Dagelan Kere di Akhir Pekan

Pada akhirnya karena Pilpres 2024 itu masih empat tahun lagi, dan oposisi nyaris mati di tangan Jokowi. Semua partai tanpa malu merapat pada dirinya.

Senin, 31 Agustus 2020 | 06:57 WIB
0
1347
Dagelan Kere di Akhir Pekan
Anies Baswedan dan Eep Saefulloh Fatah (Foto: Sindonews.com)

Sahabat saya, Wasisto Broto Sasongko meminta saya menuliskan tentang permintaan Anies Baswedan tentang penggunaan jalan tol untuk para pesepeda. Tentu saya menolak! Karena ketidakutuhan berita di dalamnya. Segila-gilanya AB, mosok ada permintaan seperti itu. Apalagi permintaan ini ke Menteri PUPR. Sudah jelas bahwa ada sepotong data yang entah sengaja atau tidak disembunyikan kepada publik.

Bagi para Jokowers garis lawak, jelas ini kesempatan untuk bikin meme lucu-lucuan untuk tetap membuat mereka menjadi penjaga garis depan "hiburan gratis di era pandemic". Dan walau gak tepat betul, memang ini tak lebih sebuah dagelan. Karena minimal ada peran pengumpannya, dan ada tokoh lain yang siap menyantapnya.

Tengah malam ini, sahabat saya yang lain, Abi Hasantoso mengunggah berita. Bahwa Eep Syaefulloh menulis sebuah "pelurusan berita" yang mengatasnamakan "merawat akal sehat" untuk rekannya itu. Sebenarnya tulisan ESF, sebagai bentuk sanggahan terhadap tulisan Eko Kunthadi yang menganggap rencana AB merupakan "Pembunuhan Berencana Para Goweser”. Ia membuat konfirmasi langsung bahwa rencana tersebut secara lebih utuh dan detail. Begini katanya (saya kutipkan bagian terpentingnya):

– Benar Gubernur Jakarta berkirim surat tapi dengan isi yang sama sekali berbeda dengan yang diimajinasikan Eko.– Jalan toll yang diminta dijadikan tempat berkegiatan bersepeda sebatas jalan layang toll di atas Jalan DI Panjaitan – Ahmad Yani (dulu disebut sebagai by-pass).
– Waktunya adalah setiap hari Minggu pukul 06-09 pagi. Selama tiga jam itu, jalan layang toll itu ditutup total untuk kendaraan roda empat. Jadi, tak terjadi percampuran antara kendaaraan berkecepatan tinggi dengan para pesepeda.
- Berbasis riset, hari Minggu pagi (jam 06-09) tak ada kemacetan di ruas jalan di bawah jalan layang toll itu.
– Semua proses ke arah itu dijalani dengan proses governance yang terjaga, yang benar. Sejumlah pihak yang terkait pun sudah menyatakan persetujuan bahkan dukungan mereka.

Artinya EK terkena "jebakan batman". OK, biasa saja toh bukan kali pertama. Kalau boleh sedikit malu, mungkin bisa jadi bekal untuk tidak terlalu cepat reaktif di kali lain. Mosok Jokowers begitu?

Bagian menariknya, sejak kapan ESF jadi juru bicara AB, bukankah selama ini ia nyaman dalam ruang sunyi-nya sebagai konsultan komunikasi-politik AB. Apa yang sesungguhnya terjadi? Dan kenapa, komunikasi publik yang seharusnya utuh terbuka, dibocorkan secara sepotong-sepotong. Hingga membuat gaduh publik, walau sesaat apa pun itu. Apakah ini cara main yang baru? Strategi "anyar tapi kuno" yang kembali dimainkan?

Apa pun semua disengaja, pasti by design.

Saya melihatnya sederhana saja: AB mulai dianggap tersisih dalam pembicaraan publik. Posisi absurd-nya sudah digantikan oleh komunitas baru yang bernama KAMI, yang memiliki jangkauan luas. Mereka punya panggung yang membawa-bawa nama Indonesia. Padahal AB hanya punya panggung sebatas Jakarta.

Ceruk para kadrun yang sesungguhnya kecil tapi bersuara besar itu. Sudah mulai terpotong-potong diperebutkan banyak pihak. Dan dia perlu "gaya bicara baru", dengan dua target yang berbeda. Mempermalukan musuhnya, sekaligus menunjukkan kelebihan kecerdasan yang dimiliknya. Minimal dia punya think-tank tangguh pada sosok ESF yang sudah teruji kelebihannya.

Namun di sisi lain fenomena ini, menunjukkan betapa strategi AB sebenarnya tak beranjak kemana-mana. Ia tetap adalah orang bergaya "populisme-kanan". Terus berupaya menarik dukungan publik, dengan memfasilitasi apa-apa yang sedang trend populer saat ini. Ketika bersepeda di tengah kota saat CFD ditutup, karena berkait protokol kenegaraan. Ia menggesernya ke area baru, dengan pertimbangan ini itu.

Dalam konteks Jalan DI Panjaitan-Ahmad Yani, Gubernur ingin memberikan kesempatan kepada anak Jakarta, warga Jakarta bersepeda di atas, menyaksikan kotanya dari ketinggian di bawah terang sinar matahari yang baru terbit dari arah timur. Pro-Milenial sekali, Bung...

Dalam kritikisme global, betapa berbahayanya type pemimpin berciri populisme kanan ini. Karena nyaris di setiap negara yang dipimpin figur berjenis ini, dalam kontek sempit penanganan covid-19 pasti gagal, bila tidak mau dikatakan semakin parah.

Dalam lingkup pembangunan yang lebih luas, pasti hanya terukur di titik pusat, tapi lemah dan ambyar di konteks yang lebih luas. Karena pemimpin sejenis pasti berkarakter lemah, namun selalu bersembunyi demi menyenangkan konstituennya. Tak aneh karena AB adalah "Donald Trump Kecil". Terlalu banyak bersiasat dan bersuara, tapi nyaris zonk dalam prestasi kerja.

Pada akhirnya karena Pilpres 2024 itu masih empat tahun lagi, dan oposisi nyaris mati di tangan Jokowi. Semua partai tanpa malu merapat pada dirinya. Yang tersisa adalah yang malu-malu dan yang sadar diri tak mungkin diajak masuk. Dan yang tak terangkut dimana-mana menjadi oposisi gelandangan yang hanya berkoar-koar di jalanan.

Terlalu kuno karena hanya membawa mantra-mantra ajaib yang sama sekali tak manjur lagi sebagai gerakan moral. Maka sesungguhnya fenomena ini tak lebih "dagelan kere".

Anda tahu apa itu dagelan kere?

Sejenis gojekan para pakiwan, orang-orang yang tersisih. Jenis lawakan paling tidak lucu, pengisi waktu menunggu. Sebagai upaya pengganjal perut kosong, sebelum makanan datang. Agar rasa lapar itu tidak semakin mengganggu. Menggambarkan sesungguhnya betapa semua mereka dalam posisi sekarat. Cara berpolitik rendah, kotor, dan tidak sehat.

Dan harap maklum, karena hajatan masih lama sekali. Belum tentu mereka pulang bawa besek berkatan...

***
.