Orang terlatih, terdidik dan punya kecakapan khusus semacam Endri Rachman, dihadapkan kepada dua pilihan: tetap berada di Tanah Air atau berdiaspora ke luar negeri .
Angkasawan Amerika Serikat disebut Astronot, angkasawan Rusia disebut Kosmonot. Gampangnya, kalau angkasawan di luar dua negera itu seperti China dan Malaysia, saya menyebutnya aeronot saja.
Loh, memangnya Malaysia punya aeronot yang pernah mengorbit bumi?
Sekadar mengingatkan, Malaysia punya Sheikh Muszaphar Shukor Sheikh Mustapha di satasiun internasional (ISS), bahkan China punya aeronot perempuan pertamanya, Alimin Nonchik.
Ke mana arah bahasan ini melangkah?
Baiklah, saya sertakan pendapat rekan Uyungs yang memberi komentar atas tulisan saya mengenai Ibu Pertiwi yang sedang memanggil anak bangsanya pulang, sebelum saya melangkah ke bahasan ini:
Adalah tantangan dan tugas bersama bagaimana mengubah fenomena “brain drain” menjadi fenomena “brain gain”, sebagaimana yang kini dinikmati oleh bangsa China dan India. Diaspora bangsa Melayu di seluruh dunia dan menyebarnya pengaruh budaya/bahasa kita diyakini suatu saat akan berbuah manis. Sebelum terlambat, bagaimana kalau dimulai dari mengajak para insinyur IPTN yg di luar negeri kembali ke PT DI melanjutkan visi indonesia mampu bikin pesawat komuter menengah! Cobalah para pemimpin kita saling mendukung mewujudkan visi bangsa. NB: Merpati disomasi China trilunan rupiah karena hendak membatalkan pesanan belasan pesawat berkapasitas 60 penumpang. Duuh.. kok jadi begini?
Kalimat mengajak para insinyur IPTN yang di luar negeri kembali ke PT DI sengaja saya garis bawahi karena ada kaitan dengan pengalaman saya sebelumnya, pengalaman jurnalistik yang mempertemukan saya dengan seorang Endri Rachman. Siapakah dia?
Endri Rachman adalah salah satu putera bangsa Indonesia, seorang insinyur teknik aeronotika yang pernah dimiliki IPTN (sekarang PT DI) dan kini mukim di Malaysia. Ia “ditampung” negara tetangga kita itu sebagai pensyarah (dosen) sesuai keilmuan yang dimilikinya. Ia adalah satu dari 50 teknisi andal IPTN bergelar Doktor lulusan aeronotika Jerman.
Di Malaysia, diperkirakan ada sekitar 300-an jebolan PT DI yang punya keahlian khusus di bidang rekayasa pesawat terbang dan tidak pernah kembali bekerja di Indonesia. Di Malaysia, Endri dan kawan-kawan selain menjadi dosen, juga bekerja di laboratorium penerbangan yang khusus disediakan pemerintah Kerajaan Malaysia.
Saya pernah menulis sosoknya di Harian Kompas 29 Desember 2006 lalu. Mengapa saya menulis sosok Endri yang boleh jadi bagi sebagian orang dianggap sebagai “pengkhianat bangsa” karena sudah disekolahkan oleh pemerintah kita pada Era Habibie yang saat itu berada di atas angin perpolitikan negeri ini, eh… malah mengabdi kepada Malaysia, bukan berbakti pada Ibu Pertiwi. Benarkah seorang Endri “tidak nasionalis” dan tidak merasa diri bangsa Indonesia atau tidak mengindonesia?
Nanti dulu! Menilai seseorang tidak bisa mengandalkan insting semata atau tebak-tebak buah manggis. Harus coba bongkar isi hati dan pikirannya, setidaknya lewat serangkaian percakapan dan pertemuan, juga rekam jejaknya jika memungkinkan.
Mengapa saya katakan “serangkaian pertemuan”, karena bertemu seorang Endri tidak selayaknya saya mempraktikkan parachute journalism: terjun, pukul, tulis, selesai. Saya coba berbicara setiap kali dia datang berlibur ke Indonesia, saya lihat kantor “PT DI” baru yang akan didirikannya, bahkan saya tengok pabrik pesawat rumahannya di Bandung yang katanya cikal bakal dari “PT DI” baru untuk masa mendatang.
Dari serangkaian pertemuan itu, terungkaplah, bahwa seorang Endri Rachman tidaklah patut digolongkan sebagai seorang “tidak nasionalis”, “minim sikap dan jiwa kebangsaan”, apalagi “pengkhianat bangsa”.
Dengan niat, ia berusaha kembali ke Tanah Air untuk membangun sendiri pabrik pesawatnya di Bandung tanpa bantuan pemerintah sedikitpun. Saya ulangi; tanpa bantuan pemerintah sedikitpun!
Seorang Endri Rachman adalah minoritas manusia yang harus survive dan hidup dari keahlian yang dimilikinya, di negeri sendiri, di negara tetangga, atau di kolong langit di manapun. Keahlian yang dimilikinya itu tidak lain di bidang aeronotika, sebuah keahlian yang langka di negeri agraris seperti Indonesia ini.
Pertanyaan saya, siapa yang tidak nasionalis dan minim jiwa kebangsaan di sini: Endri Rachman dan kawan-kawan yang kini berdiaspora ke berbagai negara atau para petinggi negeri (pejabat pemerintah) yang melakukan pembiaran kepada anak-anak bangsa dan sama sekali tidak ada upaya untuk mengajak mereka kembali pulang ke Tanah Air?
Siapa yang tidak berjiwa nasionalis di sini: Endri Rachman dan kawan-kawan atau para pengambil keputusan yang tidak mau menyediakan lapangan pekerjaan (pabrik pesawat atau laboratorium) sehingga memungkinkan Endri dan kawan-kawan bisa kembali pulang?
Baca Juga: Indonesiaku [1] Mulailah dengan Bertanya pada Diri Sendiri
Proyek pembikinan pabrik pesawat di Bandung (dulu sekali disebut PT Nurtanio sebelum menjadi IPTN) yang sering disebut Pak BJ Habibie sebagai lompatan anak bangsa dalam teknologi dalam membangun negeri, tidak dilanjutkan seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto yang saat itu bisa disebut sebagai satu-satunya penyangga proyek ini.
Habibie yang sesaat menggantikan Soeharto yang sejatinya bisa dijadikan sandaran baru bagi bangkit dan diteruskannya pembikinan pesawat terbang, tidak mampu melanjutkan proyek besarnya itu. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997-1998 memang tidak kuasa menghidupkan kembali usaha besar itu, meski sebagai sebuah usaha PT DI masih tetap berdiri.
Di PT DI, persoalan sedemikian menumpuk. Salah satunya adalah pembekakan biaya produksi, termasuk biaya untuk menggaji karyawan yang membeludak, yang sebenarnya banyak yang tidak mengusai betul pembikinan pesawat terbang. Boleh jadi pensiunan karyawan pun harus ditunda karena tidak adanya biaya. Karena karena satu dan lain hal, mereka tetap bertahan di PT DI.
Orang terlatih, terdidik dan punya kecakapan khusus semacam Endri Rachman, dihadapkan kepada dua pilihan: tetap berada di Tanah Air dengan gaji dan jaminan yang tahu sendirilah, atau berdiaspora ke luar negeri dengan mengabdikan dan mengamalkan ilmunya di tempat baru. Kebetulan salah satu negara yang sudi menampung para insinyur aeronotika kita adalah Malasyia.
Layakkah kita benci Malaysia? Tidak! Malaysia negara yang cerdik (atau mungkin licik), yang tidak harus keluar banyak biaya menyekolahkan anak-anak terbaik bangsa Indonesia sampai mencapai gelar doktor di Jerman atau Amerika Serikat.
Malaysia yang tidak harus repot-repot mengeluarkan anggaran biaya pendidikannya untuk membiayai orang asing (baca Indonesia) seperti Endri Rachman. Cukup menampung dan menyediakan penampungan saja bagi putera-puteri terbaik bangsa di laboratorium, pabrik pesawat, dan ruang-ruang kuliah. Di kemudian hari, meluncurlah di pasar dunia produk pesawat terbang buatan Malaysia yang dikerjakan anak-anak terbaik bangsa Indonesia yang berdiaspora.
Mengapa ruang kuliah? Sebab Endri akan menelurkan mahasiswa Malaysia yang cakap bikin pesawat. Mengapa laboratorium? Sebab di tempat ini penemuan-penemuan baru mengenai rekayasa pesawat terbang dilahirkan?
Mengapa pabrik-pabrik pesawat? Sebab sebentar lagi negara produsen pesawat terbang di Asia Tenggara bukanlah Indonesia, melainkan Malaysia. Jangan lupa, Malaysia sudah melaju dengan pabrik mobil kebanggaan nasionalnya, Proton. Lantas, kemana gerangan proyek mobil “Maleo” dan Mobnas “Timor”?
Kembali ke persoalan nasionalisme dan jiwa kebangsaan, saya sekedar bertanya: siapa yang tidak nasionalis dan tidak berjiwa kebangsaan di sini, Endri Rachman dan kawan-kawan atau para pejabat negara kita yang abai dan melakukan pembiaran terhadap mereka?
Bukan maksud saya mencari siapa yang salah, tapi kalau didengar anak-anak sekarang mungkin ringan saja mereka menjawab: mene ketehe.
***
Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [6] Terkepung Globalisasi, Di Mana Nasionalisme Berada?
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews