Belajar mengacungkan tangan penting ditanamkan sejak dini kepada anak-anak, tetapi lebih penting lagi bagaimana memberitahu konsekuensi dari mengacungkan tangan itu.
Perlukah kita mengajari anak-anak kita, adik-adik kita, murid-murid kita, mengacungkan tangan? Apa perlunya mengacungkan tangan dalam sebuah peradaban? Apa makna yang terkandung di dalamnya saat kita, seseorang, atau Anda, mengacungkan tangan? Adakah makna yang dalam di balik kita mengacungkan tangan? Atau, hanya sekadar mengacungkan tangan tanpa makna?
Dalam tulisan ini saya menggunakan istilah “acungkan tangan”, bukan “angkat tangan” yang berkonotasi “dipaksa” menyerah dalam konteks peperangan. Acungkan tangan yang saya maksud di sini berkonotasi positif. Yuk, kita mulai diskusi ini…
Yang mulai mengajak diskusi mengenai makna mengacungkan atau mengangkat tangan itu adalah tetangga saya, Pak Achmad Mudjadid. Tidaklah penting mengetahui detail beliau ini. Cukup sebut salah seorang tetangga saja saya. Pada suatu pagi yang cerah, kami bertiga, ditemani seorang tetangga lainnya, Pak Hariyono Chaerudin, memulai diskusi sederhana ini di depan rumah, ditemani kopi panas toraja, teh hijau jepang, dan ubi rebus thailand. Saya coba mereka-reka makna di balik mengacungkan tangan itu dalam diskusi sederhana, ecek-ecek dan nggak penting ini.
Sederhananya, saya membayangkan aktivitas orang mengacungkan tangan itu di dalam kelas. Murid-murid mengangkat tangan acungkan telunjuk atau membuka lima jari mereka ketika guru bertanya dan melempar pertanyaan. “Saya, Pak!”, “Saya, Bu!” biasanya anak-anak berteriak seperti itu.
Siapakah yang mengajarkan mereka berani mengacungkan tangan untuk meladeni pertanyaan guru? Gurukah atau orangtua di rumah? Coba tanya pada diri sendiri, Anda sebagai guru atau sebagai orangtua, pernahkah mengajari anak-anak atau murid-murid Anda untuk berani mengacungkan tangan? Kalau benar pernah mengajari anak-anak berani mengacungkan tangan, pernahkah menjelaskan sedikit apa makna mengacungkan tangan itu?
Bagi saya, mengacungkan tangan bisa berarti mengerti betul dan siap menjawab pertanyaan atau bisa juga mengacungkan tangan itu sekadar bertanya karena ingin tahu atas suatu persoalan yang ingin diketahui. Mengacungkan tangan untuk bertanya karena tidak tahu atau tidak mengerti. Akan tetapi, pernahkah terpikirkan apa konsekuensi dan manifestasi kita mengacungkan tangan?
Untuk menjawab pertanyaan sedeerhana itu pikiran saya mengembara pada Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928, sebuah komitmen sebagai cikal bakal lahirnya Ibu Pertiwi. Sudah lama berlalu memang. Saya membayangkan, betapa hebatnya para wakil Jong Celebes, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Bali, Jong Java dan jong-jong lainnya mengangkat tangan untuk sebuah persetujuan dimulainya pergerakan baru menuju kemerdekaan dengan satu ikatan yang kuat. Alangkah hebatnya ketika mereka mengacungkan tangan pertanda bersetuju dengan Satu Noesa, Satoe Bangsa, Satoe Bahasa kita bahasa Indonesia!
Saya bayangkan, mereka yang mengacungkan tangan itu adalah orang-orang yang punya inisiatif, orang-orang yang berpikir, enerjik, dinamis, sekaligus optimis. Bandingkan dengan orang yang tidak mengangkat tangan. Belum tentu mereka masuk dalam catatan tinta emas sejarah. Tidak mengangkat tangan bisa berarti masa bodoh (atau mungkin bodoh), tidak punya inisiatif, tidak mau mau berpikir, malas berdiskusi, pasif, tidak mau ambil pusing, atau pura-pura sudah tahu dan pura-pura sudah mengerti.
Saya bayangkan para legislator, anggota DPR kita beramai-ramai mengacungkan tangan pertanda setuju dengan satu undang-undang yang akan disahkan. Apakah mereka juga sadar konsekuensi dari mengangkat atau mengacungkan tangan tanda setuju undang-undang itu disahkan lewat kemenangan suara mayoritas? Bagaimana jika dengan undang-undang yang disahkan itu justru berarti mengkhianati konstituennya sendiri dan lebih luas lagi mengkhianati rakyat sendiri?
Saya bayangkan pula Dewan Keamanan PBB yang bersidang saat membahas setuju atau tidak menjatuhkan sanksi terhadap satu negara yang dianggap negara teror, satu negara yang dianggap menyembunyikan senjata pemusnah massal dan karenanya harus diperangi, dengan cara mengacungkan tangan. Sadarkah para utusan di DK PBB itu atas konsekuensi dari mengacungkan tangan yang berkemungkinan bisa membunuh jutaan jiwa itu? Masih banyak contoh lainnya.
Belajar mengacungkan tangan harus disertai pemahaman akan konsekuensi dari mengacungkan tangan. Belajar mengacungkan tangan penting ditanamkan sejak diri kepada anak-anak atau kepada murid-murid kita. Tetapi lebih penting lagi, bagaimana memberitahu dan menjelaskan konsekuensi dari mengacungkan tangan itu.
***
Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [7] Terbangnya Para Aeronotika Kita
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews