sudah hancur berkeping-keping; polisi turun tangan dan voila.... keadaan tenang kembali. Mirip cerita film, bukan? 

Akan tetapi kita tetap harus bertanya dan menggugat, mengapa agama "Tertentu" setiap kali harus mencuci tangan dari aksi-aksi terorisme yang terjadi?

Juga mengapa pemerintah yang menjadi juru bicara agama "Tertentu" terus menggunakan dalih yang sama? Pertanyaan kemudian menjurus pada persoalan yang lebih mendasar lagi, yaitu bagaimana agama "Tertentu" memperoleh citra buruk dalam aksioma pragmatis-sekuler di sebagian besar negara-negara Barat? 

Mentalitas Cicak

Bertempat di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, jurnalis kawakan sekaligus tokoh oposisi dua rezim, Mochtar Lubis, untuk pertama kali menyampaikan pidato kebudayaan berjudul "Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban". Pidato itu antara lain mengemukakan enam sifat manusia Indonesia yakni hipokrit; enggan bertanggung jawab; berjiwa feodal; percaya takhayul; berkarakter lemah; dan artistik.

Paparan ini jelas menimbulkan tanggapan dan saling silang pendapat yang luas. Sangkalan datang beruntun-runtun, namun persetujuan juga tidak kalah mendukung pandangan Mochtar itu. 

Berlalu 43 tahun sejak Mochtar naik mimbar, apa yang dikatakannya, entah bagaimana, terasa tetap relevan dan representatif untuk menggambarkan pembawaan orang Indonesia kebanyakan; dari orang biasa sampai pejabat pemerintahan. Salah satunya, enggan bertanggung jawab. Dalam kamus saya, istilah yang sering saya gunakan  untuk menggambarkan sikap ini adalah "mentalitas cicak". 

Tentu Anda tahu bagaimana cicak itu. Dalam keadaan terjepit, cicak melepaskan ekor dan berlari sekencang-kencangnya. Kalau ada yang menemukan ekor itu, sang cicak dengan mudah menyangkal memiliki ikatan dengan ekornya. Ekor itu adalah ekor "oknum cicak tertentu". 

Dengan memelihara mentalitas seperti cicak yang melepaskan ekor itu pula, pemerintah memosisikan diri menjadi juru bicara agama 'Tertentu' yang dirasa akan jadi kambing hitam jika aksi teror terjadi. Menarik, karena agama 'Tertentu' tidak ragu mengutuk ekornya sendiri yang telah diputus

Sikap semacam ini jelas dibenarkan dan bukan masalah besar. Agama "Tertentu" selalu menyatakan diri sebagai ajaran damai. Maka, kalau ada kejadian yang "tidak damai"—termasuk aksi teror ini—langkah cuci tangan dan melemparkan tanggung jawab adalah pilihan terbaik. Pengakuan yang jujur dan ksatria jelas dihindari; selain dianggap menjatuhkan nama baik dan citra, tidak semua penganut agama "Tertentu" bersikap demikian. Sekali lagi, pelaku aksi teror adalah "ekor" yang sewaktu-waktu bisa diputuskan, dikutuk dengan stempel negara, dan kalau terjadi lagi, alur cerita sudah siap diaplikasikan. 

Pertanyaannya, "Sampai kapan mentalitas cicak ini menjadi turbulensi dalam kehidupan beragama kita?" 

Gejala Ketakutan dan Pilihan Rasional

Mengutuk pelaku aksi teror dan menjadi juru bicara agama "Tertentu" untuk mencuci tangan sebersih mungkin jelas hanya terjadi di tanah air kita. Suatu paranoia yang menggejala dalam diri umat beragama di Indonesia secara jelas tidak memungkinkan digelarnya suatu dialog yang mengupas tuntas persoalan semacam ini. Kalaupun ada dialog atau forum kerukunan lintas agama, materi yang dimamah biak berulang kali adalah kerukunan, sikap menerima gangguan dengan terbuka (makna harfiah tolerance adalah menerima gangguan); dan diakhiri doa bersama. 

Jelas saja masalah kontemporer terorisme transnasional tak mendapat tempat dalam dialog semacam itu, yang merapal masalah klasik sebagai bahasan, kendati masalah kontemporer yang menjadi biang kerok sudah berkali-kali terjadi di depan mata. Dalam istilah lebih sederhana, kita melulu memasangkan kacamata rabun dekat untuk masalah rabun jauh. 

Karenanya, gejala ketakutan dan kebencian terhadap agama "Tertentu" telanjur membiak dalam dua dekade terakhir. Bukan masalah tragedi atau aksi teror yang sporadis, melainkan adanya kesamaan pola dalam setiap aksi teror yang menyebabkan masyarakat—terutama Barat—mengambil suatu kesimpulan paling rasional bahwa agama "Tertentu" tidak boleh dibiarkan memperluas pengaruhnya, kalau tidak mau terjadi bencana. Cermin paling nyata adalah Irak dan Suriah yang luluh-lantak ketika disentuh peradaban agama "Tertentu", padahal sebelumnya menunjukkan kemajuan yang lumayan dalam tataran peradaban pragmatis-sekuler. 

Ketersinggungan karena penalaran yang "dangkal" ini jelas lumrah dan manusiawi. Dalih sumbang yang menjadi rumus selalu "bedakan antara oknum, penganut, ajaran, dan pemuka suatu agama".

Baca Juga: Bom Bunuh Diri dan Mati Tanpa Penis?

Akan tetapi, dalam situasi bencana yang terjadi berulang, masihkah orang memiliki kesempatan memilah-milah seperti dianjurkan dalih semacam itu? Tidak ada jalan lain yang lebih mudah dan cepat selain memukul rata permasalahan demi mencari solusi kuratif maupun preventif yang strategis dan dapat segera dilaksanakan. 

Dalam suatu paradigma ketakutan demikian, kesempatan yang tersisa bagi agama "Tertentu" untuk bersikap ksatria dan bersedia meminta maaf atas kesalahan yang tidak dilakukan barangkali masih tersedia. Permintaan maaf dan sikap ksatria yang ditunggu bukan lagi suatu lip service, melainkan perbuatan konkret dengan mengevaluasi, bukan saja terhadap tragedi yang telah terjadi, melainkan mengapa tragedi itu bisa terjadi dan bagaimana agar tragedi itu tidak terjadi lagi. 

Menjadi ksatria dan bertanggung jawab jelas merupakan tantangan yang sulit, namun bukan berarti ia mustahil untuk dilakukan. 

***