Rapuhnya Karakter Pemimpin di Indonesia

Akibat tindakan AHY menyurati Presiden Jokowi, masyarakat justru terbuka matanya untuk menilai kompetensi AHY dalam menangani konflik internal di tubuh partainya.

Kamis, 4 Februari 2021 | 06:18 WIB
0
440
Rapuhnya Karakter Pemimpin di Indonesia
Agus Harimurti Yudhoyono (Foto: detik.com)

Mencermati kegaduhan politik yang ditimbulkan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY membuka tabir sejumlah pemikiran tentang kualitas kepimpinan yang dimiliki oleh sejumlah pemimpin di negeri ini.

Putra tertua mantan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ini sampai mengirimkan surat resmi ke Presiden Jokowi seakan masalah internal di tubuh Demokrat itu menjadi kepentingan darurat yang dapat berdampak sangat besar bagi kehidupan bangsa dan negara.

Seperti diberitakan oleh berbagai media, AHY menyurati Presiden Jokowi untuk memohon konfirmasi terhadap laporan yang diterimanya bahwa ada gerakan yang mencoba melakukan pengambilalihan kepemimpinannya secara paksa.

Gerakan itu, menurut AHY berdasarkan keterangan yang diterimanya melibatkan pejabat penting pemerintahan, yang secara fungsional berada di dalam lingkar kekuasaan Presiden Jokowi. AHY menyebutkan laporan yang diterimanya itu menyebutkan gerakan ini juga sudah mendapatkan dukungan dari sejumlah menteri dan pejabat penting di pemerintahan Jokowi.

Terlepas dari terbukti atau tidaknya gerakan itu, AHY sudah seharusnya membenahi terlebih dahulu masalah internal di partainya yang memicu kecurigaan besar bagi dirinya. Ini penting mengingat kecurigaan ini justru merugikan dirinya sendiri apabila nantinya tidak terbukti. Sementara AHY sudah terlanjur menyebutkan dukungan sejumlah menteri dalam gerakan tersebut.

Setiap partai memiliki tata tertib pelaksanaan kongres dan Kongres Luar Biasa atau KLB. Tata tertib ini menjadi pedoman dan landasan hukum bagi ketua umum dalam bertanggung jawab terhadap amanah yang diembannya.

Keprihatinan mendalam saya sebagai warga negara terhadap Partai Demokrat adalah partai yang pernah berkuasa ini tidak belajar membenahi diri karena diantaranya pernah tercoreng namanya akibat kasus korupsi besar, Hambalang, yang melibatkan sejumlah kadernya.

Kehadiran Demokrat pada masa pandemi saat ini seharusnya berkontribusi membantu pemerintah dengan kampanye meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat selain tentu membuka jalan perbaikan kesejahteraan masyarakat yang kehilangan pekerjaan selama pandemi.

Hal itu tentu jauh lebih bermanfaat ketimbang menambah kerunyaman yang sudah ada di negara ini dengan mengeluhkan masalah internal yang jelas-jelas tidak sama sekali menjadi kepentingan seorang presiden yang juga bukan berasal dari Partai Demokrat.

Tindakan AHY dalam menangani konflik ini justru menggambarkan kerapuhan karakter kepimpinannya dalam mengendalikan konflik. Seharusnya AHY tidak perlu "berteriak" seperti kecolongan sampai harus mengirimkan surat ke presiden. Akibat tindakan AHY ini, masyarakat justru terbuka matanya untuk menilai kompetensi AHY dalam menangani konflik internal di tubuh partainya.

Konflik internal di dalam sebuah partai itu merupakan bagian dinamika sebuah partai yang seharusnya mendewasakan karakter pemimpinnya dalam mengelola konflik dengan solusi, bukan dengan berhalusinasi, apalagi sampai berteriak membuat kegaduhan di luar sehingga menjadi isu liar di mata publik.

Dalam konteks lebih luas, keprihatinan saya tertuju ke hilangnya karakter kepimpinan di Indonesia yang semakin marak terlihat belakangan, mulai dari hilangnya integritas hingga hilangnya pengendalian diri.

Gejala ini terlihat di antaranya pada mereka yang hanya haus akan jabatan di negara ini, tapi miskin dengan karya. Sebagai contoh, ada pemimpin yang masih menjabat, tapi justru sibuk memikirkan eksploitasi pencitraan tanpa mengemban amanah yang dipercayakan agar mencapai ambisi pribadi atau golongan dengan posisi atau jabatan yang jauh lebih tinggi.

Bukti nyata pemimpin tidak berkarakter yang sudah terlihat adalah penetapan sebagai tersangka kasus korupsi terhadap dua menteri Jokowi hanya dalam selang 9 hari tahun lalu, yaitu Edhy Prabowo dan Juliari P. Batubara. Ini hanya gambaran kecil saja dari bobroknya mental pemimpin karena masih ada sederet kasus korupsi baik yang sudah terungkap maupun masih dalam tahap penyidikan dan melibatkan pemimpin partai atau pejabat lainnya di negara ini.

Lebih banyak yang sibuk memikirkan bagaimana caranya merebut kekuasaan menjelang datangnya tahun 2024 ketimbang melihat situasi saat ini dengan amanah mengentaskan kemiskinan, ketimpangan di dunia pendidikan selama masa pandemi, serta sejumlah permasalahan lain bangsa yang berpengaruh terhadap kesejahteraan hidup orang banyak.

Baca Juga: Kudeta di Demokrat

Tidak heran apabila tiap pelaksanaan pilkada atau pilpres terdapat kenaikan pasien gangguan kejiwaan karena mereka yang bertarung untuk merebut kekuasaan itu tidak siap menghadapi kekalahan dalam kompetisi yang lebih ditujukan ajang sebagai pelampiasan kerakusan ketimbang pengabdian.

Sudah waktunya kita sebagai bangsa bersikap selektif melihat calon pemimpin bagi bangsa ini dengan jeli. Jangan lagi kita terlibat dalam perseteruan "cebong dan kampret" yang justru membuyarkan pandangan kita terhadap siapa pemimpin sejati yang memiliki keutamaan dan kekuatan karakter.

Pilihan kita terhadap pemimpin masa depan juga menunjukkan karakter kita sebagai bangsa, yaitu apakah kita mendambakan negara ini akhirnya menjadi negeri sarang penyamun atau negeri yang dikenal berkarakter sehingga mampu membangun dengan pesat dan menciptakan kesejahteraan bagi segenap bangsa.

***