Kekecewaan PA 212 dan Ijtima Ulama 4 yang Sia-sia

Ada baiknya Rizieq tetap tinggal di Arab, tidak perlu pulang ke Indonesia. Toh PA 212, FPI dan kawan–kawan akan senantiasa “autojihad” ketika memandang ada hal yang dirasa tidak beres.

Rabu, 31 Juli 2019 | 22:02 WIB
0
563
Kekecewaan PA 212 dan Ijtima Ulama 4 yang Sia-sia
Rizieq Shihab (Foto: Pojoksatu.com)

Pertemuan Prabowo dengan Jokowi di MRT tentu masih terngiang jelas dalam benak masyarakat, bahkan kita masih bisa melihatnya di berbagai lini sosial media. Apalagi keduanya sama–sama bersepakat untuk mengakhiri perseteruan dengan berujar bahwa tidak ada lagi istilah cebong atau kampret. 

Akibatnya, Kepala Divisi Hukum PA 212, Damai Hari Lubis, memutuskan untuk meninggalkan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang sudah bertemu dengan Presiden terpilih Jokowi. 

Saat ini Damai juga masih menunggu instruksi dari Rizieq Shihab yang tengah berada di Mekkah. Ia juga menyebutkan bahwa perjuangan Prabowo sudah berhenti lantaran memutuskan untuk bertemu dengan Jokowi. Iapun mengucapkan selamat tinggal kepada Prabowo, sementara itu PA 212 akan berjalan maju untuk terus berjuang.

Anehnya kenapa PA 212 merasa kecewa lantaran Jokowi dan Prabowo telah melakukan rekonsiliasi? Haruskah Prabowo berkoordinasi hanya untuk menyapa rival politiknya? Padahal di luar ranah politik, keduanya merupakan tokoh nasional yang saling bersahabat. Kedatangan keduanya-pun disambut riuh oleh masyarakat yang menginginkan perdamaian diantara keduanya.

Tentu ada semacam cacat logika, karena pertemuan tersebut hanya bertujuan untuk mendamaikan dan menurunkan tensi ketegangan, padahal pada debat capres sebelumnya, mereka berdua telah berkomitmen untuk terus menjaga rantai pertemanan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa rivalitas di panggung politik tidak lantas memusnahkan hubungan pertemanan mereka agar tetap saling berkomunikasi dengan baik.

Dalam obrolannya di MRT, Jokowi dan Prabowo sama sekali tidak membahas mengenai overstay Rizieq Shihab di Arab. Obrolan kedua rival tersebut diakhiri dengan makan sate bersama, Jokowi dan Prabowo tampak duduk bersebelahan menghadap ke arah pengunjung. Pada saat itu keduanya juga terlihat akrab berbincang – bincang sambal menikmati hidangan yang telah disediakan.

Tak hanya itu bahkan Prabowo juga menyempatkan untuk bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Bahkan Megawati juga sudah mempersiapkan nasi goreng racikannya yang ditengarai menjadi favorit Prabowo Subianto.

Melalui nasi goreng Megawati berhasil berdiplomasi dengan mantan Cawapres yang dulu pernah mendampinginya pada Pilpres 2004. Politik nasi goreng telah menghasilkan sebuah maklumat untuk keduanya, bahwa perbedaan dalam pandangan politik itu adalah hal yang biasa, dan bukan berarti rivalitas di dunia politik dapat menghancurkan rasa persahabatan.

Dalam kesempatan yang lain, ketua DPP Partai Gerindra Andy Rahmad Wijaya turut menanggapi soal pernyataan PA 212 yang berhenti mendukung Prabowo. Andy pun berujar, bahwa pendukungnya tidak meninggalkan Prabowo, dan PA 212 bukan satu – satunya konstituen Gerindra, karena masih ada partai lain yang mendukung arah politik Gerindra, tuturnya.

Hal ini menunjukkan sebuah polemik tersendiri, dimana masyarakat yang terpolarisasi menjadi kubu 01 dan 02, saat ini polarisasi justru terjadi di kubu 02, antara pihak yang pro rekonsiliasi dan ada yang menganggap bertemunya Prabowo dan Jokowi merupakan ulah dari pengkhianat.

Toh drama Pilpres sudah berakhir, bahkan sampai pada tahap putusan Mahkamah Konstitusi. Sehingga persaingan untuk merebut suara sudah kelar. PR terbesar Indonesia saat ini adalah merajut persatuan agar tidak ada lagi saling caci antara 01 dan 02. Semua elemen masyarakat diharapkan kembali tenang dan bekerja sesuai dengan disiplin ilmunya masing – masing.

Mungkinkah PA 212 terlampau baper hingga menuduh rekan seperjuangannya pengkhianat? Haruskah sentimen politik yang sempat memanas saat Pilpres 2019 semakin merembet hingga merusak rasa persatuan. Apa iya PA 212 dan kawan – kawan tidak ingin Indonesia Damai? Masa mau ribut terus?

Jika nanti PA 212 merencanakan Ijtima Ulama 4, tentu hal tersebut merupakan sesuatu yang sia – sia. Acara tersebut juga dinilai sebagai ungkapan ekspresi dari para simpatisan yang merasa tidak sreg dengan junjungannya.

Ijtima Ulama 4 mungkin akan menjadi wadah bagi para ulama pendukung 02 untuk menyatakan rasa sedihnya, yang tadinya mengkritisi kebijakan Jokowi, akhirnya topik pembahasan mereka bertambah dengan membahas perihal rekonsiliasi antara Jokowi dengan Prabowo.

Lantas apa yang akan diperjuangkan dari forum Ijtima Ulama 4, mungkinkah mereka akan mendirikan khilafah di Indonesia, sehingga saat mendukung Prabowo mereka mendapatkan tunggangan politis untuk kepentingannya?

Jika memang benar itu terjadi ada baiknya Rizieq tetap stay di Arab saja, tidak perlu pulang ke Indonesia. Toh PA 212, FPI dan kawan – kawan akan senantiasa “autojihad” ketika memandang ada hal yang dirasa tidak beres.

Masyarakat Indonesia kini telah melupakan polarisasi yang sempat menjadi penghalang dalam bersosialisasi. Kini semua telah membaur, bersatu dan mengambil peran dalam profesinya masing–masing. Semoga perjuangan PA 212 tidak lantas melupakan kewajiban mereka dalam menafkahi keluarganya. Namun yang perlu diingat yang namanya berjuang bukan berarti dengan saling hujat dan mencemooh sesama warga.

Hal yang harus dipahami setelah rekonsiliasi adalah menjadi oposisi bukan berarti menjadi musuh abadi, menjadi oposisi adalah upaya untuk terlibat dalam segala kebijakan pemerintah melalui jalan konstitusional, bukan dengan cara menuduh sesuatu yang belum tentu kebenarannya, namun menjadi oposisi yang konstruktif di bawah naungan Pancasila.

***