Ketika ada sentimen kewilayahan yang dengan mudah berikrar “kami mau memisahkan diri dari NKRI”, ada persoalan kebangsaan yang tipis, tergerus dan terus terkikis.
Tanggal 25 April 2004, hampir 10 tahun lalu, suatu hari di suatu wilayah. Sebuah peristiwa yang masih sulit saya hapus dalam ingatan sampai kini, sampai saat saya menulis catatan ini, terjadi di depan mata.
Bukan peristiwa biasa. Seorang anak muda terkepung kerumunan orang banyak. Dia tidak bisa melepaskan diri dari kepungan massa yang beringas, yang pikiran dan hatinya sudah terkuasai dendam membara.
Pukulan dan tendangan telah bertubi-tubi hinggap di sekujur tubuh anak muda itu. Dia menjerit minta tolong, minta ampun, dan minta diberi hidup. Barangkali dia sadar, hayatnya akan segera berakhir di tengah kepungan itu. Benar saja, seseorang dari kerumunan itu berteriak, “Bakar!”
Salah seorang dari kerumunan itu menyiramkan bensin kepada anak muda yang sudah tak berdaya itu, bensin yang rupanya sudah dipersiapkan karena pembunuhan akan dilaksanakan.
Beberapa detik kemudian…. ada kobaran api hebat yang menjilat tubuh yang sudah rapuh dan tak berdaya itu. Lamat-lamat terdengar teriakan si anak muda yang malang itu… “Tolong…. Ampun…. Ampun…!”
Beberapa lama kemudian senyap, suara itu tidak terdengar lagi. Tapi percayalah, sampai waktu beranjak 10 tahun kemudian, bahkan 20 tahun kemudian, saya masih mendengar teriakan itu sampai sekarang!
Di tengah kerusuhan horisontal berlatar belakang kesumat dengan bumbu sentimen agama, lebih baik kita tidak berpretensi untuk menjadi “pahlawan” dengan maksud mencegah keberingasan massa apalagi menolong si korban, apalagi kita orang asing dan sendiri pula. Salah-salah, kita yang bakal menyusul si anak muda yang malang itu.
Yang bisa saya lakukan saat itu adalah sedikit menjauh dari kerumunan massa yang beringas, yang masing-masing masih memegang perkakas pembunuh, lalu berucap Innalilahi wa Innailaihi Rojiun… tidak peduli bahwa tubuh yang terkapar dan sudah hangus terbakar itu beragama di luar agama yang saya anut.
Saya rasa, Ibu Pertiwi menangis tersedu-sedu melihat kebrutalan salah satu anak bangsanya, meski memang tidak semua anak bangsanya berprilaku sehoror itu!
Cobalah Anda sebut: parang, golok, pisau, tombak, panahm katapel, batu, dan senapan… pasti ada di antara alat-alat pembunuh itu. Mengeluarkan kamera bagi seorang jurnalis, berarti mati. Kerumunan itu sadar, kamera foto atau televisi akan membawa petaka di kemudian hari karena apa yang mereka lakukan bisa terdokumentasikan, bisa diunggah ke internet dan wajah-wajah mereka menjadi bagian dari cermin peradaban yang sangat terbelakang.
Maka, terdengar dari kerumunan itu seseorang berteriak lantang, “Awas, jangan ada kamera, jangan ada video!”
Benar-benar teriakan penuh ancaman, dan kerumunan tahu kepada siapa ancaman itu ditujukan; kepada wartawan!
Patuhilah perintah yang mungkin datangnya dari anak-anak tanggung, kalau tidak mau nyawa sendiri menjadi taruhannya.
Saya baru kembali bisa mendekat si korban ketika aparat keamanan datang dan kerumunan itu bubar tak berbekas sepertis cairan spirtus yang menguap, meninggalkan seonggok tubuh malang yang hangus terbakar, yang pada beberapa menit lalu teriakan “ampun” dan “tolong”-nya masih terdengar.
Baca Juga: Indonesiaku [1] Mulailah dengan Bertanya pada Diri Sendiri
Baiklah kawan, saya tidak akan berpanjang lebar bercerita mengenai pengalaman mengerikan ini, yang hanya ada dalam catatan harian dan ingatan saja selama saya bertugas sebagai jurnalis. Anda mau melaporkan secara detail peristiwa mengerikan ini sebagai berita di koran, pastilah ada pihak lain, yaitu kawan-kawan si korban yang menuntut balas keesokan harinya. Pasti peristiwa itu berulang kembali dengan cara yang sama atau beda varian.
