Uighur Benarkah Semata-mata Soal Agama?

Kamis, 27 Desember 2018 | 18:12 WIB
0
588
Uighur Benarkah Semata-mata Soal Agama?
Mesjid Huaisheng, Guangzhou, China dengan arsitektur khas China dengan minaret yang unik yang dibangun tahun 996 atau abad ke-10 Masehi (Foto: Jimmy S. Harianto)

Aksi peduli Uighur yang digelar di depan Kedubes China di Mega Kuningan Jakarta usai sholat Jumat (21/12/2018) membersitkan kesan, seolah-olah pemerintah China didemo karena menindas Islam di negerinya. Massa yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat, membentangkan berbagai poster yang mengecam penindasan terhadap jutaan etnis minoritas Uighur di Xinjiang, China barat laut.

“Lihatlah saudara-saudara kita di sana... Berteriaklah untuk mereka karena yang menyatukan kita akidah, iman. Kiblat mereka sama dengan kami, akidah mereka sama dengan kita, syahadat mereka sama dengan kita di Indonesia. Laa ilaaha illallah yang mengikat kami dengan mereka. Itu yang membuat kami marah dan harus berada di sini hari ini,” tandas Ridwan Abu Ridho, salah satu demonstran asal Bima, Nusa Tenggara Barat. Seperti juga ribuan pengunjuk rasa lainnya hari itu, Ridho hadir di situ didorong oleh perasaan sesama Muslim. (Fathiyah Wardah, VOA Indonesia, Sabtu 22 Desember 2018).

Ridwan hanyalah satu saja di antara sekian pengunjuk rasa, yang di antaranya dari kalangan Persaudaraan Alumni 212, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, Front Pembela Islam (FPI) dan ormas lainnya. Yang mengemuka dalam laporan-laporan unjuk rasa umumnya menekankan pada “pemerintah China menindas Islam”. Benarkah demikian?

Ada baiknya kita merunut dengan kepala lebih dingin, persoalan etnis Uighur, dalam perjalanan peristiwanya di masa lalu – mengapa sampai akhirnya mereka ditindas. Sebelum peristiwa berdarah tahun 2009 di Urumqi, Xinjiang – sebuah provinsi “Tanah Air” etnis Uighur di China barat laut – mereka masih hidup tenang, meskipun provinsi mereka sudah dikuasai oleh mayoritas etnis Han. Etnis Han, adalah “etnis berkuasa” (dibandingkan di Indonesia, bolehlah etnis Jawa dimana-mana, di lini kekuasaan Republik) merupakan penduduk mayoritas di wilayah minoritas Uighur di Provinsi Xinjiang.

Etnis Uighur sendiri, umumnya Muslim berbahasa Turki, hanya satu di antara 10 etnis minoritas Muslim di China. Ada sekitar 56 etnis besar di China (paling dominan etnis Han, etnis yang berkuasa) serta 10 etnis minoritas Muslim yakni Kazak, Dongxiang, Khalkha, Salas, Tajik, Uzbek, Bao’an, Uighur dan Tartar. Jika dihitung jumlah? Maka (menurut data 2009) jumlah etnis minoritas di China hanyalah 20 juta dari sekitar 1,33 milyar penduduknya.

Bagaimana sampai akhirnya terlibat konflik dengan etnis mayoritas, Han, yang umumnya menduduki kursi di pemerintahan China? Ada riwayatnya tersendiri, mengilas balik peristiwa berdarah di Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang pada hari Minggu 5 Juli 2009.

(Tentang peristiwa berdarah Kerusuhan Xinjiang yang makan korban setidaknya 184 tewas, 1.080 luka-luka, dan 1.434 orang etnis Uighur ditangkap di Urumqi, pernah saya tulis beberapa kali dalam ulasan maupun berita di Kompas sepanjang bulan Juli 2009. Salah satunya, artikel saya itu berjudul “Bisakah Uighur dan Han Kembali Berdampingan” di harian Kompas Jumat 10 Juli 2009 Halaman 10).

Pemicu kerusuhan berdarah – yang terus berdampak hingga hampir sepuluh tahun sekarang ini – sebenarnya dipicu oleh hal sepele. Dan sama sekali tidak berkaitan dengan isu agama.

Sekumpulan anak bertikai soal kembang api. Lalu bergulir menjadi bentrok ratusan warga, menghadapkan dua kelompok etnis yang memang selalu bersitegang – antara etnis Uighur, dan etnis Han. Bukan terjadi di Urumqi, akan tetapi di Guangdong, Provinsi lain di selatan China. Ketika itu, peristiwa bisa cepat dilerai.

Akan tetapi peristiwa keributan kecil di Guangdong itu diramaikan di media internet oleh tokoh terkemuka pengusaha kaya etnis Uighur yang tinggal di Washington AS, Rebiya Kadeer – ibu dari 11 anak warga Muslim berusia (62, ketika itu). Rebiya mengatakan sebelum kerusuhan terjadi, bahwa “pada tanggal 5-6 Juli akan terjadi hal-hal sangat penting.” (Yang Lingzhu, Wakil Dubes RRC di Jakarta pada Kompas dan sejumlah media lain, Senin 13/7/2009).

(Saya kutip berita di Kompas Rabu 15 Juli 2009 yang saya tulis bersama wartawan politik Kompas yang biasa bertugas di Istana Negara kala itu, Imam Prihadiyoko).

“Tanggal 5 sore (Juli 2009), dikumpulkan orang di lapangan Renmin (Rakyat) di Urumqi sekitar pukul 19.00, ada sekitar 300-an orang menutup Jalan Renmin sehingga dibubarkan aparat. Malam hari, sekitar pukul 20.18, ada 800-an orang merobohkan pagar-pagar Jalan Renmin. Mereka mulai melakukan perusakan dan membakar mobil,” tutur Yang Lingzhu.

Beberapa jam kemudian, menurut Yang Lingzhu, sudah mulai terjadi aksi pembunuhan terhadap etnis Han di pinggiran kota Urumqi. Aparat keamanan menemukan banyak orang mati di lorong-lorong. Kebanyakan mereka, kata Yang Lingzhu, adalah etnis Han.

“Rata-rata mereka (orang-orang Han) itu mati dipukul. Selain perusuh menghancurkan dan membakar mobil, bus umum, taksi, ada juga mobil polisi. Juga toko-toko. Tercatat ada 203 toko dan 14 rumah penduduk dirusak dan dibakar,” kata Yang Lingzhu.

“Kalau kerusuhan hanya di satu tempat, itu barangkali masih bisa diterima. Akan tetapi, pada saat itu ternyata kerusuhan terjadi di 220 lokasi di Urumqi. Ini tentu kerusuhan yang diorganisasi,” ungkap Yang Lingzhu, seraya menyerahkan catatan resmi dari Pemerintah Cina tentang jumlah kerusakan dan korban jiwa.

Dan dari 184 korban yang jatuh dalam Kerusuhan Xinjiang di Urumqi, terbanyak justru etnis Han yang tewas. Ada 137 orang etnis Han, dan hanya 46 etnis Uighur yang mati dalam kerusuhan pada Minggu, 5 Juli 2009 itu.

Lalu ada dimana tokoh pemimpin Uighur yang mengorganisasi melalui internet saat meletusnya peristiwa 5 Juli 2009 itu? Rebiya Kadeer ada di Amerika Serikat. Tidak lagi tinggal di negeri kaya minyak di Xinjiang. Waktu itu, Rebiya Kadeer tercatat sebagai satu dari 10 orang terkaya di China, kata Yang Lingzhu kepada wartawan di Jakarta pada Senin 13 Juli 2009 itu...

Apakah peristiwa Kerusuhan Xinjiang itu padam? Tidak demikian. Rebiya Kadeer Pemimpin Rakyat Uighur mengunjungi Jepang, pada Selasa 28 Juli 2009, atau sekitar tiga pekan setelah peristiwa berdarah di Urumqi. Kunjungan di Jepang ini, menyulut kekecewaan dan ketegangan antara pemerintah Beijing dan Jepang.

Sepekan sebelumnya, di Melbourne Australia, sebuah film dokumenter berjudul “Ten Conditions of Love”tentang tokoh Uighur, Rebiya Kadeer. Tokoh Uighur – yang menetap di Washington AS ini -- pernah dinominasikan meraih Nobel 2006 itu gagal diputar di International Film Festival. Tak jadi diputar, lantaran diprotes oleh pemerintah China. Empat film China, kemudian ditarik dari peredaran festival Melbourne itu.

Di Turki lebih seru lagi. Pada Kamis 9 Juli 2009, Menteri Perdagangan dan Industri Turki, Nihat Ergua di Ankara, menyerukan pemboikotan produk China sebagai wujud protes terhadap tindakan keras pemerintah China terhadap etnis minoritas Uighur di Xinjiang. Dan kebetulan memang, etnis Uighur di Xinjiang umumnya berbahasa Turki.

Pada 9 Juli 2009 itu, ribuan orang (diperkirakan setidaknya 5.000 orang) berunjuk rasa setelah sholat Jumat di Masjid Fatih, Istanbul Turki sambil membakar bendera China. Mereka menyerukan agar China tidak melakukan “pembersihan etnis”. Aksi senada terjadi di masjid lain di Turki dan bahkan menggerakkan etnis Uighur di Australia untuk berunjuk rasa memprotes China. (Reuters, Jumat 10 Juli 2009).

Di Indonesia pada masa itu, peristiwa berdarah di Urumqi itu juga mengundang kecamuk komentar di kalangan DPR-RI. Setidaknya, Mutammimul Ula dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring pun menyayangkan tindakan keras China terhadap etnis Muslim minoritas Uighur.

Dan kini, 2018, berkecamuk kabar bahwa para tahanan Uighur di China ditahan di semacam kamp konsentrasi. Maka Jumat lalu pun digelar aksi unjuk rasa oleh sejumlah organisasi massa Islam di Jakarta, memprotes penindasan etnis minoritas Uighur di China. Aksi (yang juga diwarnai dengan poster Pilpres 2019) ini berlangsung di depan Kedubes Republik Rakyat Tiongkok di Mega Kuningan, Jakarta.

Mereka, di antaranya menuntut agar pemerintah Indonesia juga bersikap terhadap mengumumkan sikap terhadap China, menyangkut perlakuan mereka terhadap etnis minoritas Uighur.

Sampai saat ini, Presiden Joko Widodo ataupun pemerintah RI tidak mengungkapkan sikap tentang isu yang digulirkan menjelang Pilpres RI 2019 ini. Juga belum berkomentar soal Uighur, Capres oposisi Prabowo Subianto yang belum lama ini justru diundang oleh Kedubes China untuk menghadiri perayaan hari nasional China di Jakarta. 

***

Jimmy S Harianto, mantan Editor Internasional Kompas 2000 s/d 2003 dan 2009 s/d 2012. Menulis artikel ini dengan diantaranya mengutip tulisan sendiri di Kompas terbitan bulan Juli 2009. Sumber berita yang dipakai, kantor berita internasional Associated Press dan juga Reuters.