Sketsa Harian [22] Mati Sia-sia

Siapa yang bisa "mencuci" kembali otak mereka yang tercemar radikalisme yang berbuah aksi terorisme itu? Tentu saja orang yang berakal sekaligus beriman.

Kamis, 14 November 2019 | 07:54 WIB
0
834
Sketsa Harian [22] Mati Sia-sia
Bom medan (Foto: CNN Indonesia)

Rabbial Muslim Nasution telah mati. Mati sia-sia versi orang berpikir. Mati syahid menurut versi orang-orang "beriman".

Pria dewasa yang pikirannya "telah bersih" berkat hasil cuci otak orang-orang di balik bencana kemanusiaan itu menggendong ransel, memasuki kompleks Polrestabes Medan dengan santai sebelum ia meledekkan bom bunuh diri yang digendongnya.

Dhuaaar... suara menggelegar terdengar. Asap putih mengepul, bau mesiu menusuk hidung. Benda tajam dari bom berkekuatan bersar itu berhamburan ke mana-mana, melukai dan mengoyak orang-orang di sekitarnya, juga membuat badan Rabbial jadi tempoyak.

Jaket hijau khas pengojek online yang dikenakannya ikut hancur, berikut daging segar yang berbau sangit. Tidak aneh kalau sempat muncul spekulasi, ia sekadar korban karena disuruh membawa barang yang akan dikirim dalam ranselnya yang ternyata bom. Tetapi kesimpulan awal polisi tidaklah demikian, Rabbial orang yang terpapar radikal.

Rabbial tersenyum dalam kematiannya. Itulah yang tergambar dari foto yang tersiar di media sosial.

Foto "tersenyum dalam kesyahidan" ini niscaya akan digunakan para perekrut dan pencuci otak Rabbial-Rabbial lainnya yang boleh jadi sudah antri menanti, tinggal menunggu perintah, bahwa demikian adanya "pengantin" yang siap disambut 72 bidadari di surga itu selalu menyungging senyum dalam setiap kematiannya.

Dalam keyakinan agama-agama langit, bunuh diri itu adalah seburuk-buruknya prilaku manusia berakal. Ia tidak menggunakan akal pemberian-Nya untuk berpikir logis. Sebaliknya, bagi para "pencuci otak", sebaik-baiknya orang adalah mereka yang mati di jalan Allah, mati syahid, termasuk melakukan bom bunuh diri.

Apa yang sesungguhnya mereka perangi saat menempuh jalan "syahid" itu? Tidak ada. Zaman Nabi bisa iya, ada banyak pertempuran dan peperangan besar dan para pengikut Nabi yang menempuh jalur perang membela agama sudah dijamin masuk surga, mereka membela Islam. Mereka meyakini itu.

Setidaknya itu teks yang ternukil dalam kitab suci.

Tetapi, apakah di Polrestabes Medan itu sedang terjadi perang besar di mana kaum kafir siap memenggal Muslim?

Tidak ada! Itu kata orang-orang yang berpikir.

Ada! Itu kata orang-orang "beriman".

Oww... jangan berpikir tekstual begitu, berpikirlah kontekstual sesuai kekinian, demikian kira-kira kata para "pencuci otak" berkilah. Sekarang ini zamannya "thogut" merajalela, dari pemerintahan sampai aparatnya. Semua harus diperangi. Sesiapa yang mati (sekalipun konyol) di jalan itu, upahnya adalah surga dan 72 bidadari yang menanti di sana.

Dan ingat, aparat kepolisian yang dianggap "thogut" itulah yang sudah kurang ajar memotong jalur ke surga itu. Maka di sanalah simbol kematian ditunjukkan dengan cara meledakkan bom bunuh diri. Ini pesan mengerikan. Polrestabes Medan hanya sebagai contoh kasus saja.

Siapa yang bertanggung jawab terhadap orang-orang yang otaknya sudah "bersih" karena "tercuci" secara sistematis ini? Karena ini soal keyakinan, ya seharusnya orang-orang yang punya keyakinan berlebih dari sekadar orang biasa yang seharusnya tergugah.

Mereka adalah para ulama dan ahli (tafsir) agama. Ulama dan ahli agama beneran, bukan yang "besar" karena media sosial. Jangan ulama yang tiba-tiba mengatakan pelaku bom bunuh diri di Medan, Rabbial itu, adalah manusia atheis.

Ini pernyataan pandir, yang cuma "membesarkan" dan bikin orang-orang atheis berbesar kepala. Mereka dengan enteng akan bilang, "Buktikan satu kasus saja kalau bom bunuh diri dilakukan oleh orang-orang atheis!"

Memang tidak ada!

Meski pahit harus dikatakan, pelakunya justru orang-orang theis, orang-orang beragama yang mengakui adanya Tuhan semesta alam. Tidak perlu disebut di sini dari agama mana para pelaku bom bunuh diri yang beraksi di negeri ini berasal.

Baca Juga: Akui Saja, Pelaku Teror di Medan Itu Muslim

Memberi mereka pengetahuan dan logika sepertinya sia-sia. Ini murni urusan keyakinan dan keimanan; yakin bahwa mati dengan cara itu upahnya surga dan 72 bidadari.

Dengan cara "beriman" seperti itulah jembatan sirotol mustaqim tak perlu dititi lagi, sudah berhak mengendarai bouraq yang langsung membawa mereka ke pintu surga.

Siapa yang bisa "mencuci" kembali otak mereka yang tercemar radikalisme yang berbuah aksi terorisme itu?

Tentu saja orang yang berakal sekaligus beriman.

Siapa persisnya?

Ulama dan ahli agama berakal, yang tidak sekadar "beriman".

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [21] Tes DNA