Bu Mega Lagi...

Jadi tak ada salahnya soal kepemimpinan politik Bu Mega dalam tubuh PDIP, karena politik itu seni dan seni tidak mengenal logika logika baku, ia hanya mengenal keindahan akan hasil, tentunya dengan etika tinggi.

Jumat, 9 Agustus 2019 | 17:38 WIB
0
494
Bu Mega Lagi...
Megawati Soekarnoputri (Foto: Kompas.com)

Ditunjuknya Bu Mega sebagai ketua umum PDI Perjuangan di kongres V PDI Perjuangan kerap menjadi pertanyaan luas di masyarakat, bahkan di media sosial menunjukkan dua hal pendapat netizen: kekaguman sekaligus nada bertanya.

Kagum karena Bu Mega dinilai sebagai perempuan hebat yang punya daya tahan politik luar biasa dengan durasi amat panjang menguasai semua lini politik di Indonesia, mulai dari bawah sekali bahkan situasi minus, menjadi politisi paling kuat dan mencatat Partai yang dibangunnya menjadi Partai terkuat sepanjang sejarah Indonesia secara otentik berbasis sipil tanpa dukungan kekuasaan seperti militer ataupun sindikasi konglomerasi, partai yang dibangun dengan keberanian melawan Orde Baru sekaligus membentuk sejarah kekuasaan selama 20 tahun lebih setelah Suharto jatuh.

Namun di sisi lain, timbul pertanyaan lain di masyarakat kenapa Bu Mega terus menerus menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan setelah kemenangan politik pada kongres PDI Sukolilo Surabaya 1993, sampai Kongres V Denpasar Bali menjabat ketum PDI Perjuangan? Kenapa tidak ada sirkulasi kepemimpinan di PDI Perjuangan pada pucuk pimpinan?

Nada tanya inilah yang jadi mainstream dalam komentar komentar di media sosial.

Baca Juga: Megawati: “Semua Keputusan Ada di Presiden Jokowi!”

Pemilihan ketum Partai tentunya bukan masuk ke dalam ranah publik, tapi ranah internal Partai dan internal Partai secara aklamasi memutuskan Bu Mega kembali lagi memimpin PDI Perjuangan dengan pandangan pandangan yang bukan saja pandangan politis tapi juga pandangan spiritual batin secara kolektif.

Memang ada yang perlu diperhatikan dalam kaitannya logika demokrasi, bahwa setiap sirkulasi ditentukan periodisasi, namun bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berbasis Alam Pikiran Bung Karno, tentunya harus dipahami bahwa kekuatan pendidikan politik tidak terbatas ditentukan sirkulasi kekuasaan tapi langkah pertama adalah membangun struktur organisasi yang kuat, solid dan terintegrasi dari alam teori sampai alam praktik tujuan tujuan politik segaris dengan idealisme Partai.

Jadi langkah pertama dalam membangun demokrasi adalah membentuk pondasi kepemimpinan Partai yang menjadi kontribusi kekuatan politik nasional.

Apa yang mendasari dipilihnya Bu Mega secara aklamasi dalam Kongres V PDI Perjuangan, ada catatan penting dalam pemilihan aklamasi ini : “SUASANA BATIN”. Dalam suasana batin dimana PDI Perjuangan dalam tahun ini seperti sebuah Takem (Tahun Kemenangan), - istilah Takem dikenalkan Bung Karno pada tahun 1962 setelah berhasil merebut Irian Barat dan menjadi pidato politik 17 Agustus 1962.

Takem dalam 2019, adalah sebuah Partai berwatak Sukarnois yang lahir dari jaman rezim anti Sukarno di masa Orde Baru bisa berdiri terus menerus walau digebuk dan ditembaki menjadi simbol kemenangan rakyat tapi juga mau melakukan rekonsiliasi dengan cara kompetisi dalam demokrasi serta jatuh bangun dalam kompetisi dan di tahun 2019 mencetak sejarah sebagai Partai yang memenangkan Pemilu sebanyak 3 kali pasca kejatuhan Suharto, bahkan dari kesejarahan ideologis memiliki tiga Presiden RI: Sukarno, Megawati dan Jokowi. Hal ini merupakan puncak prestasi politik sekaligus kemenangan ideologis dalam hegemoni alam pikir filosofis negara dan realita politik.

Kongres V PDI Perjuangan ini menangkap situasi batin para utusan utusan cabang Partai untuk aklamasi memilih kembali Megawati Sukarnoputeri sebagai ketua umum. Cobaan terbesar dalam puncak kemenangan justru perpecahan politik dalam internal partai, simbol dalam politik di Indonesia bukan saja soal ‘tanda-tanda penunjuk’, simbol dalam politik Indonesia adalah bagaimana pusaran kekuatan jelas kemana arahnya.

Dalam PDI Perjuangan sendiri, garis komando organisasi jelas hanya satu pintu yaitu Ketum yang kemudian rantai komando ke Sekjen dan pengaturan wilayah wilayah kerja politik di bawahnya. Berbeda dengan partai-partai lain di Indonesia bisa banyak masuk satu pintu dan rentan perpecahan politik. Bahkan Jusuf Kalla sendiri mengeluh bahwa seperti menjadi tradisi dalam pertarungan kekuasaan di internal Golkar justru malah melahirkan Partai-Partai baru.

Fenomena kerapuhan Partai ini bukan saja dialami Golkar tapi juga partai partai lain. Kepemimpinan dalam ruang hampa batin politik dan tidak dibangun oleh spirit kesatuan sejarah inilah yang kerap menjadi sumber kerapuhan partai. PDI Perjuangan beruntung karena dibesarkan dalam sebuah semangat kebersamaan di tengah situasi paling buruk, kenangan kolektif di masa lalu dalam perlawanan terhadap Orde Baru, kegembiraan rakyat dan kembali melakukan strategi politik penuh kegembiraan lewat kemunculan Jokowi masuk Jakarta tahun 2012 sampai pada kemenangan politik di tahun 2019, disinilah kemudian terciptalah “Tahun-Tahun Kemenangan” PDIP.

Dalam Takem 2019, suasana batin justru butuh pepunden dan internal Partai memutuskan Bu Mega hadir di tengah jalannya sejarah seraya mempersiapkan pertempuran politik 2024.

Jadi tak ada salahnya soal kepemimpinan politik Bu Mega dalam tubuh PDIP, karena politik itu seni dan seni tidak mengenal logika logika baku, ia hanya mengenal keindahan akan hasil, tentunya dengan etika tinggi.

Grand Inna, Bali 2019,

Anton DH Nugrahanto

***