Bukan bermaksud sombong kalau saya bilang mengenal langsung karena mereka dibesarkan di kampung di mana saya dilahirkan juga, Ciawi.
Sebenarnya kalau ada lagi tes DNA gratisan seperti yang dimotori Historia itu saya mau melakukannya. Setidak-tidaknya jadi kelinci percobaannya macam Najwa Shihab atau Ariel Peterpan yang kini lebih dikenal sebagai Ariel Noah itu.
Bukan mau mengetahui apakah di dalam darah ini mengalir turunan PKI, penganut ideologi Pancasila, penyuka tutut sawah atau penggemar lagu dangdut. Tapi sekadar mau tau aja, sebenarnya saya ini siapa sih. Layakkah saya berbangga diri kalau saya ini pribumi asli 100 persen?
Dari hasil tes DNA itu, Najwa dan Ariel misalnya, sama-sama dominan Asia Selatannya. Ya ke India-indiaan begitulah. Najwa yang dikira banyak orang asli pribumi Arab, ternyata Asia Selatan juga; India, Nepal, Tamil, Bangladesh. Ah, jangan-jangan Najwa dan Ariel punya nenek moyang yang sama.
Terus kenapa saya kepengen tes DNA?
Begini ceritanya. Saya suka beberapa hal berbau India, tanpa saya sadari. Ya, India, yang mayoritas penduduknya beragama Hindu itu. Saya suka musik India, tenang kalau sudah mendengar alunan sitar, damai mendengar lirik-lirik bahasa Hindi yang ga saya pahami, suka nonton film India dan... saya suka perempuan India (meski sebatas mengagumi lo ya, jangan ngeres dulu!).
Bermula dari kesukaan saya nonton film India sejak kanak-kanak. Saya terkesan dengan film "Maa", "Gehra Daag", "Haathi Mere Saathi", melebihi kesan saya kepada film "Beranak dalam Kubur", "Si Comel", "Pengantin Remaja" atau "Anjing-anjing Geladak (itu semua judul film yang saya ingat tanpa bantuan Paman Gugel).
Nyambung dengan kesukaan saya mendengar tetabuhan gendang atau drum, apalagi kalau larasnya meliuk ke pentatonis ndangdut. Diperparah dengan saya tinggal dan besar di Tasikmalaya, sebuah zona di timur Priangan di mana mie bakso dan dangdut tumbuh pesat secara signifikan.
Di sini ada Kak Rhoma, Teh Itje Trisnawati, Neng Cucu Cahyati, Nyi Veti Vera (plesetan dari "peti pare"/tempat penyimpan beras), Kang Caca Handika, Jang Alam, dan seterusnya. Bukan bermaksud sombong kalau saya bilang mengenal langsung karena mereka dibesarkan di kampung di mana saya dilahirkan juga, Ciawi.
Tentu yang paling dekat adalah Ibunda sendiri. Saya baru sadar belakangan, mengapa wajahnya mirip perempuan India. Terlalu berlebihan mungkin kalau saya bilang wajahnya mirip Hema Malini yang kulitnya bak pualam itu. Tapi namanya anak menilainya ibunya, boleh dong. Dan orangtua ibunda, adalah pasangan Maknun Iskandar dengan Nyimas Enung.
Wajah nenek bisa saya abaikan. Tapi wajah kakek, yaitu Maknun Iskandar, kok ya mirip pendatang dari Gujarat. Terus yang memaksa saya mengernyitkan dahi lebih ketat adalah tatkala mengetahui eyang perempuan (uyut) saya yang bernama Maleka. Nah, bukankah ini seperti nama India. Saya hidup beririsan dengan Uyut Maleka dan tahu persis betapa Indianya dia!
Bukan itu saja, wajah Maknun Iskandar adalah fotokopi dari Maleka yang menikah dengan Raksapradja itu. Wajah kakek Maknun yang ngganteng turun ke Ibunda dan adiknya (paman saya) yang bernama Atang. Tapi Paman Atang lebih dominan kelingnya hahaha...
Berhenti sampai di sini sajallah keheranan saya, kamu ja ga perlu-perlu amat mengetahui siapa saya, bukan?
Jadi kalau saya sering share lagu-lagu India (bukan yang beraliran dangdut Bollywood tapi), itu naluri saya saja dari dalam ketimbang share lagu-lagu Rusia yang ga saya suka, pun waktu lebih lama yang diperlukan saat menatap gadis India dibanding gadis Afrika.
Phir milenge...!!!
#PepihNugraha
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [20] Naluri atau Sekadar Selera Jurnalis
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews