Indonesiaku [10] Testimoni, Mampukah Mengetuk Nurani Pemangku Negeri?

Jangan tanyakan kepada saya apa yang seharusnya para pemangku negeri ini perbuat, karena jawaban saya “tidak tahu”.

Rabu, 10 Juli 2019 | 17:49 WIB
0
318
Indonesiaku [10] Testimoni, Mampukah Mengetuk Nurani Pemangku Negeri?
Ilustrasi testimoni (Foto: wanitaindonesia.co.id)

Sebagai penulis, saya selalu sadar diri akan konsekuensi dari apa yang saya tulis. Untuk itulah saya selalu berhati-hati dalam memilih suatu topik, memilih kata maupun kalimat, bahkan memilih istilah-istilah. Terlebih lagi jangan sampai menyinggung seseorang. Saya sebisa mungkin harus bertanggung jawab atas apa yang saya tulis itu.

Mulutmu harimaumu, demikian kata perumpamaan. Dalam konteks inilah saya tidak menduga, tulisan saya mengenai terbangnya para aeronotika kita ke berbagai negara mendapat sambutan cukup baik dari para pembaca. Mereka memberi komentar beragam;  pro maupun kontra. Tidak mengapa, itu biasa. Saya juga tidak menduga, di antara sekian komentar yang masuk itu ada tiga komentar yang saya masukkan sebagai sebuah pengakuan tulus.

Saya sesungguhnya berharap ada banyak testimoni jujur lainnya. Apa manfaatnya testimoni? Bagi saya, luar biasa besar manfaatnya. Dengan testimoni itu, para pemangku negeri (baca pejabat negara) diharapkan terketuk hatinya untuk segera bertindak sesuatu, jangan melakukan pembiaran terlalu lama terhadap aset bangsa berupa sumber daya manusia Indonesia yang kini berada di luar negeri, yang satu dan lain hal tidak mau lagi mengabdi kepada negeri. Mereka, para teknokrat, dosen dan teknisi hebat itu kini berada di luar negeri, dengan alasan yang beragam.

Nah, jika alasan mengapa anak-anak terbaik bangsa sendiri yang mengemukakan alasan tidak bersedia kembali ke Indonesia, barangkali jauh lebih “nendang” dibanding saya yang menuliskan pendapat mereka. Bisa saja kalau saya menuliskannya akan terjadi distorsi. Berbeda kalau para pelaku itu sendiri yang mengungkapkannya; tentu lebih genuine, lebih lugas dan apa adanya.

Kita simak tiga testimoni anak-anak bangsa itu:

Nugie, 

Halo Bung Pepih, salam kenal.

Saya adalah satu orang yang “kabur” dari Indonesia, padahal sedang S3 di institut negeri ternama di Bandung (tahun pertama), dengan biaya dari Diknas. Kenapa kabur? Jelaslah, 10 bulan beasiswa saya tidak cair-cair dengan berbagai alasan administrasi. Ini mentang-mentang Diknas bayarin saya S3 terus biaya hidupnya seenaknya saja dipermainkan? Lalu akhirnya ada peluang S3 di luar negeri. Nyoba daftar, eh keterima.

Karena sakit hati dengan pihak-pihak yang mengurus beasiswa, termasuk perguruan tinggi, saya merasa tidak perlu pamitan, atau bikin surat pengunduran diri bla bla bla. Toh saya juga bukan pegawai negeri dsb. Saya tidak diperhatikan, buat apa saya menghargai mereka?

So, saat ini saya bisa lebih fokus riset S3, dengan beasiswa yang tidak nunggak. Ke depan saya juga malas kembali ke Indonesia. Indonesia tidak menghargai researcher-researcher di bidang teknologi. Lebih baik saya berkarya di luar negeri. Seperti dosen saya pernah bilang: “Berkarya itu bisa di mana saja, yang penting untuk kebaikan umat manusia.”

Farid,

Saya banyak kenal dengan mantan-mantan pegawai PT DI, kebanyakan alumni aeronautika ITB, yang sekarang banyak di-“hire” oleh pabrik pesawat di Eropa dan Amerika. Bahkan salah satu alumni Aeronautika ITB , Ahmad Yogi Erlangga, yang menyelesaikan S3 di TU Delft, sempat membuat orang Belanda terkagum-kagum karena bisa memecahkan persoalan matematika gelombang Helmholtz. Sayang sekali potensi-potensi itu tidak bisa berkembang di Tanah Air, salah satu sebabnya yang saya ketahui adalah pertimbangan politis lebih di kedepankan.

Masalah pengembangan SDM dan RD yang sering mendapat porsi anggaran yang besar di era Habibie, suka dijadikan alat politik untuk mengkritik kebijakan-kebijakan beliau. Padahal di negara mana saja, yang namanya SDM dan RD memang membutuhkan biaya yang besar. Ironisnya, biaya-biaya BLBI yang dipakai untuk menalangi kebobrokan para bankir malah tidak terlalu dipermasalahkan. IRONIS.

Nda Ndot,

Hi Kang Pepih,

Kebetulan saat ini saya sedang di Malaysia, untuk mengajar “short course” tentang telekomunikasi. Tapi tentu, saya tinggal dan bekerja di indonesia (setidaknya sekarang…ups).

Di surat kabar, pernah saya baca di Riau pernah ada pemenang olimpiade sains tingkat internasional yang dijanjikan beasiswa perguruan tinggi. Setelah mengemis sana-sini, ternyata tidak digubris oleh pemda (selalu di pingpong). Kemudian anak tersebut menerima beasiswa pemerintah Singapura. Nah saat itulah bupati, anggota DPRD ramairamai mengecam dan menyalahkan anak tersebut dan orang tuanya karena dinilai tidak nasionalis, tidak mau memberitahu aparat setempat untuk memohon beasiswa, mencemarkan nama pemerintah daerah dsb…

Bahkan dari berbagai milis yang saya baca, profesor termuda di Amerika Serikat adalah orang Indonesia. Tapi kenapa mereka lebih memilih mengabdi di luar negeri? Karena jangankan dihargai, mereka itu nggak laku di sini, Kang….!!!

Orang pintar, idealis tak laku di negeri ini meski mereka cinta mati-matian negeri ini. Karena belajar sampai mata ditambal kaca setebal 2 cm dan bekerja keras, menjadi pintar, berdedikasi pada pekerjaan sudah bukan zamannya lagi di negeri ini. Sekarang ini zamannya cuap-cuap sampai berbusa, nampang di baliho untuk kemudian duduk manis jadi wakil rakyat sambil balikin modal. Tak perlu belajar sampai mata rabun. Otak pun terjaga “keorisinilannya”. Dan yang jelas pendapatan besar (sebagai ilustrasi, lebih besar mana gaji profesor dibanding gaji anggota dewan yang ijasah smanya saja palsu).

Dan saya kok yakin penguasa-penguasa seperti ini tidak akan sampai otaknya untuk berfikir bagaimana indonesia 20 tahun mendatang. Bagaimana kita butuh orang-orang pintar itu untuk membuat bangsa ini sejajar dengan bangsa lain.

Oh iya. Tadi siang, disela-sela kelas, teman satu kubikel menelpon untuk janji ketemu. Dia sudah setahun hijrah ke Malaysia menjadi expert engineer di sini. Dan sepertinya eksodus anak-anak pintar putra bangsa ini masih akan terus terjadi…

Saya tidak mengubah bahasa lugas ketiga pemberi testimoni sekaligus pemberi komentar atas tulisan saya itu, kecuali ejaan dan huruf kapital. Dengan tulisan ini, dengan memunculkan tiga testimoni di atas, besar harapan saya bakal muncul testimoni-testimoni lainnya dari para profesional yang kini bekerja di luar negeri.

Tidak hanya bekerja di negeri jiran Malaysia saja, tetapi di negara-negara lainnya di seluruh dunia. Kita ingin mendengar alasan mereka mengapa mereka tidak bersedia pulang ke Tanah Air, padahal barangkali Ibu Pertiwi tengah menanti kedatangan mereka kembali.

Siapa tahu, testimoni-testimoni yang dimaksudkan untuk upaya perbaikan ke arah kehidupan berbangsa yang lebih baik ini bisa menggetarkan sukma dan mengetuk nurani para pemangku negeri ini. Siapa tahu para pejabat negara dan politisi di Senayan cepat tanggap, cepat tersadar, dan cepat bertindak atas persoalan yang sering “dianggap sepele” tapi berdampak besar bagi merosotnya kualitas sumber daya manusia negeri ini sekarang dan di masa depan ini.

Jangan tanyakan kepada saya apa yang seharusnya para pemangku negeri ini perbuat, karena jawaban saya “tidak tahu”.

Sebaiknya, tanyakan pada diri kita masing-masing, termasuk para pemangku negeri, apa yang sudah kita perbuat untuk Ibu Pertiwi? By the way, para pemangku negeri atau pejabat negara membaca atau tidak ya tulisan saya ini?

***

Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [9] Kembalikan Ajaran Budi Pekertiku Padaku!