Pembunuhan Berencana Para Goweser

Ini mungkin salah satu dampak memilih orang berdasarkan preferensi agamanya. Bukan nerdasarkan keahliannya. Kalau ada usulan ngaco, kita hanya bisa senyum.

Senin, 31 Agustus 2020 | 06:55 WIB
0
351
Pembunuhan Berencana Para Goweser

Dan sebuah keanehan terjadi lagi.

Di Jakarta. Iya, di Jakarta. Sebuah surat melayang ke Menteri PUPR. Memakai kop surat Gubernur Jakarta. Isinya meminta Menteri memgizinkan sebagian jalur tol lingkar dalam Jakarta dipakai buat pesepeda.

Jika menteri PUPR pikirannya sama-sama lagi tinggi, kayaknya usulan itu dianggap nornal saja. Jalur kendara kecepatan tinggi. Dimana minimum kecepatan 60 KM/jam, diminta sebagian untuk gowes. Pada minggu pagi, jam 06.00 sampai 09.00.

Kayaknya Kementerian PUPR kita masih waras. Bagaimana mungkin jalur tol yang keberadaanya diatur UU, kendaraan apa saja yang bisa melintas, tetiba diminta untuk sepeda. Bahkan sepeda motor saja dilarang masuk tol.

Jika menerima usulan luar biasa itu, Menteri PUPR harus melawan UU dulu. Lalu mengeluarkan aturan Menteri yang isinya jelas melanggar UU. Lalu secara hukum tata negara, Menteri dianggap melanggar sumpah jabatan. Lalu penjara menantinya.
Itu dari sisi menteri. Kini bayangin jika kamu pesepeda.

Di jalan tol, dimana truk tronton, bus besar dan berbagai kendaraan roda empat diperbolehkan jalan dengan kecepatan minimal 60 KM/jam, seberapa kencang hempasan anginnya? Saat kamu bersepeda di pinggiran, meski disediakan jalur sendiri, apa yang akan terjadi ketika ada pengendara yang meleng sedikit saja.

Katakanlah sepedamu Brompton, yang mahal yang rangkanya keren itu. Tapi sebrompton-bromptonnya, kayaknya kalau disenggol tronton, bakal remuk juga deh.

Katakanlah kamu mepakai helm sepeda kelas Olimpiade. Tapi helm sepeda itu hanya bisa mengurangi resiko benturan ringan. Kalau diadu dengan roda bus, bakal nyerah juga.

Bersepeda memang bisa membuat badan lebih sehat. Tapi bersepeda di jalan tol, kayaknya lebih dekat ke RS dan kuburan ketimbang sehat wal afiat. Paru-paru mungkin bisa sehat. Tapi kalau tulang patah dan tengkorak hancur, apa gunanya?

Kita tentu maklum, usulan seperti ini disampaikan Gubernur Jakarta. Jika Gubernur lain yang dikenal kepalanya punya isi, tentu kita marah dengan usulan yang mengada-ada ini. Karena Gubernur Jakarta yang menyampaikan, ya, kita gak perlu marah.

Ini mungkin salah satu dampak memilih orang berdasarkan preferensi agamanya. Bukan nerdasarkan keahliannya. Kalau ada usulan ngaco, kita hanya bisa senyum.

Anggap saja pemakluman kita pada usulan ini sebagai apresiasi pada hajat hidup orang ngaco.

Saat membaca surat ini, saya hanya bisa mengelus dada.

"Dadanya siapa, mas?," celetuk Abu Kumkum.

Eko Kuntadhi

***