Aksi Intoleransi Picu Perpecahan Bangsa

Kelompok intoleran harus menjadi perhatian bagi pemerintah, agar pergerakan mereka tidak semakin masif, apalagi dengan mengajak generasi muda untuk ikut membenci sesama manusia.

Senin, 18 Oktober 2021 | 01:46 WIB
0
181
Aksi Intoleransi Picu Perpecahan Bangsa
Mewaspadai Aksi Intoleransi Picu Perpecahan Bangsa


Masyarakat diminta untuk terus mewaspadai aksi intoleransi di Indonesia. Pembiaran terhadap aksi tersebut dikhawatirkan akan memicu perpecahan bangsa.



Indonesia merupakan negara yang mengusung persatuan dalam keberagaman. Keberagaman sendiri bisa diartikan sebagai kondisi di mana terdapat banyak perbedaan dalam berbagai bidang, seperti suku, bangsa, ras, keyakinan dan antar golongan. Keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia tentu harus diimbangi dengan sikap toleransi warganya untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sikap toleransi ini ditunjukkan untuk menghormati adanya perbedaan pendapat agama, ras dan budaya yang dimiliki kelompok atau individu. Kurang memahami keragaman dalam masyarakat Indonesia menyebabkan sikap intoleransi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, intoleransi adalah paham atau pandangan yang mengabaikan seluruh nilai-nilai dalam toleransi. Bisa diartikan bahwa sikap intoleransi merupakan cerminan dari ketiadaan sikap tenggang rasa atau tidak toleran.

Sementara itu di dunia maya, bersliweran akun-akun berisi konten yang dapat mengancam persatuan dan persaudaraan umat beragama, hal tersebut jika dibiarkan ditakutkan akan semakin berkembang sekaligus merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Ideologi Pancasila.

Adnan Anwar selaku Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) menilai, apabila upaya persuasif seperti pembinaan dan dialog menemui jalan buntu tentu pemerintah harus lebih tegas. Pelarangan harus dijalankan dan jangan takut untuk melakukan tindakan penutupan.

Mantan Sekretaris Jenderal PBNU tersebut menyarankan, agar kelompok intoleran jangan pernah dikasih ruang sedikit pun karena pertaruhannya adalah masa depan bangsa dan negara. Adam menambahkan, jika bibit-bibit ini dibiarkan tentu akan sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia.

Ia menuturkan, bahwa proporsi konten positif jumlahnya harus lebih banyak, minimal 80 persen. Kontennya tentunya juga bersumber dari keberhasilan program pemerintah yang sudah dijalankan dan inovasi program masyarakat itu juga harus didengungkan. Menurutnya, untuk mengatasi hal tersebut, tokoh-tokoh moderat juga harus sering tampil untuk bicara memberikan pencerahan dan pemahaman yang benar.

Adnan juga berpendapat bahwa generasi penerus perlu mendapatkan bimbingan, pendampingan dan arahan yang sistematis agar mereka bisa berpikir positif dan inovatif. Dan tidak lupa penguatan paham kebangsaan dan keagamaan yang moderat juga perlu diintensifkan.

Setiap organisasi, kelompok atau individu masyarakat yang tinggal di Indonesia sudah semestinya tunduk pada hukum yang berlaku sesuai dengan undang-undang. Jika melawan atau menyimpang dari koridor hukum, maka harus ditindak tegas. 

Fadhli Harahab selaku Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Research and Analysis menurutkan, jika seseorang masih berstatus WNI tentu harus tunduk pada hukum negara. Kalau sudah melawan hukum, tentu harus ditindak sesuai hukum yang berlaku pula tanpa kecuali. Dirinya juga menyoroti adanya pergerakan organisasi intoleran dan radikal yang kerap tidak sesuai tidak sesuai dengan kaidah hukum. Menurutnya, dalam diri kaum intoleran dan radikal bersemayam fanatisme buta akibat ketidakpahaman.

Pada level tertentu, kaum intoleran akan rela melakukan aksi teror dengan berbagai cara. Mereka juga menganggap bahwa negara merupakan musuh, sekalipun negara tersebut berideologi Islam.

Pada kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner, Emrus Sihombing menilai, siapapun kelompok intoleran baik yang eksplisit maupun implisit, harus taat terhadap proses hukum.  Emrus mengingatkan, Indonesia merupakan negara hukum dan menjunjung demokrasi. Tidak ada negara demokrasi yang tidak diatur oleh hukum. Hukum itu mengatur tatanan berperilaku. Kalau tidak diatur oleh hukum, menjadi tidak demokrasi.

Untuk mempersempit ruang gerak kaum intoleran, tentu bisa dilakukan dengan strategi dialog. Dialog dengan tookoh agama yang mumpuni merupakan salah satu strategi jitu untuk melakukan pendekatan untuk menangani masalah intoleransi.

Selain itu pendidikan sejak dini di lingkungan keluarga juga harus diperkuat, utamanya tentang keagamaan dan keberagaman. Berikan pemahaman kepada anak tentang keberagaman yang telah menjadi karakter bangsa Indonesia. Sehingga tidak ada sikap saling membenci hanya karena berbeda cara dalam beribadah.  Berikan pula pemahaman tentang sejarah kepada anak-anak, bahwa Indonesia dapat lahir dan merdeka berkat usaha para pejuang dari berbagai wilayah yang berbeda suku dan agamanya.

Kelompok intoleran harus menjadi perhatian bagi pemerintah, agar pergerakan mereka tidak semakin masif, apalagi dengan mengajak generasi muda untuk ikut membenci sesama manusia hanya karena berbeda pandangan. (Endah Ismail, kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini)

***