Indonesiaku [11] Harta Tak Dibawa Tidur

Seberapa besar harta kekayaan yang berhasil digasaknya, tetap saja bakal terlupakan saat ia terlelap.

Jumat, 26 Juli 2019 | 21:33 WIB
0
555
Indonesiaku [11] Harta Tak Dibawa Tidur
Ilustrasi tidur (Foto: Detik.com)

Saya sering mendengar istilah “harta tidak di bawa mati”. Kalimat ini biasanya ditujukan kepada siapapun yang terlalu sayang berlebihan dengan hartanya, sehingga hidupnya terkekang oleh pikiran hartanya takut hilang, takut digasak maling. Konon semakin kaya seseorang, semakin besarlah rasa takut akan hilang hartanya itu. Maka dia memproteksinya dengan segala cara. Takut diambil oranglah, takut hartanya berkuranglah, dan seterusnya.

Kalau rasa takut terlalu membelenggu kehidupan sehingga diri menjadi budak ketakutan, mungkin dalam beruntunglah orang yang tidak berpunya. Dia tidak akan takut kehilangan hartanya, sebab memang dia tidak punya harta.

Tetangga saya bilang, kalimat “harta tidak di bawa mati” terlalu kejauhan. Padahal yang paling dekat dan paling mengena dalam kehidupan sehari-hari, istilah yang paling tepat adalah “harta tidak dibawa tidur”.

Saya tercenung memahami dan mencerna kalimat ini. Dan ketika dipikir lebih dalam, terkandung kebenaranan di dalamnya. Coba saja, Anda punya mobil baru, punya uang segudang, punya sepatu bagus dan mahal, bahkan punya istri cantik atau suami ciamik, semua menjadi hilang, tak ternikmati, tidak membekas, dan tidak berarti apa-apa kala Anda terlelap tidur. Harta memang tidak dibawa tidur, bukan?

Kalimat “harta tidak dibawa tidur” sungguh menyadarkan saya pribadi: jangan terlalu mencintai harta secara berlebihan sehingga kemudian terkungkung ketakutan. Andai saya punya Ferrari dan kapal pesiar mewah yang harganya bisa mencapai puluhan miliar rupiah, semua harta itu akan “menghilang” dari ingatan ketika kita sedang terlelap, bahkan sejenak saja. Apalagi tidur betulan, kemudian tidur panjang kelak.

Mengapa saya harus bercerita tentang harta kekayaan? Ini karena kalimat “harta tidak dibawa tidur” menautkan ingatan saya pada peristiwa Mei 1999 saat saya mendapat tugas kantor berkunjung ke negeri berjuluk “Atap Eropa”, Finlandia. Kami datang bersama rombongan yang menaruh minat pada Pemilu, di mana pada saat itu pemerintah Finlandia yang sedang mengadakan pemilu legislatif mengundang jurnalis (saya mewakili Harian Kompas dan Meutia dari LKBN Antara), pakar pemilu, anggota Dewan, sampai para politisi mewakili parpol.

Di Finlandia, saya mengenal seorang politisi Partai X yang beberapa tahun kemudian menjadi tokoh koruptor kelas kakap yang paling dikenal. Politisi yang berpembawaan sinis ini memang terkesan agak sombong dan tidak mau kenal orang, bahkan rombongan Indonesia ke Finlandia. Terhadap jurnalis ia sinis dan terang-terangan menghindar. Mei Tahun 1999 itu , saat kami berkunjung ke Finlandia, dia belum menjadi apa-apa. Dan ketika Pemilu 1999 berlangsung, dia beruntung masuk ke Gedung Bundar Senayan.

Meski tidak di angkat menteri karena kedekatannya dengan ketua partai, nasib baik kemudian membawanya ke sebuah badan yang teramat basah sejak dulu, yakni badan yang mengurusi pangan dan ketersediaan sembako bagi rakyat. Kursi empuk Senayan ditinggalkannya untuk sebuah kursi yang lebih empuk.

Belakangan, saya baca dan saksikan sendiri dari berita, politisi itu terjerat korupsi berat dan harus berurusan dengan penjara atas perbuatan yang sangat dilaknat rakyat itu.

Yang menarik adalah berita televisi saat petugas KPK menggeladah salah satu rumahnya yang mewah, di mana di WC sang koruptor ditemukan gepokan dollar AS yang masih disimpan dalam beberapa ember. Itu uang hasil korupsi yang seharusnya disembunyikan atau dilarikan tetapi telanjur ketahuan KPK.

Anda bisa menebak-nebak, berapa uang yang sudah berhasil digasak sang koruptor dan disembunyikan dengan aman di suatu tempat?

Barangkali, barangkali… jika saja sang politisi koruptor itu mengenal istilah “harta tidak dibawa mati” atau bahkan yang paling sederhana “harta tidak dibawa tidur”, ia tidak akan setamak itu menyikat uang rakyat. Seberapa besar jumlah uang rakyat yang telah disikatnya dengan aman, tetap saja ia akan lupakan semua hartanya itu ketika sudah terlelap.

Jika saja sang koruptor tahu rakyat bakal menderita akibat perbuatannya itu, barangkali ia amanah dan tidak akan melakukan korupsi secara vulgar. Namun itu tadi, kecintaan akan harta benda dan harta kekayaan telah menutup kesadarannya: kesadaran sebagai manusia beradab.

Akhir-akhir ini media massa melaporkan berita mengenai seorang  jenderal polisi yang mencuci uang hasil korupsinya pada sejumlah rumah mewah, atau dibeli atas nama istri-istri dan kerabatnya. Tidak tanggung-tanggung sampai 40-an asset yang kemudian disita KPK karena semua harta kekayaannya terindikasi sebagai hasil menjarah Ibu Pertiwi.

Terhadap sang jenderal polisi inipun saya berani bertaruh, dia bahkan tak ingat cincin bertaburkan berlian seharga miliaran rupiah dan ikat pinggang seharga puluhan juta rupiah yang dipakainya saat dia tertidur barang beberapa menit saja, sebelum KPK menggelandangnya ke tahanan. Seberapa besar harta kekayaan yang berhasil digasaknya, tetap saja bakal terlupakan saat ia terlelap.

Semakin jelaslah, harta memang tidak bisa dibawa tidur.

***

Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [10] Testimoni, Mampukah Mengetuk Nurani Pemangku Negeri?