Bagi Ratna Sarumpaet, Bagus Putra Bawana atau emak-emak di Bekasi. Pilpres ternyata tidak sesederhana itu. Mereka masih punya urusan panjang sampai sekarang.
Saya jadi kepikiran. Apa yang ada dalam kepala Ratna Sarumpaet sekarang?
Ketika ia melihat Prabowo bergandengan tangan dengan Jokowi dan Megawati. Lalu Gerindra diperkirakan akan menempatkan kadernya dalam kabinet Jokowi-Amin mendatang.
Dari dalam penjara, mungkin Ratna bertanya, untuk apa semua ini? Di sekelilingnya tembok dengan berbagai coretan. Jeruji yang kaku dan piring kaleng tergeletak di pojokan.
Apa yang ada di kepala Bagus Bawana Putra. Ketika ia antri makan di dalam penjara. Dengan lauk tiga ikan teri dan sayur kurang garam.
Bagus dan tujuh rekannya meringkuk di penjara karena membuat hoax tujuh kontainer surat suara yang menghebohkan itu. Bagus, kabarnya, adalah seorang ketua relawan Prabowo-Sandi.
Apa yang ada di kepala tiga emak-emak di Bekasi yang menyebar hoax Jokowi melarang adzan. Ketiganya masih berurusan dengan polisi. Anak-anaknya terbengkalai. Sementara tidak ada satu orangpun dari tim Prabosan yang menjenguknya.
Apa juga yang ada di pikiran lelaki yang ditangkap di Bogor. Ketika dengan gaya sok-sokan ia melemparkan fitnah di pinggir jalan. Manantang polisi. Hanya karena ia pembenci Jokowi dan jadi pendukung Prabowo yang militan.
Ada banyak orang yang tangannya lancang, menuliskan fitnah. Ada yang mulutnya lancang menyebarkan kebencian. Pilpres mengubah mereka menjadi sosok yang lain. Sosok yang akhirnya tidur di dalam sel yang dingin.
Adakah semua itu begitu berarti hingga mereka mau menukarkan kebebasannya?
Tidak juga. Mereka hanya diseret oleh eforia politik. Apalagi ketika menggunakan embel-embel agama. Mereka jadi semakin yakin Tuhan bersamanya dalam membela Prabowo.
Tapi siapakah yang dibela Tuhan sekarang, ketika Prabowo dan Jokowi saling berjabatan dan berdiskusi kursi menteri apa yang akam disiapkan untuk kader Gerindra? Setelah Pilpres selesai, sepertinya memang 'tuhan' tidak terlaku banyak ikut campur lagi.
Toh, tidak ada lagi sekarang teriakan siapa pemimpin yang agamis diantara Prabowo dan Jokowi.
Prabowo adalah politisi. Megawati politisi. Surya Paloh politisi. Juga Jokowi. Rakyat bisa saja saling emosional menunjukan dukungan dalam Pilpres. Dan kini Pilpres sudah selesai.
Setelah Pilpres kelar, tidak ada lagi Cebong. Tidak ada lagi Kampret. Politisi kembali bersama, balik ke habitatnya. Membicarakan kekuasaan. Lalu kursi. Lalu merancang masa depan Indonesia dari pikirannya.
Adakah Prabowo memikirkan orang yang dipenjara karena terlalu memujanya dulu? Saya gak tahu.
Bagi orang-orang yang tadi, yang tersisa hanyalah malam yang dingin di balik jeruji besi.
Politik pada dasarnya adalah seni merebut dan mengelola kekuasaan. Mungkin seperti pertandingan sepak bola. Bagaimana cara memasukkan gol.
Setelah pertandingan, para pemain akan membuka kaos dan saling bertukar. Kaos basah dan bau bacin itu, dipertukarkan, menandakan pertandingan sudah selesai. Kompetisi sudah final. Dan piala dinikmati oleh pemenang.
Atau seperti dua petinju yang adu jotos di atas ring. Saling merangsek san menjatuhkan lawan. Tapi begitu bel akhir berbunyi, keduanya dengan muka sembab dan bibir yang pecah, akan saling berpelukan. Saling merangkul dan melepaskan sarung tinju.
Bagi Ratna Sarumpaet, Bagus Putra Bawana atau emak-emak di Bekasi. Pilpres ternyata tidak sesederhana itu. Mereka masih punya urusan panjang sampai sekarang. Bahkan sampai jauh setelah Jokowi melantik menteri dari Gerindra nanti.
Sebab kita ini sebetulnya cuma mur di dalam sebuah mesin besar. Dan kita tidak tahu pasti bagaimana sesungguhnya mesin itu bekerja. Yang kita tahu Pilpres telah usai dan ada mesin yang bekerja sendiri. Kita hanya bisa mengamati dan merasakan hasilnya.
"Saya jadi tahu, mas. Kenapa dulu ketika Jonru di penjara dan istrinya membuka donasi, kamu ikut share pengumuman donasi itu. Padahal Jonru kan, beda pilihan politik."
Saya hanya tersenyum.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews