Mengapa Kata “Literasi” Penting Bagi Seorang Ulama, Said Aqil Siradj ?

Literasi mencerahkan, mampu membuka sekat-sekat ekstrem sehingga menghasilkan manusia-manusia berkualitas tapi bukan instan yang akan menabur kearifan dan kedamaian.

Selasa, 14 Mei 2019 | 06:19 WIB
0
501
Mengapa Kata “Literasi” Penting Bagi Seorang Ulama, Said Aqil Siradj ?
Said Aqil Siradj (Foto: Muslim Obsession)

Hari ini bulan Ramadan baru memasuki minggu kedua bulan ramadan, di mana umat muslim berpuasa dan menahan diri mulai dari makan, minum sampai ke kebiasaan buruk sendiri dan perilaku tidak baik kepada sesama.

Saya bukan muslim tapi saya kagum akan kiprah sang ulama, KH Said Aqil Siroj, Ketua PBNU. Bahkan pada saat acara Islam Nusantara saya ikut menghadiri pada tahun lalu. Sempat pula meminta berfoto bersama. Tapi sayangnya ada orang lain yang ikutan nimbrung berfoto dengan kami. Ah sudahlah, yang penting tujuan sudah tercapai.

Suatu hari saya tidak sengaja membaca salah satu kolom di harian Kompas yang berjudul “Kembali ke Literasi” yang penulisnya adalah KH Said Aqil Siradj. Menarik sekali menurut saya. Artikel ini dimuat beberapa hari sebelum puasa dimulai. Cocok sekali bagai renungan untuk warganegara Indonesia dalam menyambut bulan puasa juga untuk saya agar lebih mawas diri dalam berkehidupan sehari-hari.

Membacanya sepertinya harus dikemukakan terlebih dahulu pengertian dari literasi, agar tidak ada salah kaprah atau misinformasi di antara kita. Saya mencoba di KKBI daring ternyata tidak dimuat, jadi bertanyalah kepada mesin pencari dan keluarlah hasil sebagai berikut.

Baca Juga: Gerakan Literasi "Terbit" Ajak Netizen Dukung Hasil Pemilu yang Konstitusional

Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.

Mengapa seorang ”the real ulama”, KH Said Aqil Siradj merasa perlu untuk menggaungkan kata-kata ini ? Ternyata akibat pesta demokrasi yang baru diadakan secara besar-besaran di NKRI, banyak pengorbanan yang keluarkan. Dimulai dari pikiran, tenaga, airmata bahkan darah tertumpah. Di mana ada kegembiraan caleg yang terpilih di sana ada kesedihan kandidat yang tidak lolos.

Ditambah tragedi kematian mulai dari caleg depresi sampai bunuh diri hingga petugas KPPS dan para bhayangkara meninggal saat bekerja atau sesudah bekerja. Ditambah isu-isu yang tidak mengenakkan mengenai kematian mereka diduga diracun sangatlah tidak berperikemanusiaan. Diperkeruh seorang dokter yang berkomentar di layar TV mengenai penyebab kematian mereka tanpa melihat keadaan di lapangan atau pun data-data sebenarnya.

Oleh karena banyak kabar-kabar bohong alias hoaks tersembur dengan hebatnya sehingga diperlukan gerakan literasi. Agar berlaku dua arah, bagi penulis dan pembaca informasi. Jadi menurut KH Said Aqil penguatan literasi sangat diperlukan disebabkan “militasi kalap” serta makin tingginya fenomena “kematian kepakaran”.

Negri kita bisa dibilang “panen” orang-orang berpendidikan dengan berbagai level. Banyak dari lulusan universitas berlabel hebat di dalam ataupun luar negri. Kaum terpelajar makin bertambah banyak seiring meningkatnya kesejahteraan. Kemajuan ini tentunya membanggakan, bukan ?

Satu trend terbaru bahwa kesadaran beragama menunjukkan peningkatan. Rumah ibadah makin penuh sehingga makin bertambahlah pembangunannya, seiring kegiatan beragama makin masiv. Kesadaran beragama sekarang lebih cenderung ditunjukkan dengan cara berpakaian dan bertutur kata. Hal ini berlaku dalam dunia nyata dan maya alias media sosial.

Sayangnya pada saat pendidikan dan keberagamaan meningkat, hoaks dan ujaran kebencian juga makin meningkat, terutama yang berurusan dengan politik. Ada satu penelitian mengungkapkan di kalangan terdidik dan beragama justru paling rentan terkena jeratan hoaks dan tertinggi dalam memproduksi ujaran-ujaran kebencian.

Baca Juga: Surat Terbuka Kepada Bapak KH Said Aqil Siradj

Hal ini tentunya mengherankan, diharapkan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan keberagamaan seharusnya bisa menjadi benteng dalam membedakan hoaks serta tidak dan bertutur kata dengan santun. Ternyata hal ini disebabkan agama yang hanya diletakkan sebagai energi tetapi tidak berjiwa rasional. Seharusnya membawa kepada kehidupan yang lebih “berkualitas” justru kekerasan dan kegaduhan lebih diutamakan.

Menilik pada istilah Erich Fromm, perilaku keagamaan telah berubah otoriter dan lepas dari fungsi humanis. Istilah bekennya “kebablasan beragama” menurut saya. Para kaum elite agama dan kaum terpelajar tidak bisa atau kurang bisa menjadi pendorong atau suri teladan bagi kehidupan demokrasi yang sehat di Indonesia.

Jadi bagaimana caranya menanggulangi fenomena ini ? Yah kembali lagi kepada literasi. Salah satunya dengan mengadakan terapi literasi. Di dalam kegiatan ini mereka diajarkan untuk menerima dan menyikapi suatu peristiwa bukan secara terburu-buru. Harus melalui proses, dimulai dengan mencerna bacaaan atau informasi secara utuh atau dua sisi. Apakah sumbernya bisa dipertanggungjawabkan ? Dengan begitu akan lahir cara bersikap rasional dan bijak tanpa mengumbar kebencian.

Literasi mencerahkan, mampu membuka sekat-sekat ekstrem sehingga menghasilkan manusia-manusia berkualitas tapi tidak secara instan, yang akan menabur kearifan dan kedamaian.

Merekalah orang-orang yang mengabdi pada kebajikan berdasarkan pada pengetahuan dan ilmu. Mari berdoa agar kita, WNI menjadi insan yang berliterasi sehingga membawa negara tercinta ke Indonesia maju dan bersatu dilandasi cara berpikir dengan waras tanpa "mabuk beragama".

***