Seorang Rektor yang Norak

Bagi saya: ia tak beda dan tak lebih baik dari si pelaku. Saya malu ia menjadi rektor di universitas islam negeri yang ada di kota saya.

Sabtu, 15 Januari 2022 | 23:38 WIB
0
301
Seorang Rektor yang Norak
Al Makin (Foto: kompas.com)

Sesungguhnya saya tak ingin berkomentar tentang kasus sajen yang ditendang itu. Itu bukan persoalan yang baru, dan tentu saja bukan yang terakhir. Ini jadi persoalan, karena si pelaku adalah sejenis manusia triple sombong.

Pertama, menunjukkan ego dan kebodohannya. Karena ia merasa berkuasa di ruang publik, lalu menunjukkan latar dari mana ia berasal, apa yang hari ini disebut keyakinan. 

Padahal, kalau namanya keyakinan mustinya adalah persoalan internal dengan dirinya sendiri. Tak elok, tak pantas jika ditunjukkan ke ruang publik. Dan ia melakukannya. 

Kedua, ia mem-video-kan kelakuan buruknya ini. Apa yang justru dianggapnya buah dari keyakinannya. Ini juga baik-baik saja, seandainya itu hanya untuk memenuhi kebutuhan hasrat ba(i)nalnya. Tapi kemudian ia memviralkan, menyebarluaskannya. Artinya, ia telah menabur angin. Bahwa akan mengundang reaksi itu pasti. 

Ketiga, tentu saja karena ketahuan lalu ia kemudian kabur. Tak penting, sebenarnya darimana ia berasal, tapi kaburnya adalah ke kota saya. Di mana kemudian harusnya menyadarkan bahwa kota ini ternyata sudah menjadi basis laknat kelakuan kaum tersebut. Dan boom ternyata, ia akhirnya nyrempet ke sana-ke mari....

Sekali lagi, hal seperti ini sesungguhnya tak penting betul bagi saya. Kelakuan seperti ini mirip penjahat ajaran, teroris pemula atau yang populer di zaman sekarang pendakwah virtual yang langsung memberi contoh daripada sibuk-sibuk berkata-kata....

Harusnya sampai di sini, persoalannya selesai. Ketika ia tertangkap dan ia telah meminta maaf. Sebagaimana telah biasa diduga. Apakah permintaan maafnya tulus atau lip service? Tidak penting betul. Karena adakah jenis "permintaan" lain? Lalu adakah juga alat ukur ketulusan? Kesadaran akan rasa bersalah.

Persoalannya justru menjadi sangat serius ketika.... seorang rektor dari universitas agama Islam setempat, di kota dimana saya tinggal. Kok ya harus memberi pernyataan pers secara terbuka kepada publik.

Dalam sebuah acara yang tentu saja disengajakan untuk menjadi viral. Karena, di sini apa perlunya juga ia menjelaskan bahwa si pelaku adalah mantan mahasiswa di PTN dimana ia memimpin. Memang hanya sampai 6 semester, kemudian tidak jelas. Karena tidak pernah membayar SPP lagi. 

Lalu entah bagaimana, ia kemudian tiba-tiba sudah jadi sarjana. Lalu terdaftar lagi di Program S2 di PTN yang sama itu. Lalu, tak ada kabar karena ia tak pernah melanjutkannya dengan membayar SPP. 

Pertanyaannnya, apakah di luar sana. Muncul kabar bahwa si pelaku disiarkan sebagai mahasiswa PTN tersebut?

Saya tidak pernah dengar. Justru secara tidak sadar, ia lah yang mengabarkan hal itu. Dan menceritakan "karakter umum" yang telah saya sering dengar dari mahasiswa yang berkuliah di PTN tersebut.

Jauh-jauh datang ke Jogja untuk tak pernah menyelesaikan pendidikannya. Menganggapnya itu adalah melulu hak-hak dan persoalan pribadi. Memandang sebelah mata bahwa setiap kursi di PTN adalah berharga. Bukan sebuah kewajiban yang juga harus dibayar dengan menyelesaikan sebagai balasan budi baik dari fasilitas yang disediakan negara untuk warganya. 

Persoalan yang membuat saya jengkel, adalah ia justru ikut memintakan maaf si pelaku kepada masyarakat. Apa? Kalau dalam bahasa Jawa: njalukne ngapura. Lah njuk kowe ki sapa....

Alasannya adalah masih banyak persoalan hukum penting yang perlu ditangani polisi!

Si Rektor ini, tentu saja seorang yang konon super cerdas, penulis yang produktif, seorang yang dianggap filsuf muda Islam. Dan dikenal dekat dengan banyak kalangan karena dianggap rektor gaul dan milenial. Tapi semilenial itukah ia? 

Si Rektor ini, akhirnya bagi saya adalah bagian besar dari contoh buruk dari pengabaian hal-hal yang harusnya dipahami sebagai toleransi. Harusnya, ia tahu bahwa kesengajaan, kebodohan, dan keegoisan si pelaku itu menyakiti sangat banyak orang. Terutama adalah mereka yang selama ini sebagai orang-orang yang menjaga tanah air yang dicintainya dengan cara-cara yang dianggapnya menghormati segala hal baik yang diwariskan para leluhurnya. 

Baca Juga: Sesajen

Si Rektor ini adalah contoh buruk dari kepongahan kaum mayoritas, yang menuntut kaum minoritas maunya selalu harus memahami. Ia selalu berbicara tentang "maksud baik", orang lain harus selalu memahami kelakukan bagian-bagian dari anggota yang sesungguhnya sangat intoleran.

Ia bergaya kaum milenial yang menganggap remeh hal sepele, yang dianggapnya terbelakang dan tak bermanfaat. Ia pada akhirnya justru memperpanjang masalah, karena tiba-tiba ikut campur meminta polisi juga memaafkan si pelaku....

Bagi saya: ia tak beda dan tak lebih baik dari si pelaku. Saya malu ia menjadi rektor di universitas islam negeri yang ada di kota saya. 

***

.

.