Peneraan tanda “EK” pada KTP para koruptor dimaksudkan agar setelah keluar dari penjara menimbulkan efek jera dan menimbulkan rasa takut serta rasa malu yang berkepanjangan,
Apabilka kita bersepakat bahwa koruptor yang secara tamak menggasak uang rakyat telah menyengsarakan rakyat banyak, membuat negara bangkrut karena harus menanggung beban utang yang mungkin akan menjadi beban anak-cucu bangsa, kita setuju para koruptor harus dihukum seberat-beratnya.
Di China dan negara-negara lain, riwayat para koruptor bisa berakhir di tiang gantung atau ujung timah panas.
Bagaimana dengan koruptor di Indonesia? Rupanya Ibu Pertiwi ini adalah surga yang nyaman bagi para koruptor dari satu rezim ke rezim lainnya.
Emh, ketika masa pemenjaraan diri seorang koruptor berakhir dan dengan bangga ia menyatakan diri “telah menebus dosanya” sehingga namanya sudah bersih kembali. Saat terbebas pun ia masih berjaya. Properti dimana-mana, depositu dan surat-surat berharga bertebaran.
Selama berada dalam penjara, perusahaan dijalankan anak-anak, keluarga atau kerabat dekat. Deposito terus berbunga dan berbunga-bunga, harga properti semakin meninggi. Simpanan dollar di bank pun tak terhitung jumlahnya. Berbahagialah para koruptor Indonesia!
Tulisan saya sebelumnya mengenai “Harta Tidak Dibawa Tidur” dikomentari oleh seorang pembaca bernama Poerbo. Saya perlu menyematkan komentar ini sebelum menulis bahasan ini lebih jauh:
Poerbo,
Kang Pepih. Selamat pagi… Seseorang yang dilahirkan sebagai seorang yang tamak dan rakus, tidak ada istilah “harta tidak dibawa mati” di benaknya, yang ada hanyalah duniawi yang dia bisa kejar dan nikmati selagi dia masih bernafas, dan tentunya degan cara apapun! Oleh karena itu, sudah waktunya koruptor di hukum seberat-beratnya dan ditambah dengan hukuman sosial seperti misalnya yang pernah kita ketahui bahwa seseorang yang “tidak bersih lingkungan” (ex tapol) bisa diketahui melalui tanda-tanda di kartu identitasnya. Seperti itulah misalnya, sehingga menimbulkan rasa takut dan rasa malu yang berkepanjangan. Terima kasih, salam.
Omong-omong soal Kartu Tanda Penduduk (KTP), saya pernah mendengar keluh kesah, derita dan perasaan merana seorang tetangga sebelah rumah saat saya masih tinggal di tanah kelahiran saya, sebuah desa di Tasikmalaya. Saya pernah melihat KTP tetangga saya itu. Pada KTP tetangga saya itu, tertera tanda “ET”.
Saya tahu tanda itu berarti “Eks Tapol”. Tapol berarti tahanan politik. Tahanan politik dengan tanda “ET” tidak lain dari anggota atau orang yang diduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang sangat terlarang di masa Orde Baru.
Tetangga saya itu seorang perempuan tua dengan tiga anak yang menopang hidupnya dari berdagang rokok dan sayur-sayuran setelah suaminya meninggal. Suaminya itulah yang diduga sebagai anggota PKI aktif, tetapi istrinya terbawa-bawa. Dan, di KTP miliknya itulah tersemat tanda “ET” yang menjadikannya terpidana sepanjang sisa hidupnya, setidak-tidaknya saat Orde Baru masih berkuasa.
Perempuan tua yang dulu di KTP-nya tertera tanda “ET” menjadi terpidana seumur hidupnya selama rezim Orba berdiri. Hak Perdatanya hilang. Ia tidak boleh berangan-angan menjadikan anaknya pegawai negeri, misalnua, sebab ada clearing dan screening ketat sebelum mendaftar menjadi PNS. Tentu saja dengan pernyataan baku bahwa orangtuanya tidak terlibat G30S-PKI. Secara sosial, ia mendapat hukuman begitu berat. Sangat berat.
“Kesalahan Emak dulu karena ikut-ikutan pesta rakyat yang ternyata diselenggarakan oleh PKI. Emak dan almarhum suami Emak bukan anggota PKI, kartu anggota partai pun Emak tak punya. Tetapi…. sudahlah,” suatu waktu tetangga saya yang menyebut diri “Emak” bercerita kepada saya saat saya masih duduk di bangku SMA, kira-kira tahun 1982.
Tulisan saya tentu saja tidak berpretensi untuk menghujat pemerintah Orde Baru yang telah berhasil menyejahterakan sebagian rakyat tetapi di sisi lain juga telah menyengsarakan sebagian rakyat lagi. Dan yang sengsara serta menderita itu boleh jadi orang-orang yang di KTP-nya tertera cap atau tanda berupa tulisan dua huruf mematikan: “ET”. Hukuman sosial yang mahaberat, melebihi hukuman fisik (penjara) yang tentu saja sudah lebih dahulu mereka terima.
Teringat kata kunci hukuman sosial dari rekan Poerbo yang sengaja saya tebalkan di sini, saya berpendapat, mengapa pemerintah lewat dukungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengadopsi saja hukuman sosial yang pernah diterima orang-orang yang menjadi atau dicap sebagai anggota partai terlarang itu?
Kalau kepada anggota partai terlarang diterakan tanda “ET” pada KTP mereka, mengapa tidak diterakan saja tanda “EK” (Eks Koruptor) pada KTP para koruptor yang telah atau masih menjalani hukuman penjara?
Kalau dipikir lebih dalam, tentu kejahatan para koruptor tidak akan terampuni dari sekadar eks anggota partai atau eks tahanan politik yang belum tentu bersalah.
Kasarnya begini: beri kami sepuluh koruptor kelas kakap saja untuk membuat sebuah negara bangkrut dan hancur. Hancur karena secara ekonomi negara mengalami kebangkrutan. Ekonomi merosot membuat PHK terjadi di mana-mana. Banyaknya PHK mengabitkan semakin menumpuknya pengangguran. Menumpuknya pengangguran rawan kejahatan dan kemiskinan. Kalau miskin, demi urusan perut, negara pun bisa dijual. Negara dijual, NKRI pun bisa bubar.
Ternyata sangat mengerikan efek domino dari ulah para koruptor itu.
Kita barangkali setuju dengan peneraan tanda “EK” pada KTP para koruptor agar setelah keluar dari penjara menimbulkan efek jera dan menimbulkan rasa takut serta rasa malu yang berkepanjangan, sebagaimana ditulis rekan Poerbo. Cobalah tanya para koruptor itu lalu beri mereka dua pilihan: pilih hukum mati atau pilih di KTP-nya diterikan tanda “EK”?
Besar kemungkinan para koruptor lebih memilih pilihan yang terakhir, meski harus menanggung malu di sisa hidup mereka.
***
Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [11] Harta Tak Dibawa Tidur
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews