Masih Soal French Kiss dan Jokowi

Keprihatinan Macron, sebuah pengamatan yang komprehensif, mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat, serta bagaimana mengatasi yang disebut sektarianisme dan radikalisme.

Kamis, 5 November 2020 | 08:42 WIB
0
200
Masih Soal French Kiss dan Jokowi
Macron dan Jokowi (Foto: wowkeren.com)

Beberapa hari setelah Jusuf Kalla ke Arab Saudi untuk urusan Museum Nabi Muhammad di Jakarta, Rizieq Shihab dengan yakin-golagokin merencanakan kepulangannya ke Indonesia. Mau live streaming pula. Biar nggak kalah dari Ki Seno Nugroho almarhum, sebagai the king of live streaming from Yogyakarta.

Ada hubungannya? Mbuhlah. Nanti saya dikira mau ngegosip dengan Firza Husein. Ini soal membaca teks pidato lengkap Emmanuel Macron. Membandingkan pidato Emmanuel Macron dengan pernyataan Jokowi sebagai reaksi, bak pepatah; Susu sebelanga dibalas setitik nota protes.

Saya mengunduh teks pidato lengkap Macron (25 Oktober 2020 setelah kasus pemenggalan, dan pidato sebelumnya, 2 Oktober 2020 yang banyak disalahpahami, dinilai kontroversial dan diplintir kaum sektarian dan kadrun) itu, setelah diterjemahkan dari bahasa Prancis ke Indonesia (sudah confirmed dari teman saya, dua dosen sastra Prancis UGM dan UNY).

Di situ saya jadi ngungun pada Jokowi. Kok kayak gitu ya, Jokowi? Itu pernyataan Jokowi bukan sih? Kalau membaca ajakan MUI pada Presiden Prancis, untuk belajar toleransi di Indonesia, saya sih makfum. Namanya juga bukan ubaru. Gajah di pelupuk mata nggak liat, apalagi semut di seberang lautan. Tapi kalau duit, siapa yang matanya nggak ijo royo-royo?

Pidato Macron yang pertama, Laicite et Islam des Lumietres, (Keawaman dan Islam yang Mencerahkan), bagi yang sabar membaca, karena sangking puanjangnya, bisa diharap kesimpulannya sama. Uraiannya verbal. Harafiah. Tidak bersayap. Tidak multi-tafsir. Tapi, teks itu mungkin tak bakalan dibaca tuntas netizen yang mbaca 3 menit saja sudah kejang. Apalagi teks Macron itu, paling cepet kelar dalam 30 menit.

Jika dihitung dalam bahasa Indonesia (dengan kertas A4, 1 spasi dengan huruf standar TNR 12poin), terdiri dari 19 halaman, 8.934 kata, 55.181 karakter, jika ditambah karakter spasi semuanya berjumlah 63.966 karakter. Biyingkin, dibalas dengan pernyataan tak sampai 3 menit.

Konten dan konteks pidato Macron, seolah disertasi 4 mahasiswa S3 dari ilmu politik, agama, sosiologi dan antropologi. Resume dari sebagian sengkarut dunia (dunia yang hendak berbalik arah ke jaman batu), ketika masing-masing secara perlahan, lebih memainkan politik identitas. Kita tunggu, apa hasil pilpres sela di AS. Biden atau Trump yang menang. Kalau Trump menang, itulah penanda politik identitas sebagai kecenderungan dunia. Bukan hanya di Indonesia.

Tanpa harus mengubah struktur kalimat, jika kata Republik atau Prancis diubah menjadi Indonesia, tak lebih-tak kurang teks pidato itu sangat Indonesia sekali. Karena itu, pernyataan Erdogan, Mahathir Mohammad, juga Jokowi, dan beberapa penanggap, dengan sepenuh maaf, menjadi kontrakdiktif. Mestinya, jika mereka ingin menebarkan toleransi, demikianlah juga yang kudu dipikirkan, dinyatakan, dan disikapi. Bukannya protes.

Keprihatinan Macron, sebuah pengamatan yang komprehensif, mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat, serta bagaimana mengatasi yang disebut sektarianisme dan radikalisme. Apakah di KSP sudah kesusupan kadrun juga? Ketularan sektarian juga?

Jika kek gitu disebut taktik melingkar, sejak kapan Jokowi main politik tricky kayak gitu? Tapi, ya wislah sakarepmu. Pilpres 2024 saya nggak akan milih Jokowi lagi! Apalagi nggak ada hubungannya dengan French Kiss. 

@sunardianwirodono

***