Cara dan varian apapun, ujung-ujungnya menuntut balas kematian. Begitu seterusnya, tidak akan pernah selesai. Di koran, dan juga semua koran umumnya, saya hanya mengabarkan kerusuhan telah kembali meledak di wilayah itu dengan estimasi korban tewas, yang berdasarkan pihak berwenang mencapai 50 orang. Tentu saja, si anak muda yang malang itu salah satu di antara 50 korban itu.
Saya merenung, bahkan sampai sekarang…. mengapa saudara-saudara kita, rakyat Indonesia yang katanya cinta damai dan penuh kasih saying itu bisa melakukan perbuatan yang sulit terbayangkan dengan imajinasi liar sekalipun; membunuh saudara-sebangsanya sendiri.
Lewat bantuan helikopter Angkatan Udara, saya juga pernah berkunjung ke suatu wilayah di Pulau Kalimantan, jauh sebelum peristiwa tragis tadi terjadi. Di pulau besar ini saya juga menyaksikan bagaimana “pelecehan” dan pelanggaran berat hak asasi manusia terhadap kehidupan dan kemanusiaan tergelar dengan sangat vulgar. Mohon maaf kalau saya tidak bersedia menggambarkannya secara gamblang.
Kemana larinya akal budi kita, lebih-lebih akal sehat kita? Kemana larinya tuntunan moral kita? Kemana larinya perikemanusiaan kita atas tragedi kemanusiaan yang mengharu biru itu padahal kita masih hapal sila kemanusiaan yang adil dan beradab?
Apakah ajaran moral dan lebih-lebih agama tidak cukup mencegah terjadinya prilaku di luar batas kewajaran kita sebagai manusia beradab, sebagai bangsa Indonesia yang adil dan konon penuh kasih sayang?
Sampai sekarang saya bertanya-tanya, ke mana larinya budi pekerti itu yang dulu diajarkan para guru dengan contoh-contoh ringan kehidupan sehari-hari, suatu contoh prilaku yang benar dan tidak benar yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari beyond (di luar) pelajaran agama?
Terus terang, saya rindu pelajaran budi pekerti yang dulu pernah diajarkan guru, yang barangkali sekarang bernama pendidikan moral Pancasila. Saya mencarinya di kurikulum SD, SMP, SMA di mana terselipnya pelajaran budi pekerti yang berisi moral dan etika itu? Memang tidak ada mata pelajaran bernama “budi pekerti”. Mungkin ia terselip atau sudah menjadi bagian mata pelajaran PMP tadi atau mungkin PSPB.
Pada pelajaran budi pekerti yang pernah saya terima saat masih di sekolah dasar dulu, kita diajari untuk saling menghormati dan saling mengasihi sasama tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongannya. Kita diajari sopan-santun bertetangga, diajari untuk tunduk pada aturan dan kesepakatan terkecil di keluarga dan lingkungan.
Kita diajarkan untuk selalu beruluk salam ketika jumpa dengan seseorang yang kita kenal, diajari permisi numpang lewat ketika akan melewati kerumunan, diajari berterima kasih jika sudah merasa mendapat pertolongan, diajari bagaimana cara kita berdebat dalam satu diskusi, bahkan diajari bagaimana kita harus toleran terhadap orang lain.
Kita diajari bagaimana menolong orangtua tanpa harus diminta tolong, diajari untuk saling berbagi, diajari untuk taat beragama, dan seterusnya. Semua berbekas dan membekas dalam ingatan dan saya selalu mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sampai sekarang.
Saya tidak tahu persis, apakah ada pelajaran secanggih budi pekerti yang diajarkan kepada anak-anak didik kita sekarang agar setiap insan Indonesia kelak bisa saling menghormati sesamanya jika mereka tumbuh sebagai manusia dewasa.
Dengan peristiwa kekerasan dan pembunuhan yang tidak masuk di akal dan itu terjadi pada saudara-saudara sebangsa sendiri, juga prilaku korupsi yang tamak luar biasa seperti ditunjukkan oleh politisi dan para pejabat negara, saya memandang ada persoalan kebangsaan yang memerlukan penanganan serius.
Ketika ada sentimen kewilayahan yang dengan mudah berikrar “kami mau memisahkan diri dari NKRI”, bagi saya terang benderang…. ada persoalan kebangsaan yang tipis, tergerus dan terus terkikis.
Dari mana semangat kebangsaan dan merasa diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia mulai harus ditumbuhkan?
Mungkin saya keliru, tetapi jawabannya: dari budi pekerti sendiri.
Budi pekerti yang sekarang rupanya tidak diajarkan lagi.
***
Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [8] Belajar Acungkan Tangan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews